visioning, melakukan implementasi, dan mengendalikannya.
Perubahan yang
terlalu tegang
akan membuat
para anggota
cepat letih dan
kehilangan
energi.
Model N-Step dari John P. Kotter
(N = 8)
PADA tahun 1995, John P. Kotter, seorang ahli kepemimpinan memper-
kenalkan model 8 langkah dalam memimpin perubahan. Model ini kemu-
dian menjadi sangat terkenal di kalangan ilmuwan manajemen, sekaligus di
kalangan para praktisi bisnis. Penjelasannya sangat logis, disertai oleh
kemampuan John Kotter dalam meramu pandangan-pandangannya secara
populer. Di negara-negara maju, model ini dipercaya cukup ampuh dalam
memimpin perubahan. Selain karena masyarakatnya berpikiran logis, or-
ganisasi pemerintahan pun sudah berbentuk semi korporat, sehingga praktis
mempermudah CEO menjalankan kepemimpinannya.
Sekalipun demikian, Model 8 langkah adalah sebuah model yang hanya
cocok diterapkan untuk pemimpin tipe direktur, di mana hasil yang akan diperoleh (outcomes) dapat diprediksi (kemungkinan berhasil sangat besar, predictable), dan
pemimpin dapat melakukan controlling. Ini berarti pemimpin memiliki kuasa penuh terhadap
wilayah kekuasaannya, dan dapat mengeksekusi program melalui pendekatan atas-bawah (top-
down). Berikut adalah 8 langkah yang dianjurkan oleh John P. Kotter :
1. Ciptakan Suasana yang Mendesak (Sense of Urgency)
Perubahan dimulai dengan penyadaran pada semua pihak, bahwa institusi Anda berada pada
situasi yang gawat. Kalau tidak diatasi segera, dapat masuk ke "ruang gawat
darurat." Pemimpin memulai upaya perubahan dengan menunjukkan atau
mendiskusikan indikator-indikator krisis, hal-hal yang berpotensi kri-sis, dan
peluang-peluang yang ada di balik krisis itu. Kalau tidak terdesak, orang-orang
akan memeluk erat selimut rasa nyamannya dan berlindung di dalam zona
kenyamanan itu. Mereka Umumnya tidak peduli, dan tidak percaya terhadap
apa yang tidak mereka lihat. Maka tugas pertama seorang pemimpin adalah mengajak semua
orang melihat apa yang ia lihat. Ingatlah, pada setiap masalah yang sama, dua orang yang
berdekatan bisa melihat dengan kesimpulan yang berbeda.
2. Membentuk Koalisi Perubahan yang Kokoh
Perubahan biasanya dimulai dari satu atau dua orang, tetapi ia tidak akan
efektif kalau tidak mendapat dukungan dari suatu kekuatan massa yang besar.
Massa yang besar itu Umumnya adalah para late-comers atau laggards yang
baru bergerak kalau orang banyak sudah bergerak. Oleh karena itu pemimpin
perlu membentuk suatu koalisi yang terdiri atas 5, 15, atau 50 orang untuk ikut menggerakkan
perubahan. Mereka ini kita sebut sebagai agen-agen perubahan, yang tugasnya memotret, men-
jelaskan, memantau, dan mendorong orang-orang di sekitarnya ikut mendukung perubahan.
3. Membangun Visi
Koalisi perubahan bekerja menerjemahkan Visi ke depan. Tanpa visi, para
pengikut akan kehilangan arah. Visi yang jauh ke depan harus dapat dipilah-
pilah menjadi tahunan, semesteran, atau bahkan 3 bulanan. Visi harus men-
cakup bukan saja sasaran, melainkan juga produk (output), segmen pasar, dan
organisasi.
4. Komunikasi Visi
Visi yang baik harus terkomunikasi dengan jelas dan terarah. Komuni-
kasi dapat dicapai dengan berbagai cara, termasuk dengan contoh-contoh.
Mengubah perilaku Umumnya hanya bisa dilakukan melalui contoh konkret
dengan nilai-nilai yang disepakati bersama.
5. Mendorong Para Pengikut Bertindak Sesuai dengan Visi
Pemimpin memberikan alat-alat (resources) yang memadai agar semua orang dapat bertindak
'Kehabisan
tenaga mengan-
cam kehidupan
bangsa dan tiap
warganya. Ia
adalah kesakitan
selagi mengantuk,
kematian selagi
tidur.'
