Gambar 2 Hubungan antara tumbuhan, flora dan vegetasi beserta variabel
analisisnya (modifikasi dari Fachrul 2008)
Populasi
Data floristik
Konsosiasi
Asosiasi
Komunitas
Keragaman spesies
Data vegetasi
Komposisi spesies
Kerapatan
Potensi
Dominansi
Pola penyebaran
Indeks keanekaragaman spesies
Struktur populasi
Tumbuhan
Individu
Kelompok individu
berbagai spesies
Kelompok individu
satu spesies
Kelompok individu
16
2.6. Taman Wisata Alam
Menurut definisi dalam Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 1988
tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Taman Wisata
Alam didefinisikan sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan tujuan utama
untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Pengelolaan
yang dilakukan pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam harus
sesuai dengan fungsi kawasan, yaitu:
a.
sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan,
b.
sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan dan atau
satwa beserta ekosistemnya, dan
c.
untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Taman Wisata Alam, apabila
telah memenuhi kriteria sebagai berikut: a. mempunyai daya tarik alam berupa
tumbuhan, satwa atau ekosistem gejala alam serta formasi geologi yang menarik;
b. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik
untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; dan c. kondisi lingkungan
di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.
Upaya pengawetan Kawasan Taman Wisata Alam dilaksanakan dalam
bentuk kegiatan perlindungan dan pengamanan, inventarisasi potensi kawasan,
penelitian dan pengembangan yang menunjang pelestarian potensi, pembinaan
habitat dan populasi satwa. Sesuai dengan fungsinya, taman wisata alam dapat
dimanfaatkan untuk keperluan pariwisata alam dan rekreasi, penelitian dan
pengembangan, pendidikan, kegiatan penunjang budidaya.
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1. Letak dan Luas Kawasan
Gunung Baung merupakan bagian dari Kawasan TWA Gunung Baung.
Ditetapkan sebagai TWA Gunung Baung berdasarkan SK. Menteri Pertanian No.
657/Kpts/Um/12/1981, tanggal 1 Januari 1981, seluas 195,50 Ha. Secara
administratif pemerintahan kawasan TWA Gunung Baung terletak di Desa
Cowek, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Lokasi TWA Gunung Baung berada di jalur jalan Surabaya-Malang, dari
arah Surabaya berjarak sekitar 68 Km, sedangkan dari arah Malang sekitar 30
Km. Lokasi kawasan terletak berdekatan dengan Kebun Raya Purwodadi. Secara
geografis, TWA Gunung Baung terletak pada 07° 46’ 09” - 07° 47’ 23” Lintang
Selatan dan 112° 16’ 23” - 112° 17’ 17” Bujur Timur. Batas-batas wilayahnya
adalah sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kertosari
Kecamatan Purwosari, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lebakrejo
Kecamatan Purwodadi, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cowek,
Kecamatan Purwosari, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kebun Raya
Purwodadi (Gambar 3) (BKSDA Jatim 2008; Baung Camp 2008) .
3.2. Kondisi Fisik Kawasan
3.2.1. Topografi dan Tanah
Kawasan TWA Gunung Baung memiliki topografi bergelombang dengan
kemiringan yang curam. Hanya sedikit bahkan hampir tidak ada kondisi lahan
yang datar. Puncak tertingginya adalah puncak Gunung Baung (501 mdpl.), dan
posisi terendahnya adalah 250 mdpl. Tanahnya tersusun atas komponen mediteran
merah kuning dan latosol yang terbentuk dari batuan kwartier tua dengan batuan
induk berupa endapan metamorf.
3.2.2. Iklim
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, Kondisi iklim kawasan
TWA Gunung Baung termasuk ke dalam tipe D, dengan nilai Q = 76,47%.
Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.571,5 mm dengan jumlah hari hujan rata-
rata per tahun selama 144,20 hari. Suhu udara harian berkisar antara 20
o
C sampai
23
o
C. Musim hujan dengan curah hujan ≥ 100 mm/bulan, umumnya terjadi antara
18
bulan November sampai dengan April, sedangkan musim kemarau (dengan curah
hujan ≤ 60 mm/bulan) terjadi antara bulan Mei sampai dengan Oktober (Baung
Camp 2008).
