Tugas manajemen



Yüklə 1,02 Mb.
səhifə17/25
tarix14.04.2017
ölçüsü1,02 Mb.
#14143
1   ...   13   14   15   16   17   18   19   20   ...   25

visioning, melakukan implementasi, dan mengendalikannya.

Perubahan yang

terlalu tegang

akan membuat

para anggota

cepat letih dan

kehilangan

energi.

Model N-Step dari John P. Kotter

(N = 8)

PADA tahun 1995, John P. Kotter, seorang ahli kepemimpinan memper-

kenalkan model 8 langkah dalam memimpin perubahan. Model ini kemu-

dian menjadi sangat terkenal di kalangan ilmuwan manajemen, sekaligus di

kalangan para praktisi bisnis. Penjelasannya sangat logis, disertai oleh

kemampuan John Kotter dalam meramu pandangan-pandangannya secara

populer. Di negara-negara maju, model ini dipercaya cukup ampuh dalam

memimpin perubahan. Selain karena masyarakatnya berpikiran logis, or-

ganisasi pemerintahan pun sudah berbentuk semi korporat, sehingga praktis

mempermudah CEO menjalankan kepemimpinannya.

Sekalipun demikian, Model 8 langkah adalah sebuah model yang hanya

cocok diterapkan untuk pemimpin tipe direktur, di mana hasil yang akan diperoleh (outcomes) dapat diprediksi (kemungkinan berhasil sangat besar, predictable), dan

pemimpin dapat melakukan controlling. Ini berarti pemimpin memiliki kuasa penuh terhadap

wilayah kekuasaannya, dan dapat mengeksekusi program melalui pendekatan atas-bawah (top-

down). Berikut adalah 8 langkah yang dianjurkan oleh John P. Kotter :

1. Ciptakan Suasana yang Mendesak (Sense of Urgency)

Perubahan dimulai dengan penyadaran pada semua pihak, bahwa institusi Anda berada pada

situasi yang gawat. Kalau tidak diatasi segera, dapat masuk ke "ruang gawat

darurat." Pemimpin memulai upaya perubahan dengan menunjukkan atau

mendiskusikan indikator-indikator krisis, hal-hal yang berpotensi kri-sis, dan

peluang-peluang yang ada di balik krisis itu. Kalau tidak terdesak, orang-orang

akan memeluk erat selimut rasa nyamannya dan berlindung di dalam zona

kenyamanan itu. Mereka Umumnya tidak peduli, dan tidak percaya terhadap

apa yang tidak mereka lihat. Maka tugas pertama seorang pemimpin adalah mengajak semua

orang melihat apa yang ia lihat. Ingatlah, pada setiap masalah yang sama, dua orang yang

berdekatan bisa melihat dengan kesimpulan yang berbeda.

2. Membentuk Koalisi Perubahan yang Kokoh

Perubahan biasanya dimulai dari satu atau dua orang, tetapi ia tidak akan

efektif kalau tidak mendapat dukungan dari suatu kekuatan massa yang besar.

Massa yang besar itu Umumnya adalah para late-comers atau laggards yang

baru bergerak kalau orang banyak sudah bergerak. Oleh karena itu pemimpin

perlu membentuk suatu koalisi yang terdiri atas 5, 15, atau 50 orang untuk ikut menggerakkan

perubahan. Mereka ini kita sebut sebagai agen-agen perubahan, yang tugasnya memotret, men-

jelaskan, memantau, dan mendorong orang-orang di sekitarnya ikut mendukung perubahan.

3. Membangun Visi

Koalisi perubahan bekerja menerjemahkan Visi ke depan. Tanpa visi, para

pengikut akan kehilangan arah. Visi yang jauh ke depan harus dapat dipilah-

pilah menjadi tahunan, semesteran, atau bahkan 3 bulanan. Visi harus men-

cakup bukan saja sasaran, melainkan juga produk (output), segmen pasar, dan

organisasi.

4. Komunikasi Visi

Visi yang baik harus terkomunikasi dengan jelas dan terarah. Komuni-

kasi dapat dicapai dengan berbagai cara, termasuk dengan contoh-contoh.

Mengubah perilaku Umumnya hanya bisa dilakukan melalui contoh konkret

dengan nilai-nilai yang disepakati bersama.