- Kahlil Gibran -
untuk mencapai visi. Caranya bukan sekadar memberikan sumber daya yang
dapat dialokasikan untuk mereka, melainkan juga menyingkirkan segala
rintangan yang ada agar organisasi mampu bergerak lincah. Termasuk
di dalamnya adalah mendorong agar tim lebih berani
mengambil langkah-langkah berisiko dan keluar dengan gagasan-gagasan
original, dan melakukan terobosan-terobosan kreatif.
6. Raihlah Kemenangan kemenangan Jangka Pendek
Perubahan pada Umumnya tidak dapat dicapai dalam tempo yang singkat.
Oleh karena itu tidak jarang ditemui perubahan yang tidak terselesaikan
karena jangkauan pandangan yang ditun-tut terlalu jauh sehingga banyak
orang yang keletihan, hilang arah, dan tercecer di tempat-tempat tertentu.
Jarak yang jauh ini tentu dapat melemahkan semangat tim. Oleh
karena itu, dalam setiap aktivitas perubahan, penting bagi pemimpin untuk
memberikan kemenangan-kemenangan "antara" agar para pengikut
mengetahui di mana mereka berada, dan terus bersemangat mencapai tujuan.
7. Jangan Berhenti, Teruslah Lakukan Konsolidasi
Perubahan adalah ibarat seorang yang mengayuh sepeda. Kalau ia berhenti ia
akan jatuh. Supaya tidak terjatuh, maka ia harus terus
mengayuh. Dengan memanfaatkan momentum yang ada,
seorang pemimpin perubahan hendaknya terus mem-
perbaharui sistem, struktur, kebijakan-kebijakan, prosedur
hingga kultur organisasi sehingga "fit" dengan visi dan tun-
tutan kebutuhan lingkungannya. Pemimpin hendaknya jangan
mengumumkan kemenangan terlalu dini, agar para pengikut tidak cepat-cepat
minta untuk beristirahat, seperti tentara yang dipanggil pulang sementara
perang belum usai. Kalau mereka sudah kembali ke rumah, mereka pasti
enggan kembali ke medan perang.
8. Lembagakan Pendekatan-pendekatan Baru & Terapkan
Perubahan secara Kultural
Pemimpin harus terus menciptakan hubungan antara perilaku-perilaku baru
dengan keberhasilan entitas usaha. Tanpa menyelesaikan
perubahan kultur, maka organisasi akan tetap bekerja
mengikuti tradisi. Ingatlah perubahan bukanlah ditujukan
untuk mengganti orang, mengubah struktur, atau membeli
perabot-perabot baru. Perubahan pada dasarnya ditujukan untuk memper-
baharui cara memandang persoalan, dan menyelesaikan pekerjaan.
Delapan langkah tersebut bersifat linear, yang artinya prosesnya harus
dijalankan secara sequential, berurutan, melewati beberapa fase. John P. Ko-
tter mengingatkan, bila satu saja tahapan itu dilewati, maka kita hanya akan
menghasilkan apa yang disebutnya sebagai "illusion of speed" (kecepatan
maya) yang dapat menghasilkan perubahan yang tidak sempurna. Tentu saja
selain delapan langkah yang harus dijalankan itu, ada delapan kesalah-an
yang telah dilakukan para pemimpin perubahan. Kedelapan kesalahan itu
adalah: (1) Pemimpin tidak membangun suasana keterdesakan (sense of
urgency); (2) bekerja sendiri, tidak membangun koalisi perubahan; (3) Visi
yang tidak jelas (lacking a vision); (4) tidak ada komunikasi yang baik yang
dirancang secara profesional; (5) tidak sungguh-sungguh menyingkirkan
segala hambatan agar anak buah mampu melaksanakan tugasnya dengan
baik; (6) Pemimpin tidak merasa perlu secara sistematis mengumumkan dan
membuat kemenangan-kemenangan jangka pendek; (7) Mengumumkan
kemenangan terlalu dini; dan (8) Tidak mengintegrasikan aspek kul-tural
dalam perubahan.
Sumber: diolah dari Kotter, J.P (1995). Leading Change: Why Transformation Fail.
Harvard Business Review (March-April). Halaman 148-155.