Gambar 3 Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Baung, Pasuruan, Jawa Timur
3.3. Kondisi Biologi Kawasan
Secara umum kawasan ini memiliki ciri-ciri tipe ekosistem hutan musim
dataran rendah. Di samping kekayaan floranya, keunikan kawasan ini adalah
keberadaan dan keindahan air terjun Coban Baung. Spesies flora yang cukup
banyak dijumpai di kawasan ini antara lain: Beringin (Ficus benyamina), Kepuh
(Sterculia foetida), Bendo (Artocarpus elastica) dan Gondang (Ficus variegata),
serta Bambu (Bambussa sp). Pada beberapa bagian kawasan didominasi oleh
hutan bambu. Catur (2008)
menyebutkan sebanyak 9 spesies bambu berasal dari 4
marga yang tumbuh di kawasan Taman Wisata Gunung Baung. Kesembilan
spesies itu adalah: Bambusa arundinacea, Bambusa blumeana, Bambusa spinosa,
Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper, Dendrocalamus blumei, Gigantochloa
apus, Gigantochloa atter, dan Schizostachyum blumei. Yuliani et al. (2006a)
menyatakan bahwa keanekaragaman spesies tumbuhan di kawasan Gunung Baung
cukup tinggi. Setidaknya tercatat sebanyak 127 spesies tumbuhan berbunga dan 4
spesies paku yang tumbuh di kawasan tersebut. Mudiana (2009) mengemukakan
19
bahwa terdapat empat spesies Syzygium yang dijumpai tumbuh di sepanjang
sungai Welang, yaitu: S. samarangense (buah putih dan kehijauan), S. javanicum,
S. pycnanthum, dan Syzygium sp.
Letaknya yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk, meyebabkan
kawasan ini rentan terhadap perambahan dan konversi lahan. Yuliani et al. (2006)
mengemukakan bahwa 87% warga di sekitar TWA Gunung Baung pernah
memasuki kawasan tersebut untuk berbagai keperluan. Umumnya mereka
memasuki kawasan dengan maksud mencari kayu bakar, bambu, buah-buahan dan
tumbuhan obat untuk keperluan keseharian. Salah satu spesies tumbuhan obat
langka yang tumbuh di kawasan ini adalah kayu rapet (Parameria laevigata
(Juss.) Moldenke. Spesies tumbuhan bawah yang tumbuh di sekitarnya antara
lain: Piper betle, Hypoestes polythyrsa, Sericocalyx crispus, Oplismenus
compositus, dan Bidens pilosa (Pa’i dan Yulistiarini 2006).
Setidaknya tercatat sebanyak 30 spesies satwa yang terdapat di kawasan
ini, yang terdiri atas 8 spesies mamalia, 13 spesies aves, 8 spesies reptil dan 1
spesies amphibia. Beberapa satwa liar yang hidup di dalam kawasan antara lain:
kera ekor panjang (Macaca fascicularis), kelelawar besar (Pteropus vampyrus),
kijang (Muntiacus muntjak), ayam hutan (Gallus sp), lutung (Trachypithecus
auratus), kucing hutan (Felis bengalensis), bajing terbang, landak (Hystrix
brachyura), dan trenggiling (Manis javanica). Beberapa spesies burung yang
dijumpai di kawasan ini diantaranya adalah raja udang (Alcedo sp.), kutilang
(Pycnonotus aurigaster), kacer (Chopsycus saularis), dan prenjak (Prinia
familiaris) (Baung Camp 2008; Anonim 2011; BKSDA 1998).
3.4. Kondisi Sosial Ekonomi Sekitar Kawasan
Kondisi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan TWA Gunung Baung
sedikit banyak akan berpengaruh terhadap keberadaan dan keberlangsungan
proses di dalam kawasan. Terdapat empat wilayah desa yang bersinggungan
secara langsung dengan kawasan, yaitu Desa Kertosasri (sebelah Utara), Desa
Cowek (sebelah Selatan), Desa Purwodadi (sebelah Barat), dan Desa Lebakrejo
(sebelah Timur).
Desa Lebakrejo adalah desa dengan jumlah penduduk terbanyak (5.575
jiwa) dan yang paling sedikit adalah Desa Kertosari (4.202 jiwa) (Gambar 4). Jika
20
dilihat dari kepadatan penduduknya, maka Desa Purwodadi yang memiliki
kepadatan penduduk tertinggi (1.801 jiwa/km
2
).