5. Mendorong Para Pengikut Bertindak Sesuai dengan Visi

Pemimpin memberikan alat-alat (resources) yang memadai agar semua orang dapat bertindak

'Kehabisan

tenaga mengan-

cam kehidupan

bangsa dan tiap

warganya. Ia

adalah kesakitan

selagi mengantuk,

kematian selagi

tidur.'


- Kahlil Gibran -

untuk mencapai visi. Caranya bukan sekadar memberikan sumber daya yang

dapat dialokasikan untuk mereka, melainkan juga menyingkirkan segala

rintangan yang ada agar organisasi mampu bergerak lincah. Termasuk

di dalamnya adalah mendorong agar tim lebih berani

mengambil langkah-langkah berisiko dan keluar dengan gagasan-gagasan

original, dan melakukan terobosan-terobosan kreatif.

6. Raihlah Kemenangan kemenangan Jangka Pendek

Perubahan pada Umumnya tidak dapat dicapai dalam tempo yang singkat.

Oleh karena itu tidak jarang ditemui perubahan yang tidak terselesaikan

karena jangkauan pandangan yang ditun-tut terlalu jauh sehingga banyak

orang yang keletihan, hilang arah, dan tercecer di tempat-tempat tertentu.

Jarak yang jauh ini tentu dapat melemahkan semangat tim. Oleh

karena itu, dalam setiap aktivitas perubahan, penting bagi pemimpin untuk

memberikan kemenangan-kemenangan "antara" agar para pengikut

mengetahui di mana mereka berada, dan terus bersemangat mencapai tujuan.

7. Jangan Berhenti, Teruslah Lakukan Konsolidasi

Perubahan adalah ibarat seorang yang mengayuh sepeda. Kalau ia berhenti ia

akan jatuh. Supaya tidak terjatuh, maka ia harus terus

mengayuh. Dengan memanfaatkan momentum yang ada,

seorang pemimpin perubahan hendaknya terus mem-

perbaharui sistem, struktur, kebijakan-kebijakan, prosedur

hingga kultur organisasi sehingga "fit" dengan visi dan tun-

tutan kebutuhan lingkungannya. Pemimpin hendaknya jangan

mengumumkan kemenangan terlalu dini, agar para pengikut tidak cepat-cepat

minta untuk beristirahat, seperti tentara yang dipanggil pulang sementara

perang belum usai. Kalau mereka sudah kembali ke rumah, mereka pasti

enggan kembali ke medan perang.

8. Lembagakan Pendekatan-pendekatan Baru & Terapkan

Perubahan secara Kultural

Pemimpin harus terus menciptakan hubungan antara perilaku-perilaku baru

dengan keberhasilan entitas usaha. Tanpa menyelesaikan

perubahan kultur, maka organisasi akan tetap bekerja

mengikuti tradisi. Ingatlah perubahan bukanlah ditujukan

untuk mengganti orang, mengubah struktur, atau membeli

perabot-perabot baru. Perubahan pada dasarnya ditujukan untuk memper-

baharui cara memandang persoalan, dan menyelesaikan pekerjaan.

Delapan langkah tersebut bersifat linear, yang artinya prosesnya harus

dijalankan secara sequential, berurutan, melewati beberapa fase. John P. Ko-

tter mengingatkan, bila satu saja tahapan itu dilewati, maka kita hanya akan

menghasilkan apa yang disebutnya sebagai "illusion of speed" (kecepatan

maya) yang dapat menghasilkan perubahan yang tidak sempurna. Tentu saja

selain delapan langkah yang harus dijalankan itu, ada delapan kesalah-an

yang telah dilakukan para pemimpin perubahan. Kedelapan kesalahan itu

adalah: (1) Pemimpin tidak membangun suasana keterdesakan (sense of

urgency); (2) bekerja sendiri, tidak membangun koalisi perubahan; (3) Visi

yang tidak jelas (lacking a vision); (4) tidak ada komunikasi yang baik yang

dirancang secara profesional; (5) tidak sungguh-sungguh menyingkirkan

segala hambatan agar anak buah mampu melaksanakan tugasnya dengan

baik; (6) Pemimpin tidak merasa perlu secara sistematis mengumumkan dan

membuat kemenangan-kemenangan jangka pendek; (7) Mengumumkan

kemenangan terlalu dini; dan (8) Tidak mengintegrasikan aspek kul-tural

dalam perubahan.

Sumber: diolah dari Kotter, J.P (1995). Leading Change: Why Transformation Fail.