Saksikan pula film ini:
The Life of David Gale
yang dibintangi oleh
Kevin Spacey
2. Tipe Pelatih (Motivator)
Dalam keadaan yang relatif terbuka, untuk menghindari terjadinya chaos, dan
sekaligus untuk mengubah budaya, pemimpin dapat saja menerapkan cara yang
lebih halus, yaitu dengan pendekatan shaping. Dalam pendekatan ini, pemimpin
menjalankan peran sebagai motivator seperti layaknya seorang pelatih (coach) pada
tim olahraga. Ia tidak turun sendirian tetapi duduk di pinggir lapangan memberi
arahan, memberi inspirasi sekaligus menyemangati anggota timnya.
3. Tipe Navigator
Di sini lingkungan sedikit kurang terkendali sehingga hasil yang dicapai tidak
100% dapat diselesaikan. Oleh karenanya, pemimpin menggunakan beberapa
skenario dalam menangani organisasinya. Seperti seorang yang mengendalikan
pesawat atau kapal besar, maka ia tahu persis bahwa dirinya tidak dapat mengubah
arah angin. Sebagai pemimpin, nahkoda harus melakukan sesuatu. Kalau arah
angin tak bisa diubah, maka arah kapal harus disesuaikan. Kendati demikian,
kendali ada di tangannya, sehingga masa depan dapat dikendalikan (meski tidak
100%).
4. Tipe Penerjemah (Interpreter)
Di sini pemimpin menghadapi persoalan yang sama, hanya saja ia mengambil
peran sebagai penerjemah, yaitu orang yang memberi tafsiran-tafsiran terhadap
'Kebanyakan
sikap kita terha-
dap perubahan
lebih ditentukan
oleh, "Apakah
Saya yang
memeloporinya "
atau "Orang lain
yang memelo-
porinya".
-John C. Maxwell-
Sebuah bom bisa
meletus tiba-tiba, sama
seperti sebuah gunung
merapi. Yang mem-
bedakan tiap orang
adalah bukan kejadian
yang menimpa mereka,
melainkan bagaimana
mereka meresponsnya.
segala sesuatu yang tengah terjadi, baik di dalam organisasi, maupun di luar. Ia
sadar betul bahwa dirinya tidak punya kuasa penuh, tetapi ia punya kecerdasan
membaca "tanda-tanda zaman" dan memberikan visi untuk berubah. Selebihnya
anggota tim harus bekerja sendiri untuk menyelesaikannya.
5. Tipe Pejabat Sementara (Caretaker)
Menyadari keadaan lingkungan bergerak liar dan diwarnai konflik, serta tidak
dapat dikendalikan, pendekatan kontrol menjadi serba salah. Tetapi eksekutif ini
masih dapat menggerakkan bawahan-bawahannya agar bertindak lebih entrepre-
neurial dan inovatif sehingga sasaran menjadi lebih mudah dicapai. Ia masih bisa
merasakan bahwa organisasi sedang berada di mana, dan oleh karenanya dapat
dikendalikan dengan cara yang berbeda-beda.
6. Tipe Perawat (Nurturer)
Seperti seorang perawat, pemimpin tipe ini memposisikan diri hanya untuk
menjaga dan menemani pasien yang sakit, hidup tanpa harapan dan memberi
harapan agar tetap semangat. Karena pasiennya sedang sakit, maka ia tidak bisa
bergerak tegas seperti seorang pelatih. Barangkali tugasnya sekadar memberi ha-
rapan karena hanya itulah yang masih dimiliki si pasien. Ia mengalami kesulitan
memimpin karena organisasi dan lingkungan benar-benar chaos. Tak ada yang bisa
menerka seberapa besar ia akan berhasil.
Pilihan ini begitu luas dan Anda yang harus menentu-kan yang
mana kepemimpinan yang Anda pilih agar efektif. Re-Code
the leader menekankan pentingnya memimpin dengan
keberanian, realistis, berwawasan dan beretika.