Sumber: Diolah dari BPS Kabupaten Pasuruan Dalam Angka 2011
Gambar 4 Grafik jumlah penduduk di empat desa sekitar Gunung Baung
Sebagian besar masyarakat di keempat desa tersebut bekerja di sektor
pertanian. Sektor pekerjaan lainnya yang cukup banyak dilakukan oleh
masyarakat adalah konstruksi bangunan dan industri olahan rumah tangga
(Gambar 5).
Sumber: Diolah dari BPS Kabupaten Pasuruan Dalam Angka 2011
Gambar 5 Komposisi prosentase mata pencaharian penduduk di empat desa
sekitar TWA Gunung Baung
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan November 2011 sampai dengan
Februari 2012. Lokasi penelitian adalah TWA Gunung Baung, yang terletak di
wilayah Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
4.2. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan berupa peralatan lapangan untuk kegiatan
analisis vegetasi, pengoleksian spesimen herbarium dan pengukuran nilai variabel
lingkungan fisik. Peralatan tersebut adalah: Global Positioning System (GPS), pita
ukur diameter, hagameter, digital lightmeter, pH tester, thermohigrometer,
kompas, clinometer, kamera digital, gunting setek, dan peta tematik lokasi
penelitian. Bahan yang digunakan berupa spesimen herbarium dan tegakan
vegetasi di lokasi penelitian.
4.3. Metode Pengumpulan Data
4.3.1. Keanekaragaman Spesies Syzygium
Studi pendahuluan berupa survey awal dilakukan untuk mengetahui
gambaran lokasi penelitian, penyebaran spesies dan kondisi vegetasinya. Untuk
mengetahui spesies-spesies Syzygium, khususnya yang terdapat di Jawa (Jawa
Timur) dilakukan melalui studi awal spesimen herbarium baik yang terdapat di
Herbarium Bogoriense (BO), Herbarium Purwodadiensis, dan studi koleksi
Syzygium di kebun raya. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data awal tentang
keanekaragaman spesies Syzygium di Jawa Timur, terutama daerah yang berada di
sekitar TWA Gunung Baung.
Kegiatan survey dan pengamatan di lapangan dilakukan dengan metoda
eksploratif. Metode eksploratif dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman
spesies Syzygium serta lokasi tempat tumbuhnya di dalam kawasan. Jalur yang
digunakan adalah jalan setapak atau rintisan jalur patroli yang sudah terdapat di
dalam kawasan serta jalur rintisan baru yang dibuat. Pada setiap perjumpaan
dengan Syzygium di tandai posisi geografinya dengan menggunakan GPS,
kemudian dibuatkan dokumentasi fotonya serta spesimen herbarium ataupun
22
vauchernya (terutama bagi spesies-spesies yang berbeda). Hal ini dilakukan untuk
keperluan identifikasi dan validasi nama spesies.
4.3.2. Data Ekologi Syzygium
Pencatatan dan pendokumentasian data dilakukan terhadap kondisi ekologi
Syzygium. Data ekologi tersebut meliputi faktor fisik dan faktor biotik. Faktor
fisik yang diukur meliputi: intensitas penyinaran, data topografi (ketinggian
tempat, kelerengan dan arah lereng), pH tanah, kelembapan tanah, suhu udara, dan
kelembapan udara serta sifat edafis tanah (fisik dan kimia tanah). Faktor biotik
yang diukur adalah jumlah rumpun bambu, diameter rumpun bambu serta jumlah
spesies dan kelimpahan tumbuhan di sekitar Syzygium.
Pengukuran data ekologi dilakukan pada tiap petak pengamatan.
Pengukuran intensitas penyinaran dilakukan dengan menggunakan digital
lightmeter. Pengukuran ketinggian tempat tumbuh Syzygium dilakukan dengan
menggunakan altimeter dan GPS. Pengukuran kelerengan dilakukan dengan
menggunakan clinometer dalam satuan %. Selanjutnya nilai kelerengan
dikelompokan ke dalam kelas-kelas kelerengan berdasarkan nilai rata-rata pada
dari tiap petak pengamatan, sesuai dengan klasifikasi yang dibuat oleh
Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999) dalam Kissinger (2002).
Klasifikasinya adalah: tipe I, 0-3%, tipe II 3-8%, tipe III, 8-15%, tipe IV 15-30%,
dan tipe V > 30%. Arah kelerengan diukur dengan menggunakan kompas.
Pengukuran kelembapan dan pH tanah dilakukan dengan menggunakan pH tester
tanah. Suhu dan kelembapan udara diukur dengan menggunakan termohigrometer
digital. Pengukuran jumlah dan diameter rumpun bambu dilakukan pada setiap
petak pengamatan.