Harvard Business Review (March-April). Halaman 148-155.

Saksikan pula film ini:

The Life of David Gale

yang dibintangi oleh

Kevin Spacey

2. Tipe Pelatih (Motivator)

Dalam keadaan yang relatif terbuka, untuk menghindari terjadinya chaos, dan

sekaligus untuk mengubah budaya, pemimpin dapat saja menerapkan cara yang

lebih halus, yaitu dengan pendekatan shaping. Dalam pendekatan ini, pemimpin

menjalankan peran sebagai motivator seperti layaknya seorang pelatih (coach) pada

tim olahraga. Ia tidak turun sendirian tetapi duduk di pinggir lapangan memberi

arahan, memberi inspirasi sekaligus menyemangati anggota timnya.

3. Tipe Navigator

Di sini lingkungan sedikit kurang terkendali sehingga hasil yang dicapai tidak

100% dapat diselesaikan. Oleh karenanya, pemimpin menggunakan beberapa

skenario dalam menangani organisasinya. Seperti seorang yang mengendalikan

pesawat atau kapal besar, maka ia tahu persis bahwa dirinya tidak dapat mengubah

arah angin. Sebagai pemimpin, nahkoda harus melakukan sesuatu. Kalau arah

angin tak bisa diubah, maka arah kapal harus disesuaikan. Kendati demikian,

kendali ada di tangannya, sehingga masa depan dapat dikendalikan (meski tidak

100%).

4. Tipe Penerjemah (Interpreter)



Di sini pemimpin menghadapi persoalan yang sama, hanya saja ia mengambil

peran sebagai penerjemah, yaitu orang yang memberi tafsiran-tafsiran terhadap

'Kebanyakan

sikap kita terha-

dap perubahan

lebih ditentukan

oleh, "Apakah

Saya yang

memeloporinya "

atau "Orang lain

yang memelo-

porinya".

-John C. Maxwell-

Sebuah bom bisa

meletus tiba-tiba, sama

seperti sebuah gunung

merapi. Yang mem-

bedakan tiap orang

adalah bukan kejadian

yang menimpa mereka,

melainkan bagaimana

mereka meresponsnya.

segala sesuatu yang tengah terjadi, baik di dalam organisasi, maupun di luar. Ia

sadar betul bahwa dirinya tidak punya kuasa penuh, tetapi ia punya kecerdasan

membaca "tanda-tanda zaman" dan memberikan visi untuk berubah. Selebihnya

anggota tim harus bekerja sendiri untuk menyelesaikannya.

5. Tipe Pejabat Sementara (Caretaker)

Menyadari keadaan lingkungan bergerak liar dan diwarnai konflik, serta tidak

dapat dikendalikan, pendekatan kontrol menjadi serba salah. Tetapi eksekutif ini

masih dapat menggerakkan bawahan-bawahannya agar bertindak lebih entrepre-

neurial dan inovatif sehingga sasaran menjadi lebih mudah dicapai. Ia masih bisa

merasakan bahwa organisasi sedang berada di mana, dan oleh karenanya dapat

dikendalikan dengan cara yang berbeda-beda.

6. Tipe Perawat (Nurturer)

Seperti seorang perawat, pemimpin tipe ini memposisikan diri hanya untuk

menjaga dan menemani pasien yang sakit, hidup tanpa harapan dan memberi

harapan agar tetap semangat. Karena pasiennya sedang sakit, maka ia tidak bisa

bergerak tegas seperti seorang pelatih. Barangkali tugasnya sekadar memberi ha-

rapan karena hanya itulah yang masih dimiliki si pasien. Ia mengalami kesulitan

memimpin karena organisasi dan lingkungan benar-benar chaos. Tak ada yang bisa

menerka seberapa besar ia akan berhasil.

Pilihan ini begitu luas dan Anda yang harus menentu-kan yang

mana kepemimpinan yang Anda pilih agar efektif. Re-Code

the leader menekankan pentingnya memimpin dengan

keberanian, realistis, berwawasan dan beretika.