MENGHANCURKAN
BELENGGU INSTITUSI
• Organisasi adalah "rumah" bagi manusia dalam berkarya atau bekerja
• Rumah dalam bahasa Inggris bisa dibaca sebagai house (bangunan fisik), tetapi juga home
(spiritnya). Dan home adalah "where the heart is"
• Rumah yang tidak nyaman, yang penuh aturan serta konflik dan tekanan dapat membuat
individu-individu tidak nyaman dan merasa terbelenggu. Demikian juga dengan struktur
dan kulturnya. Keduanya membentuk manusia
• Organisasi dapat didesain mekanistik sehingga semua orang bekerja dengan irama yang
rutin dan dipandu dengan rule dan procedure. Organisasi ini cenderung menjadi birokratik
dan dalam lingkungan yang dinamik, birokrasi dapat membunuh organisasi
• Alternatifnya adalah desain organik yang mampu mendorong pergerakan orang-orang lebih
dinamis dan tidak rutin 7 Re-Code Organisasi " SAYA hanya pesan satu: Jangan menjadi sama dengan mereka,"
ujar seorang direktur kepada seorang anak muda yang baru di-
rekrutnya sebagai salah seorang junior manager. Yang disebut
"mereka" di sini adalah orang-orang lama. Banyak pertanyaan yang
berkecamuk di kepala anak muda ini mengapa ia tidak boleh menjadi
sama dengan orang-orang lama. Apa yang dipesan direktur utama tadi
terlalu umum dan alasan-alasannya tidak jelas. "Nanti, Anda akan
tahu sendiri," ujar direktur itu.
Jika para aktor
mulai berpikir,
maka terjadilah
perubahan.
- Stephen Leacock -
Secara struktural, CEO
dan COO ada hubungan
hierarki.
Tetapi pada beberapa
kasus terjadi keti-
daksempurnaan,
khususnya saat merger
atau aliansi.
Rasa saling tidak per-
caya antar pemegang
saham bisa merembet
ke bawah, yang
tercermin dari
pertarungan antara
CEO
dan COO yang merasa
sama-sama diangkat
pemegang saham dan
berada pada satu level.
Benar saja, baru seminggu bekerja di sana ia sudah mulai merasakan tidak
enak. Namanya orang baru, biasanya bisa langsung menikmati bulan madu karena
semua orang ingin kenal dan mengambil manfaat. Tetapi ini tidak. Ia merasa
semua orang asyik bekerja dengan "geng"-nya. Siang hari banyak orang tak ke-
lihatan. Tapi tas mereka selalu ada di tempat. Radio menyala. Jaket tergantung di
senderan kursi dan adakalanya meja berantakan menandakan orang-orang itu
sedang sibuk. Mereka baru muncul sore hari kongkow-kongkow dalam kelompok-
kelompok. Begitu ia ikut bergabung, semua orang yang sedang tertawa-tawa itu
tiba-tiba terdiam dan tak lama kemudian ngeloyor satu per satu.
Ia juga merasakan sulit mengeksekusi pekerjaan. Rekan-rekan sejawat yang
berada di bagian lain sulit ditemui. Dan begitu ditemui mereka bilang OK akan
segera menyerahkan sesuatu. Nyatanya setelah ditunggu-tunggu seminggu, dua
minggu sampai sebulan, tetap tak ada tanda-tanda bantuan yang dijanjikan datang.
Yang muncul tiba-tiba adalah amarah yang datang dari manajer senior yang juga
baru kena tegur atasannya karena kinerja tidak membaik.
Lewat tiga bulan ia tidak menerima pesan apa-apa dari divisi HR (Human
Resources). Tapi ia mulai mencium gelagat adanya hubungan tidak baik, antara
direktur utama (Chief Excecutive Officer) dan direktur pelaksana (Chief Operation
Officer) ternyata tidak sejalan.
Segala sesuatu yang harusnya diputuskan oleh CEO diambil oleh
COO. Waktu ia protes, COO cuma ber-kata sinis. "Biar saja. Paling
juga sebentar lagi dia akan digusur," ujarnya menunjuk CEO yang
seharusnya ia hormati. "Selama ini saya-lah yang menyelamatkan perusahaan,
bukan dia. Lihat semua pemegang saham ada di belakang saya," ujarnya lagi sambil
menyombongkan dirinya.
Ternyata konflik antara CEO dan COO terus
berkepanjangan, membuat anak buah bingung
menempatkan diri.
Di atas tidak beres, di bawah banyak orang menghilang pada saat jam-jam ker-
ja. Tak ada yang peduli. HR yang mau membenahi setiap hari harus berhadapan
dengan seribu satu masalah: Disiplin pegawai, pemecatan manajer-manajer yang
dianggap tidak perform, penggajian, dan struktur organisasi yang tidak jelas.