Data edafis berupa sifat fisik dan kimia tanah diperoleh dari hasil analisis
laboratorium atas contoh tanah yang diambil di lokasi penelitian. Contoh tanah
diambil pada setiap lokasi blok penempatan petak pengamatan yang mencirikan
perbedaan kondisi lingkungannya, misalkan lokasi tempat terbuka dan lokasi
rumpun bambu. Contoh tanah diambil sebanyak 2 titik di masing-masing blok
pengamatan pada kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm. Faktor fisika tanah yang
dianalisis adalah tekstur tanah (pasir, debu dan liat). Faktor kimia tanah yang
dianalisis adalah kandungan bahan organik (rasio C/N), kandungan unsur N,P,K,
23
Ca dan Mg, serta Kapasitas Tukar Kation (KTK). Faktor-faktor tersebut dapat
menjadi indikator kesuburan tanah (Partomihardjo dan Rahajoe 2005). Analisis
tanah dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas
Pertanian, Universitas Brawijaya.
4.3.3. Data Vegetasi dan Struktur Populasi
Data dan informasi yang diperoleh dari survey pendahuluan mengenai
kondisi lokasi peneltian, lokasi persebaran spesies dan kondisi vegetasinya
menjadi dasar untuk melakukan studi pola sebaran dan struktur populasi
Syzygium. Populasi di sini diartikan sebagai kumpulan dari individu spesies
Syzygium yang berada pada suatu lokasi dan waktu yang sama serta mampu
melakukan reproduksi secara aseksual atupun seksual. Hal ini akan berkaitan
dengan teknik penempatan petak pengamatan. Penempatan petak-petak contoh
dilakukan secara terarah (purposive sampling) pada lokasi-lokasi yang diketahui
banyak terdapat keberadaan Syzygium.
Berdasarkan hasil survey pendahuluan tentang keberadaan Syzygium di
Kawasan TWA Gunung Baung, maka dibuat petak pengamatan masing-masing
sebanyak 50 petak pada 5 lokasi yang berbeda. Di samping menggambarkan
keberadaan Syzygium, kelima lokasi tersebut juga mewakili lokasi serta kondisi
vegetasi yang berbeda dari Blok Inti Kawasan TWA Gunung Baung (Gambar 6).
Kondisi vegetasi pada setiap blok pengamatan ditampilkan dalam Tabel 1.
Lokasi-lokasi blok penempatan petak-petak pangamatan tersebut adalah
sebagai berikut:
1)
Blok 1, lokasi lereng, berbukit, dengan dominasi bambu duri (Bambusa
blumeana);
2)
Blok 2, lokasi lereng, berbukit, dengan sedikit bambu;
3)
Blok 3, lokasi lereng, berbukit, dan punggung bukit dengan sedikit bambu;
4)
Blok 4, lokasi lereng, berbukit, dengan dominasi bambu Schizostachyum
zollingeri;
5)
Blok 5, lokasi lereng, berbukit, dengan dominasi semak.
24
1
2
3
4
5
Blok pengamatan
Gambar 6 Lokasi blok penelitian dimana petak-petak pengamatan dibuat di
Gunung Baung, Jawa Timur
Tabel 1 Kondisi vegetasi dominan pada tiap-tiap lokasi blok pengamatan
Lokasi Blok
Pengamatan
Kondisi vegetasi dominan pada masing-masing blok pengamatan
Blok 1
Tingkat pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Ficus racemosa, Streblus asper,
Ficus retusa, dan Tabernaemontana sphaerocarpha. Tumbuhan bawah didominasi
oleh Cyathula prostata, Parameria laevigata, Rauvolfia verticilata, dan Piper cubeba.
Permudaan pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Syzygium racemosum dan
Tabernemontana sphaerocarpha. Bambu didominasi oleh Bambusa blumeana.
Topografi lereng berbukit.
Blok 2
Tingkat pohon didominasi oleh Schoutenia ovta, S. pycnathum, Emblica officinalis, dan
Streblus asper. Tumbuhan bawah didominasi oleh Pennisetum purpureum dan
Voacanga grandifolia. Permudaan pohon didominasi oleh Voacanga grandifolia,
Schoutenia ovata dan Streblus asper. Bambu didominasi Bambusa blumeana. Topografi
lereng berbukit.