MENGHANCURKAN

BELENGGU INSTITUSI

• Organisasi adalah "rumah" bagi manusia dalam berkarya atau bekerja

• Rumah dalam bahasa Inggris bisa dibaca sebagai house (bangunan fisik), tetapi juga home

(spiritnya). Dan home adalah "where the heart is"

• Rumah yang tidak nyaman, yang penuh aturan serta konflik dan tekanan dapat membuat

individu-individu tidak nyaman dan merasa terbelenggu. Demikian juga dengan struktur

dan kulturnya. Keduanya membentuk manusia

• Organisasi dapat didesain mekanistik sehingga semua orang bekerja dengan irama yang

rutin dan dipandu dengan rule dan procedure. Organisasi ini cenderung menjadi birokratik

dan dalam lingkungan yang dinamik, birokrasi dapat membunuh organisasi

• Alternatifnya adalah desain organik yang mampu mendorong pergerakan orang-orang lebih

dinamis dan tidak rutin 7 Re-Code Organisasi " SAYA hanya pesan satu: Jangan menjadi sama dengan mereka,"

ujar seorang direktur kepada seorang anak muda yang baru di-

rekrutnya sebagai salah seorang junior manager. Yang disebut

"mereka" di sini adalah orang-orang lama. Banyak pertanyaan yang

berkecamuk di kepala anak muda ini mengapa ia tidak boleh menjadi

sama dengan orang-orang lama. Apa yang dipesan direktur utama tadi

terlalu umum dan alasan-alasannya tidak jelas. "Nanti, Anda akan

tahu sendiri," ujar direktur itu.

Jika para aktor

mulai berpikir,

maka terjadilah

perubahan.

- Stephen Leacock -

Secara struktural, CEO

dan COO ada hubungan

hierarki.

Tetapi pada beberapa

kasus terjadi keti-

daksempurnaan,

khususnya saat merger

atau aliansi.

Rasa saling tidak per-

caya antar pemegang

saham bisa merembet

ke bawah, yang

tercermin dari

pertarungan antara

CEO

dan COO yang merasa



sama-sama diangkat

pemegang saham dan

berada pada satu level.

Benar saja, baru seminggu bekerja di sana ia sudah mulai merasakan tidak

enak. Namanya orang baru, biasanya bisa langsung menikmati bulan madu karena

semua orang ingin kenal dan mengambil manfaat. Tetapi ini tidak. Ia merasa

semua orang asyik bekerja dengan "geng"-nya. Siang hari banyak orang tak ke-

lihatan. Tapi tas mereka selalu ada di tempat. Radio menyala. Jaket tergantung di

senderan kursi dan adakalanya meja berantakan menandakan orang-orang itu

sedang sibuk. Mereka baru muncul sore hari kongkow-kongkow dalam kelompok-

kelompok. Begitu ia ikut bergabung, semua orang yang sedang tertawa-tawa itu

tiba-tiba terdiam dan tak lama kemudian ngeloyor satu per satu.

Ia juga merasakan sulit mengeksekusi pekerjaan. Rekan-rekan sejawat yang

berada di bagian lain sulit ditemui. Dan begitu ditemui mereka bilang OK akan

segera menyerahkan sesuatu. Nyatanya setelah ditunggu-tunggu seminggu, dua

minggu sampai sebulan, tetap tak ada tanda-tanda bantuan yang dijanjikan datang.

Yang muncul tiba-tiba adalah amarah yang datang dari manajer senior yang juga

baru kena tegur atasannya karena kinerja tidak membaik.

Lewat tiga bulan ia tidak menerima pesan apa-apa dari divisi HR (Human

Resources). Tapi ia mulai mencium gelagat adanya hubungan tidak baik, antara

direktur utama (Chief Excecutive Officer) dan direktur pelaksana (Chief Operation

Officer) ternyata tidak sejalan.

Segala sesuatu yang harusnya diputuskan oleh CEO diambil oleh

COO. Waktu ia protes, COO cuma ber-kata sinis. "Biar saja. Paling

juga sebentar lagi dia akan digusur," ujarnya menunjuk CEO yang

seharusnya ia hormati. "Selama ini saya-lah yang menyelamatkan perusahaan,

bukan dia. Lihat semua pemegang saham ada di belakang saya," ujarnya lagi sambil

menyombongkan dirinya.

Ternyata konflik antara CEO dan COO terus

berkepanjangan, membuat anak buah bingung

menempatkan diri.

Di atas tidak beres, di bawah banyak orang menghilang pada saat jam-jam ker-

ja. Tak ada yang peduli. HR yang mau membenahi setiap hari harus berhadapan

dengan seribu satu masalah: Disiplin pegawai, pemecatan manajer-manajer yang

dianggap tidak perform, penggajian, dan struktur organisasi yang tidak jelas.