HR lalu datang dengan satu usulan: Saatnya melakukan Change! Ia butuh
konsultan. CEO setuju. Demikian pula dengan COO. Tetapi CEO ingin konsul-tan
yang diangkat adalah kawannya sendiri yang berasal dari Hong Kong. Begitu tiba,
konsultan langsung menyodorkan bill perjalanan dan konsultasi awal yang nilainya
tinggi sekali. COO tidak mau mengeluarkan cek. Pekerjaan konsultan menjadi
terkatung-katung dan akhirnya kembali lagi ke Hong Kong sambil meng-gerutu.
Pernahkah Anda menghadapi masa-masa seperti itu?
Konflik antara atasan, struktur organisasi yang tidak jelas, orang-orang yang
tidak perform, budaya kerja yang tidak kondusif, pemilik perusahaan yang tidak
peduli, rekrutmen orang yang terkesan sembarangan, direksi yang tidak memiliki
integritas, skill dan leadership, bawahan yang bingung, intrik, dan lain sebagainya.
Semua itu mungkin terjadi di mana-mana.
Betapa hebatnya Anda, dan betapa besar Change DNA
yang Anda miliki, kalau organisasi tidak mendukung,
maka sia-sialah itu semua.
Organisasi, baik struktur, linkages, boundary, maupun climate dapat membe-
lenggu orang-orang hebat sehingga kinerjanya tidak optimal. Bab ini membahas
bagaimana Anda me-Re-Code organisasi sehingga ia bisa memberi kinerja yang
optimal.
Dengan kata lain, diperlukan upaya-upaya untuk mengeksplorasi "current rea-
lity" yang ada pada setiap orang sebelum melangkah lebih jauh dalam strategi.
Itulah peran Re-Code.
Ini berarti, esensi perubahan adalah mengubah cara manusia berpikir dan
esensi Re-Code adalah membentuk kesamaan dalam melihat sesuatu yang baru,
membentuk realitas-realitas baru, dan menerimanya sebagai kebenaran.
Namun keterbatasan pengetahuan kita, lagi-lagi membawa kita pada cara ber-
pikir lama. Ketika berbicara tentang "pikiran organisasi", kebanyakan eksekutif
selalu mengacu pada "budaya korporat" (corporat culture). Hal ini memang tidak
sepenuhnya salah, tetapi kurang tepat.
• • • Budaya Korporat dan Pikiran Organisasi
Budaya korporat pada dasarnya adalah suatu sistem nilai yang membimbing
orang-orang pada suatu institusi untuk berperilaku tertentu. Karena ada kata "kor-
porat" (bukan "organisasi"), maka budaya korporat tentu saja dimaksudkan untuk
membentuk perilaku-perilaku korporasi. Tentu saja setiap korporasi mempunyai
keunikan dalam membimbing anggota-anggota atau karyawan-karyawannya ber-
perilaku. Namun demikian, secara garis besar korporatisasi mengandung sejumlah
konsekuensi yang berbeda dari organisasi paguyuban, keluarga, atau kekera-batan.
Demikian juga banyak orang yang mengatakan budaya korporat hanya cocok
untuk korporasi. Pandangan ini tentu saja keliru.
Budaya korporat dapat saja kita terapkan dalam pelayanan
jasa-jasa publik, dan birokrasi. Sebab budaya ini mengandung
nilai-nilai profesionalisme dan pelayanan yang didambakan
semua orang.
Namun demikian,
saya merasa perlu
menegaskan kembali:
Bahwa perubahan
pada dasarnya
bukanlah sekadar
melakukan re-or-
ganisasi, re-struk-
turisasi, merger,
atau membawa
teknologi baru.
Perubahan-perubah-
an yang kasat
mata ini disebut
perubahan realita
(reality change).
Masih belum sempurna
betul bila diharapkan
hasil yang optimal.
Dalam bab 9 nanti,
Anda akan menemukan
nasihat para ahli dari
Palo Alto yang me-
negaskan, diperlukan
juga perubahan "the
perception of that
reality".
'Perubahan yang
tidak diselesaikan
ibarat sekolah
tanpa wisuda.'
Spirit Korporatisasi
1. Pemisahan kekayaan (antara milik individu/
keluarga/kelompok dengan milik organisasi
sebagai badan hukum).