Blok 3
Dysoxylum gaudichaudianum, Ficus hispida dan Garuga floribunda mendominasi
tingkat pohon. Tumbuhan bawah didominasi oleh Tithonia diversifolia dan Cyathula
prostata. Permudaan pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Streblus asper,
Voacanga grandifolia, dan Lepisanthes rubiginosa. Bambusa blumeana adalah spesies
bambu yang mendominasi. Topografi lereng berbukit dan sebagian punggung bukit.
Blok 4
Tingkat pohon didominasi oleh Ficus hispida, Sphatodea campanulata dan Streblus
asper. Tumbuhan bawah didominasi oleh Mikania cordata dan Tithonia diversifolia.
Permudaan didominasi oleh Streblus asper. Bambu didominasi oleh Schizostachyum
zollingeri. Topografi lereng berbukit.
Blok 5
Tingkat pohon didominasi oleh Schoutenia ovata, Microcos tomentosa. Tumbuhan
bawah didominasi oleh Tithonia diversifolia, dan Mikania cordata. Permudaan pohon
didominasi oleh Streblus asper, Schoutenia ovata, Syzygium pycnanthum dan Voacanga
grandifolia. Bambu didominasi Bambusa blumeana. Topografi lereng berbukit.
25
Pembuatan petak contoh dilakukan untuk keperluan analisis vegetasi pada
masing-masing lokasi blok pengmatan yang menjadi tempat tumbuh Syzygium.
Metode yang digunakan adalah metode kombinasi jalur dan petak (Soerianegara
dan Indrawan 1988). Adapun model metode kombinasi jalur berpetak yang
dipakai ditampilkan dalam Gambar 7.
Gambar 7 Kombinasi jalur berpetak untuk kegiatan analisis vegetasi
Petak ukuran 2 x 2 meter
2
digunakan untuk tumbuhan dengan strata
anakan pohon (seedling) dan tumbuhan bawah, petak ukuran 5 x 5 meter
2
untuk
tingkat pancang, petak ukuran 10 x 10 meter
2
untuk tingkat tiang, dan petak
ukuran 20 x 20 meter
2
untuk tingkat pohon. Jumlah jalur yang dibuat sebanyak 5
jalur untuk setiap blok pengamatan dengan panjang setiap jalur 200 meter. Luas
petak contoh yang dibuat adalah seluas 200 m x 20 m x 5 = 2 hektar untuk satu
lokasi blok pengamatan. Jumlah blok pengamatan yang dibuat sebanyak 5 blok,
sehingga luas total petak pengamatan adalah 10 hektar, yang mewakili perbedaan
kondisi lingkungan (vegetasi) serta keberdaan Syzygium.
Difinisi untuk masing-masing strata pertumbuhan pohon adalah sebagai
berikut: (1) anakan atau semai (seedling) adalah regenerasi awal pohon dengan
ukuran hingga tinggi kurang dari 1,5 meter, (2) pancang adalah regenerasi pohon
dengan ukuran lebih tinggi dari 1,5 meter serta dengan diameter batang kurang
dari 10 cm, (3) tiang adalah regenerasi pohon dengan diameter 10-20 cm, dan (4)
200
m
100 m
26
pohon adalah tumbuhan berkayu dengan diameter batang lebih dari 20 cm
(Soerianegara dan Indrawan 1988).
Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan struktur
komunitas vegetasi pohon pada setiap strata pertumbuhannya. Data yang
dikumpulkan berupa kerapatan, frekuensi dan dominansi serta indeks nilai penting
(INP) dari setiap spesies yang teramati. Data hasil analisis vegetasi juga
digunakan untuk menganalisis kelimpahan, komposisi dan struktur populasi
Syzygium di lokasi penelitian pada setiap fase pertumbuhannya (semai, tiang,
pancang dan pohon). Data struktur populasi dapat digunakan untuk menganalisis
status regenerasi spesies (Tripathi et al. 2010; Uma 2001).
Data lain yang dicatat meliputi nama spesies, jumlah individu, diameter
dan tinggi pohon, jumlah semai, pancang dan tiang, serta data kondisi
lingkungannya. Posisi geografis perjumpaan dengan Syzygium dicatat dan
didokumentasikan, untuk selanjutnya digunakan untuk
membuat peta
persebarannya di dalam kawasan. Peta persebarannya diperoleh dengan
mentransfer data dari GPS dengan menggunakan softwere map source dan
GoogleEarth.
|