HR lalu datang dengan satu usulan: Saatnya melakukan Change! Ia butuh

konsultan. CEO setuju. Demikian pula dengan COO. Tetapi CEO ingin konsul-tan

yang diangkat adalah kawannya sendiri yang berasal dari Hong Kong. Begitu tiba,

konsultan langsung menyodorkan bill perjalanan dan konsultasi awal yang nilainya

tinggi sekali. COO tidak mau mengeluarkan cek. Pekerjaan konsultan menjadi

terkatung-katung dan akhirnya kembali lagi ke Hong Kong sambil meng-gerutu.

Pernahkah Anda menghadapi masa-masa seperti itu?

Konflik antara atasan, struktur organisasi yang tidak jelas, orang-orang yang

tidak perform, budaya kerja yang tidak kondusif, pemilik perusahaan yang tidak

peduli, rekrutmen orang yang terkesan sembarangan, direksi yang tidak memiliki

integritas, skill dan leadership, bawahan yang bingung, intrik, dan lain sebagainya.

Semua itu mungkin terjadi di mana-mana.

Betapa hebatnya Anda, dan betapa besar Change DNA

yang Anda miliki, kalau organisasi tidak mendukung,

maka sia-sialah itu semua.

Organisasi, baik struktur, linkages, boundary, maupun climate dapat membe-

lenggu orang-orang hebat sehingga kinerjanya tidak optimal. Bab ini membahas

bagaimana Anda me-Re-Code organisasi sehingga ia bisa memberi kinerja yang

optimal.

Dengan kata lain, diperlukan upaya-upaya untuk mengeksplorasi "current rea-

lity" yang ada pada setiap orang sebelum melangkah lebih jauh dalam strategi.

Itulah peran Re-Code.

Ini berarti, esensi perubahan adalah mengubah cara manusia berpikir dan

esensi Re-Code adalah membentuk kesamaan dalam melihat sesuatu yang baru,

membentuk realitas-realitas baru, dan menerimanya sebagai kebenaran.

Namun keterbatasan pengetahuan kita, lagi-lagi membawa kita pada cara ber-

pikir lama. Ketika berbicara tentang "pikiran organisasi", kebanyakan eksekutif

selalu mengacu pada "budaya korporat" (corporat culture). Hal ini memang tidak

sepenuhnya salah, tetapi kurang tepat.

• • • Budaya Korporat dan Pikiran Organisasi

Budaya korporat pada dasarnya adalah suatu sistem nilai yang membimbing

orang-orang pada suatu institusi untuk berperilaku tertentu. Karena ada kata "kor-

porat" (bukan "organisasi"), maka budaya korporat tentu saja dimaksudkan untuk

membentuk perilaku-perilaku korporasi. Tentu saja setiap korporasi mempunyai

keunikan dalam membimbing anggota-anggota atau karyawan-karyawannya ber-

perilaku. Namun demikian, secara garis besar korporatisasi mengandung sejumlah

konsekuensi yang berbeda dari organisasi paguyuban, keluarga, atau kekera-batan.

Demikian juga banyak orang yang mengatakan budaya korporat hanya cocok

untuk korporasi. Pandangan ini tentu saja keliru.

Budaya korporat dapat saja kita terapkan dalam pelayanan

jasa-jasa publik, dan birokrasi. Sebab budaya ini mengandung

nilai-nilai profesionalisme dan pelayanan yang didambakan

semua orang.

Namun demikian,

saya merasa perlu

menegaskan kembali:

Bahwa perubahan

pada dasarnya

bukanlah sekadar

melakukan re-or-

ganisasi, re-struk-

turisasi, merger,

atau membawa

teknologi baru.

Perubahan-perubah-

an yang kasat

mata ini disebut

perubahan realita

(reality change).

Masih belum sempurna

betul bila diharapkan

hasil yang optimal.

Dalam bab 9 nanti,

Anda akan menemukan

nasihat para ahli dari

Palo Alto yang me-

negaskan, diperlukan

juga perubahan "the

perception of that

reality".

'Perubahan yang

tidak diselesaikan

ibarat sekolah

tanpa wisuda.'

Spirit Korporatisasi

1. Pemisahan kekayaan (antara milik individu/

keluarga/kelompok dengan milik organisasi

sebagai badan hukum).