2. Pemisahan tanggung jawab, antara pemilik dan
pelaksana (manajemen).
3. Mengutamakan kepentingan pelanggan
(costumer satisfaction).
4. Bekerja dengan sistem.
5. Adanya pencatatan dan transparansi.
6. Adanya pertanggungjawaban (accountability).
7. Bergerak dengan strategi dan rencana kerja.
8. Adanya upaya regenerasi berkelanjutan.
'Satu komponen
berubah, yang
lain ikut beru-
bah.'
Gambar 7.1
Seperti tampak pada Gambar 7.1, budaya korporat mengandung sistem nilai
korporasi sesuai dengan ketentuan hukum yang membentuknya. Pada dasarnya,
korporatisasi dimulai ketika manusia sepakat melakukan pemisahan antara apa
yang ia miliki dan apa yang harus menjadi milik organisasi. Dengan demikian, or-
ganisasi akan memiliki kekayaan sendiri yang tidak boleh dicampur-baur dengan
milik pribadi atau diambil setiap saat seperti milik pribadi.
Karena telah dipisahkan, supaya hidup terus, korporasi harus diberi ruh. Ruh
yang bekerja akan mendiami bagian-bagian penting organisasi sehingga organisasi
dapat berpikir sendiri, walaupun bukan dijalankan oleh pemilik atau wakil-wakil-
nya. Ia dapat berpikir, mencerna informasi, dan mengambil tindakan.
Karena korporasi dimaksudkan untuk menyejahterakan pemilik-pemiliknya,
maka ia dituntut berpikir logis dan menjalankan prinsip-prinsip yang menyejahtera-
kan. Misalnya, efisien, inovatif, tidak menimbulkan beban dan ketergantungan
pada pemiliknya, memberi kontribusi yang positif, serta mampu tumbuh secara
organik.
Oleh karena itu, korporasi harus mengutamakan pelanggan
(customer satisfaction) melalui upaya-upaya yang kreatif,
inovatif, dan pelayanan yang prima.
Demikianlah seterusnya dalam pengelolaan. Dibutuhkan sistem yang menun-
jang, metode pertanggungjawaban kepada pemilik, dan sebagainya.
Meski korporatisasi dijalankan pada korporasi (perusahaan), belakangan ini
muncul tuntutan-tuntutan yang sangat kuat agar badan-badan milik pemerintah dan
yayasan juga dikelola berdasarkan prinsip-prinsip korporasi. Hal ini terutama
disebabkan oleh tiga hal berikut ini, yaitu: 1. Adanya ketergantungan yang sangat besar dari badan-
badan tersebut pada negara, sehingga menjadi "beban"
yang tidak menyejahterakan dan tidak efisien (sehingga
seakan-akan tidak ada pemisahan antara negara dan
lembaga)
2. Buruknya pelayanan yang diberikan oleh badan-
badan tersebut (tidak mengutamakan kepuasan
pelanggan), dan
3. Memudarnya peran negara di seluruh dunia. Peran negara
yang memudar terjadi merata di seluruh dunia sebagai
produk dari paham liberal demokrasi yang
mengedepankan mekanisme pasar dan persaingan.
Persaingan dianggap dapat berjalan sehat, bila negara
tidak turut campur tangan, apalagi ikut bersaing melawan
korporasi-korporasi dunia.
Dalam perkembangannya, budaya korporat lebih mengedepankan etika dan
sistem nilai untuk membentuk kepribadian organisasi. Tentu saja sistem nilai itu
bukanlah sistem nilai inovatif belaka, melainkan juga sistem nilai kreatif yang
memacu manusia berprestasi.
Tentu saja dalam proses pengembangannya, budaya korporat sangat dipenga-
ruhi oleh nilai-nilai para pendiri atau pemilik/penasihat organisasi. Namun yang
terpenting adalah
kultur dan nilai-nilai yang dikembangkan harus mencerminkan
kemampuan organisasi beradaptasi dengan lingkungannya. Seperti
orangtua yang menamakan nilai-nilai pada anaknya, kita menanam-kan nilai-nilai
pada organisasi bukan semata-mata agar ia menjadi "anak" yang baik saja,
melainkan juga nilai-nilai yang diperlukan untuk menghadapi persaingan atau
Dostları ilə paylaş: |