2. Pemisahan tanggung jawab, antara pemilik dan

pelaksana (manajemen).

3. Mengutamakan kepentingan pelanggan

(costumer satisfaction).

4. Bekerja dengan sistem.

5. Adanya pencatatan dan transparansi.

6. Adanya pertanggungjawaban (accountability).

7. Bergerak dengan strategi dan rencana kerja.

8. Adanya upaya regenerasi berkelanjutan.

'Satu komponen

berubah, yang

lain ikut beru-

bah.'


Gambar 7.1

Seperti tampak pada Gambar 7.1, budaya korporat mengandung sistem nilai

korporasi sesuai dengan ketentuan hukum yang membentuknya. Pada dasarnya,

korporatisasi dimulai ketika manusia sepakat melakukan pemisahan antara apa

yang ia miliki dan apa yang harus menjadi milik organisasi. Dengan demikian, or-

ganisasi akan memiliki kekayaan sendiri yang tidak boleh dicampur-baur dengan

milik pribadi atau diambil setiap saat seperti milik pribadi.

Karena telah dipisahkan, supaya hidup terus, korporasi harus diberi ruh. Ruh

yang bekerja akan mendiami bagian-bagian penting organisasi sehingga organisasi

dapat berpikir sendiri, walaupun bukan dijalankan oleh pemilik atau wakil-wakil-

nya. Ia dapat berpikir, mencerna informasi, dan mengambil tindakan.

Karena korporasi dimaksudkan untuk menyejahterakan pemilik-pemiliknya,

maka ia dituntut berpikir logis dan menjalankan prinsip-prinsip yang menyejahtera-

kan. Misalnya, efisien, inovatif, tidak menimbulkan beban dan ketergantungan

pada pemiliknya, memberi kontribusi yang positif, serta mampu tumbuh secara

organik.

Oleh karena itu, korporasi harus mengutamakan pelanggan

(customer satisfaction) melalui upaya-upaya yang kreatif,

inovatif, dan pelayanan yang prima.

Demikianlah seterusnya dalam pengelolaan. Dibutuhkan sistem yang menun-

jang, metode pertanggungjawaban kepada pemilik, dan sebagainya.

Meski korporatisasi dijalankan pada korporasi (perusahaan), belakangan ini

muncul tuntutan-tuntutan yang sangat kuat agar badan-badan milik pemerintah dan

yayasan juga dikelola berdasarkan prinsip-prinsip korporasi. Hal ini terutama

disebabkan oleh tiga hal berikut ini, yaitu: 1. Adanya ketergantungan yang sangat besar dari badan-

badan tersebut pada negara, sehingga menjadi "beban"

yang tidak menyejahterakan dan tidak efisien (sehingga

seakan-akan tidak ada pemisahan antara negara dan

lembaga)

2. Buruknya pelayanan yang diberikan oleh badan-

badan tersebut (tidak mengutamakan kepuasan

pelanggan), dan

3. Memudarnya peran negara di seluruh dunia. Peran negara

yang memudar terjadi merata di seluruh dunia sebagai

produk dari paham liberal demokrasi yang

mengedepankan mekanisme pasar dan persaingan.

Persaingan dianggap dapat berjalan sehat, bila negara

tidak turut campur tangan, apalagi ikut bersaing melawan

korporasi-korporasi dunia.

Dalam perkembangannya, budaya korporat lebih mengedepankan etika dan

sistem nilai untuk membentuk kepribadian organisasi. Tentu saja sistem nilai itu

bukanlah sistem nilai inovatif belaka, melainkan juga sistem nilai kreatif yang

memacu manusia berprestasi.

Tentu saja dalam proses pengembangannya, budaya korporat sangat dipenga-

ruhi oleh nilai-nilai para pendiri atau pemilik/penasihat organisasi. Namun yang

terpenting adalah

kultur dan nilai-nilai yang dikembangkan harus mencerminkan

kemampuan organisasi beradaptasi dengan lingkungannya. Seperti

orangtua yang menamakan nilai-nilai pada anaknya, kita menanam-kan nilai-nilai

pada organisasi bukan semata-mata agar ia menjadi "anak" yang baik saja,

melainkan juga nilai-nilai yang diperlukan untuk menghadapi persaingan atau


Yüklə 1,02 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   13   14   15   16   17   18   19   20   ...   25




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©azkurs.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin