luas bmb
Nsm
Npc
Ntg
Nph
Nbmb
lux
suhu
. udara
pH tanah
. tanah
lereng
altd
Gambar 31 Distribusi strata pertumbuhan Syzygium terhadap variabel lingkungan
fisik dan biotik di TWA Gunung Baung. Canonical Correspondence
Analisys (CCA) diagram ordinasi strata pertumbuhan Syzygium (∆),
variabel lingkungan (anak panah). Strata pertumbuhan Syzygium: Jml
sm = strata semai, Jml pnc = strata pancang, Jml tng = strata tiang,
Jml phn = strata pohon. Variabel lingkungan fisik dan biotik: lux =
intensitas penyinaran, suhu = suhu udara, lereng = kelerengan tempat,
altd = ketinggian tempat, .tanah = kelembapan tanah, .udara =
kelembapan udara, pH tanah, Nsm = jumlah individu semai dan
tumbuhan bawah, Npc = jumlah individu pancang, Ntg = jumlah
individu tiang, Nph = jumlah individu pohon, Nbmb = jumlah
rumpun bambu, luas bmb = luas rumpun bambu
82
5.11.2. Regresi Linear Berganda
Pertumbuhan vegetasi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat
hidupnya. Kondisi lingkungan tersebut meliputi kondisi lingkungan fisik dan
biotik. Seberapa besar dan faktor apa saja yang mempengaruhi keberadaan suatu
spesies tumbuhan dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan hubungan
antara keduanya. Hasil analisis korelasi dan regresi linear berganda dilakukan
untuk mengetahui hubungan antara kehadiran Syzygium, yang ditandai dengan
jumlah individu Syzygium (sebagai variable tak bebas-Y) dengan faktor
lingkungannya. Faktor lingkungan yang digunakan meliputi berjumlah 13 variabel
(sebagai variable bebas-X), yaitu: luas rumpun bambu, jumlah individu semai,
jumlah individu pancang, jumlah individu tiang, jumlah individu pohon, jumlah
rumpun bamboo, intensitas cahaya, suhu udara, kelembaban udara, pH tanah,
kelembaban tanah, kelerengan , dan ketinggian tempat (altitude). Kesemua data
variabel ditransformasi dalam bentuk ln (1+n). Hal ini dilakukan untuk
memastikan sifat kenormalan data yang digunakan.
Hasil analisi korelasi Pearson pada α=5% yang dilakukan antara variable
jumlah individu Syzygium dengan variabel faktor-faktor lingkungannya
menunjukkan hasil korelasi yang signifikan hanya hubungan antara jumlah
individu Syzygium dengan variabel kelembapan tanah dan ketinggian tempat.
Nilai korelasi Pearson untuk tiap variabel tersebut adalah: kelembapan
tanah (%tanah) sebesar – 0,19, dan ketinggian tempat sebesar 0,27 (semua nilai P-
value < 5%). Hubungan korelasi antar variabel-variabel lainnya terjadi secara
tidak signifikan, yang ditandai dengan P-value yang lebih besar dari 5%. Data
lengkap hasil analisis korelasi ditampilkan pada lampiran.
Analisi regresi linear berganda selanjutnya dilakukan untuk menganalisis
hubungan antara jumlah individu Syzygium (sebagai variabel Y) dan ketiga belas
variabel-variabel lingkungan lainnya (sebagai variabel x). Hal ini dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara jumlah individu Syzygium dengan beberapa variabel
lingkungannya. Hasil regresi yang dilakukan memperoleh persamaan regresi
sebagai berikut:
83
ln Y = - 9,02 + 0,06 ln x
1
+ 0,08 ln x
2
+ 0,07 ln x
3
+ 0,11 ln x
4
– 0,03 ln x
5
– 0,20 ln
x
6
– 0,01 ln x
7
+ 0,62 ln x
8
+ 0,12 ln x
9
– 0,13 ln x
10
– 0,62 ln x
11
– 0,09 ln
x
12
+ 1,79 ln x
13
Keterangan :
Y
= jumlah individu Syzygium (individu / petak pengamatan)
x
1
= luas rumpun bambu pada tiap petak pengamatan (m
2
)
x
2
= jumlah individu semai dan tumbuhan bawah pada tiap petak pengamatan (individu)
x
3
= jumlah individu pancang pada tiap petak pengamatan (individu)
x
4
= jumlah individu tiang pada tiap petak pengamatan (individu)
x
5
= jumlah individu pohon pada tiap petak pengamatan (individu)
x
6
= jumlah rumpun bambu pada tiap petak pengamatan (rumpun)
x
7
= intensitas penyinaran (lux)
x
8
= suhu udara (
o
C)
x
9
= kelembapan udara (%)
x
10
= pH tanah
x
11
= kelembaban tanah (%)
x
12
= kemiringan lereng (%)
x
13
= ketinggian tempat ( m dpl)
Persamaan regresi ini menujukkan hasil yang tidak ideal, karena terjadi
multikolinearitas di antara variabel-variabel bebasnya. Hal ini diketahui dari nilai
VIF (Variance Inflation Factor) yang lebih besar dari satu (VIF> 1) untuk semua
variabel bebasnya (Iriawan dan Astuti 2006). Untuk itu perlu dilakukan
penyederhanaan model persamaan dengan menggunakan metode Regresi
Stepwise. Hasil persamaan regresinya adalah sebagai berikut:
ln Y
= - 6,34 + 1,28
ln
x
13
– 0,15
ln
x
6
Hasil ini menunjukkan bahwa variabel ketinggian tempat (x
13
) dan jumlah
rumpun bambu (x
6
) memiliki pengaruh terhadap jumlah individu Syzygium. Kedua
variable tersebut menyederhanakan dan mewakili variabel-variabel lainnya. Hasil
analisis menunjukkan bahwa pengujian parameter model berdasarkan pada nilai
P-value yang dihasilkan mengindikasikan bahwa variabel ketinggian tempat dan
jumlah rumpun bambu memiliki makna dalam model persamaan tersebut. Kedua
nilai P-value untuk variabel tersebut < 0.05 yang berarti bahwa keduanya
berpengaruh terhadap jumlah individu Syzygium. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa secara linear, variabel ketinggian tempat dan jumlah rumpun
bambu adalah variabel lingkungan yang mempengaruhi jumlah individu Syzygium
di TWA Gunung Baung. Kenaikan sebesar 1 meter ketinggian tempat dari atas
permukaan laut, tanpa terjadi penambahan jumlah rumpun bambu akan
mengurangi kehadiran Syzygium sebanyak 5,06 individu. Semakin tinggi tempat,
84
maka kemungkinan untuk menjumpai Syzygium semakin berkurang. Hubungan ini
hanya dapat diterangkan sebesar 11,71% dari data yang diperoleh, selebihnya
dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan lainnya.
Spesies Syzygium banyak dijumpai pada kisaran ketinggian tempat antara
401-450 m dpl (156 individu). Pada ketinggian > 450 mdpl hanya dijumpai
sebanyak 18 individu. Spesies pohon yang banyak dijumpai pada daerah-daerah
puncak bukit adalah Schoetonia ovata (walikukun), Streblus asper (kayu serut),
dan Emblica officinalis.
5.12. Potensi dan Pemanfaatan Syzygium
Syzygium cumini, S. polyanthum, dan S. samarangense adalah spesies
Syzygium yang telah umum dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Pemanfaatannya secara tradisional terutama digunakan untuk dikonsumsi
buahnya, sebagai bahan bumbu masak, sebagai bahan baku obat tradisional atau
kayunya digunakan sebagai bahan perabot rumah tangga dan bangunan.
Sebagai penghasil buah, S. samarangense adalah salah satu spesies
Syzygium yang mengalami proses teknik budidaya “paling maju” dibandingkan
spesies lainnya. Hingga saat ini telah dihasilkan banyak kultivar dari spesies ini.
Bahkan tidak jarang hal tersebut menyebabkan terjadinya spesies baru akibat
campur tangan manusia. Widodo (2007) menyebutkan bahwa kegiatan hibridisasi
untuk menghasilkan varietas unggul baru merupakan salah satu proses spesiasi
yang terjadi pada kelompok marga Syzygium. Setidaknya terdapat 9 kultivar
Syzygium samarangense yang telah dikenal dan dikembangkan oleh masyarakat
(Cahyono 2010).
Pemanfaatan S. cumini secara tradisional antara lain adalah buahnya untuk
bahan pembuatan selai atau sebagai buah konsumsi, kayunya digunakan sebagai
bahan baku perkakas rumah tangga dan bahan bangunan, serta daun dan bijinya
untuk obat tradisional. Penelitian-penelitian yang intensif tentang potensi
kandungan zat aktif dalam spesies ini menunjukkan bahwa banyak manfaat medis
yang diberikan oleh spesies ini. Salah satunya adalah sebagai penghasil bahan
baku obat diabetes militus. Kandungan asam oleanolic pada tanaman ini (pada
kulit batang, daun, dan terutama dibagian biji) berkhasiat untuk menurunkan
kadar glukosa darah (hipoglikemik) dan bersifat sebagai zat anti diabetikum
85
(Tjirosoepomo 1994; Mas’udah et al. 2010). Istilah simplisia yang digunakan
untuk jenis ini antara lain: S.cumini cortex (untuk kulit batang) dan S. cumini
semen (untuk biji), Dalimartha (2003). Lestario (2003) mengemukakan bahwa
buah duwet merupakan sumber antioksidan yang berguna bagi kesehatan. Zat ini
dibutuhkan oleh tubuh untuk mencegah penyakit degeneratif.
Pemanfaatan S. polyanthum secara tradisional adalah daunnya digunakan
sebagai bahan bumbu dan obat serta kayunya digunakan sebagai bahan bangunan.
Spesies ini sering digunakan sebagai bahan obat diare, asam urat, dibetes dan
menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Potensi yang lebih besar sesungguhnya
dimiliki oleh spesies ini yang tidak hanya terbatas pada pemanfaatan secara
tradisional. Beberapa penelitian tentang kandungan kimia yang dimiliki oleh
spesies ini mengemukakan bahwa spesies ini berpotensi sebagai penghasil tannin,
flavanoid dan esensial oils (0,05%). Asam citric dan eugenol juga termasuk di
dalamnya (Sumarno dan Agustin 2008).
Daun salam (S. polyanthum) mengandung zat kimia yang berpotensi
digunakan sebagai obat anti diare. Wiryawan et al. (2007), mengemukakan bahwa
pemberian tepung daun salam sampai 3% pada ransum pakan ayam, mampu
meningkatkan bobot badan ayam, serta menekan kematian ayam dan menurunkan
populasi bakteri Escherichia coli penyebab penyakit diare pada ayam. Kandungan
zat kimia yang terdapat dalam daun salam antara lain: minyak atsiri, triterpenoid,
saponin, flavaniod dan tannin.
Ketiga spesies lainnya, S. littorale, S. pycnanthum dan S. racemosum
belum banyak diketahui pemanfaatan dan potensi kegunaan lainnya. Ketiga
spesies ini masih liar dan belum dibudidayakan. Secara tradisional masyarakat
memanfaatkan kayunya sebagai kayu bakar. Belum banyak penelitian yang
menggali potensi dari spesies-spesies ini.
Heyne (1987), mengemukakan bahwa S. pycnanthum, yang disebutkan
dengan nama Eugenia densiflora Duthie, memiliki beberapa kegunaan antara
lain sebagai bahan kayu bakar, pemberi warna coklat untuk kain yang diperoleh
dari pengolahan kulitnya, serta bunganya dapat dimakan sebagai lalapan dan
sayur. Buahnya dapat dimakan namun tidak lazim karena rasanya yang tidak
enak. Penelitian yang dilakukan Wahidi (2001) menunjukkan bahwa daun S.
86
pycnanthum mengandung 15 komponen minyak atsiri. Dari hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa spesies ini dapat menjadi sumber penghasil α-farnesen dan
eugenol. Menurut Mudiana (2008), spesies ini sebenarnya memiliki potensi untuk
dikembangkan sebagai tanaman hias out door karena memiliki karakter yang
menunjang untuk fungsi tersebut yaitu berperawakan pohon kecil hingga sedang,
bentuk tajuk rindang, warna dan bentuk bunga serta buahnya menarik. Kayu
Syzygium littorale dimanfaatkan sebagai kayu bakar, sedangkan buahnya jarang
sekali dimakan, karena rasanya yang manis sepat. Hal yang sama juga terjadi pada
S. racemosum. Spesies ini hanya dimanfaatkan kayunya, terutama yang berukuran
besar untuk keperluan bahan bangunan. Kelemahan sifat kayunya adalah sifat
mudah membelah. Kulit batangnya dapat digunakan sebagai penghasil bahan
pewarna alami (Heyne 1987).
5.13. Status dan Upaya Konservasi Syzygium
Dari keenam spesies Syzygium yang terdapat di Gunung Baung, tidak ada
satu spesies pun yang terdaftar dalam IUCN Red List. Terdapat dua kemungkinan
kondisi yang menyebabkannya. Pertama karena spesies-spesies tersebut memang
tidak masuk dalam ke dalam kategori-kategori kelangkaan menurut IUCN. Kedua,
keberadaan spesies-spesies tersebut mungkin belum pernah diketahui kondisi
populasinya sehingga tidak ada data dan informasi mengenai status
konservasinya. Kemungkinan kedua ini cukup besar peluang terjadinya. Hal ini
dikarenakan belum ada kajian yang menyeluruh dan lengkap mengenai status
konservasi spesies-spesies Syzygium yang ada di Indonesia. Keadaan ini terjadi
karena begitu banyaknya anggota marga ini sehingga keberadaannya di alam
dianggap masih sangat melimpah di semua lokasi.
Dari sekian banyaknya spesies Syzygium yang tercatat terdapat di
Indonesia, sebagian kecil saja yang telah dikenal dan dimanfaatkan untuk
kebutuhan manusia. Backer dan van den Brink (1963) mencatat sebanyak 52
spesies Syzygium yang tumbuh di Jawa. Heyne (1987) mencatat sebanyak 35
Spesies Syzygium (masih menggunakan naman narga Eugenia) dalam deskripsi
tumbuhan berguna Indonesia. Dari jumlah tersebut baru sebagian kecil saja yang
telah dikenal dan dan dimanfaatkan serta dibudidayakan oleh masyarakat.
Sementara banyak spesies lainnya yang masih bersifat alami yang tumbuh secara
87
alami pula di berbagai kawasan hutan di Indonesia. Ironisnya, dari waktu ke
waktu, laju kerusakan hutan sebagai habitat alami spesies-spesies tersebut terus
bertambah. Dikhawatirkan, akan banyak spesies Syzygium yang statusnya menjadi
langka bahkan punah sebelum diketahui manfaat dan perannya bagi kehidupan
manusia.
Dari penelitian ini diperoleh informasi mengenai keberadaan spesies-
spesies Syzygium di Gunung Baung. Informasi ini setidaknya dapat memberikan
manfaat bagi ilmu pengetahuan mengenai keberadaan dan kondisi populasi
spesies-spesies tersebut di kawasan ini. Syzygium pycnanthum dan S. racemosum
adalah spesies Syzygium yang keberadaannya cukup melimpah di TWA Gunung
Baung. Keberadaan spesies lainnya, S. cumini, S. littorale, dan S. polyanthum
meskipun dalam jumlah yang lebih sedikit, namun masih cukup dijumpai di dalam
kawasan. S. samarangense hanya tercatat sebanyak satu individu dalam petak
pengamatan yang dibuat, akan tetapi kemungkinan keberadaannya cukup banyak
pula di lokasi lainnya. Hal ini dikarenakan S. samarangense adalah spesies
Syzygium yang telah umum ditanam dan dibudidayakan masyarakat.
Informasi mengenai kondisi populasi suatu spesies tumbuhan dapat
digunakan sebagai dasar dalam penetapan status konservasinya. Widodo et al.
(2011) menetapkan status konservasi dari S. zollingerianum yang terdapat di
Indonesia. Di samping melakukan studi spesimen herbarium, dia juga
menggunakan data dan informasi lapangan yang berupa kondisi populasi spesies
ini dalam menentukan statusnya. Dari hasil studi tersebut, diketahui bahwa S.
zollingerianum memiliki status konservasi hampir terancam (Near Threatened).
Hasil penelitian di Gunung Baung ini dapat menjadi salah satu dasar
pertimbangan untuk menentapkan status konservasi spesies-spesies Syzygium
yang dijumpai di sana.
Pendokumentasian data yang berkaitan dengan keanekaragaman, kondisi
polulasi, serta pemanfaatan spesies Syzygium merupakan upaya-upaya konservasi
yang harus terus dilakukan. Upaya tersebut harus pula diikuti dengan upaya
konservasi terhadap keberadaan dan eksistensi spesies tersebut, baik dilakukan di
habitat alaminya (secara in-situ), maupun di luar habitat alaminya (secara ex-situ).
Kegiatan pengenalan keanekaragaman spesies Syzygium perlu dilakukan pula
88
untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap
eksistensi, potensi, dan manfaat dan fungsi taksa ini bagi kehidupan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Terdapat enam spesies Syzygium yang dijumpai tumbuh di kawasan TWA
Gunung Baung. Keenam spesies tersebut adalah: S. cumini, S. littorale, S.
polyanhtum, S. pycnanthum, S. racemosum, dan S. samarangense. Jumlah
individu yang paling banyak dijumpai adalah S. pycnanthum (235 individu) dan
yang paling sedikit adalah S. samarangense (1 individu).
S. pycnanthum dan S. racemosum memiliki kondisi struktur populasi ideal
sehingga kedua spesies ini akan mampu untuk tumbuh dan berkembang di
Gunung Baung. S. cumini, S. littorale, S. polyanthum dan S. samarangense
memiliki kondisi struktur populasi yang tidak ideal. Hambatan yang terjadi
terutama adalah proses regenerasi pada strata permudaannya (tingkat semai,
pancang dan tiang).
Lima dari enam spesies Syzygium (S. cumini, S. littorale, S. polyanhtum, S.
pycnanthum, S.racemosum) memiliki pola sebaran berkelompok. Kondisi habitat
yang banyak ditumbuhi Syzygium di Gunung Baung adalah tempat-tempat yang
subur, di lereng bukit, dengan atau tanpa dominansi bambu Bambusa blumeana,
serta tidak didominansi oleh bambu Schizostachyum zollingeri. Kondisi habitat
Syzygium pycnanthum dan S. racemosum relatif sama, hal ini ditunjukan dengan
sifat asosiasi interspesies yang positif pada semua tingkat pertumbuhannya,
meskipun nilai asosiasinya sangat kecil. Berdasarkan kemiripan kondisi
lingkungan tempat tumbuhnya terdapat dua kelompok , yaitu: kelompok S.
littorale, S. racemosum, S. pycnanthum, dan S.cumini serta kelompok S.
polyanthum dan S.samarangense. Faktor ketinggian tempat (altitude) dan jumlah
rumpun bambu adalah faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap
keberadaan spesies Syzygium di TWA Gunung Baung.
5.2. Saran
Hasil penelitian ini menginformasikan bahwa TWA Gunung Baung
merupakan habitat bagi beberapa spesies Syzygium. Untuk mempertahankan dan
melestarikan keberadaannya maka perlu dilakukan upaya pengelolaan populasi di
habitat alaminya tersebut, terutama bagi S. cumini, S. littorale, S. polyanthum dan
90
S. samarangense yang memiliki struktur populasi yang tidak ideal karena
hambatan dalam rangka pembentukan permudaannya. Pengelolaan tersebut perlu
dilakukan mengingat Syzygium adalah salah satu taksa yang menjadi sumber
pakan alami bagi hidupan liar di Gunung Baung. Penelitian dan pengkajian lebih
lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya hambatan tersebut.
Pengenalan spesies-spesies Syzygium kepada masyarakat dapat berguna
bagi peningkatan apresiasi masyarakat atas keanekaragaman spesies dan
manfaatnya. Setidaknya hal tersebut dapat dilakukan bagi para pengunjung TWA
Gunung Baung. Informasi tentang keanekaragaman, lokasi penyebarannya di
dalam kawasan, kondisi habitat, serta potensi pemanfaatan yang dihalsilkan dari
penelitian ini dapat menjadi bahan sosialisasi spesies Syzygium tersebut secara
luas.
91
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 1997. Populasi dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus) di Samboja
Koala, Kalimantan Timur. Media Konservasi 5(2): 67-72.
Anonim.
2011.
Taman
Wisata
Gunung
Baung.
http://eastjavaculinarytourism.wordpress.com/2011/07/08/taman-wisata-
gunung-baung/. Diakses tanggal 26 Juli 2012.
Arosoesilangingsih E, Soejono, Widyati A, Palupi I, dan Kiswojo. 2001. Aktivitas
reproduktif tiga spesies pohon langka tahan kering di Kebun Raya
Purwodadi.
Di
dalam:
Konservasi
dan
Pendayagunaan
Keanekaragaman Tumbuhan Lahan Kering. Prosiding Seminar
Nasional. Pasuruan: Kebun Raya Purwodadi – LIPI.
Backer dan van den Brink BRC. 1963. Flora of Java Vol.I. N.V.P. Noordhoff –
Groningen – The Netherlands.
Bailey L.H. 1953. The Standard Cyclopedia of Horticulture Vol. I. New York:
The Macmillan Company.
Barbour MG, Bark JH, Pitts WD. 1987. Terestrial Plant Ecology. Second Edition.
California: The Benjamin Cumming Publishing Company Inc.
[Baung
Camp].
2008.
Taman
Wisata
Gunung
Baung.
http://www.baungcamp.com/?about=Geografis. Diakses tanggal 18
November 2008.
[BKSDA] Balai Konservasi Sumber Daya Alam. 1998. Laporan Penilaian Potensi
Taman Wisata Gunung Baung. Surabaya: Balai Konservasi Sumber
Daya Alam IV. Departemen Kehutanan.
[BBKSDA Jatim] Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur. 2008.
Taman
Wisata
Alam
Gunung
Baung.
www.ditjenphka.go.id/kawasan_file
/TWA.%20Gunung%20Baung-
a.pdf Diakses tanggal 22 September 2008.
________ . 2011. Peta Jenis Tanah TWA Gunung Baung.
________ . 2011. Peta Kedalaman Tanah TWA Gunung Baung.
[BPS Kabupaten Pasuruan] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasuruan. 2011.
Kabupaten Pasuruan dalam Angka 2011. Statistik Daerah Kecamatan
Purwodadi
2011.
E-book.
http://pasuruankab.bps.go.id/index.php/pelayanan-statistik/online-
ebook/41-online-e-book-2011. Diakses tanggal 30 Juni 2012.
________ . 2011. Kabupaten Pasuruan dalam Angka 2011. Statistik Daerah
Kecamatan
Purwosari
2011.
E-book.
http://pasuruankab.bps.go.id/index.php/pelayanan-statistik/online-
ebook/41-online-e-book-2011. Diakses tanggal 30 Juni 2012.
Berlin NVA dan Estu R. 1995. Jenis dan Prospek Bisnis Bambu. Jakarta: Penebar
Swadaya.
92
Botanri S. 2010. Distribusi Spasial, Autekologi, dan Biodiversitas Tumbuhan
Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku. [Disertasi]. Bogor.
Sekolah Pascasarjana IPB.
Cahyono B. 2010. Sukses Budidaya Jambu Air di Pekarangan dan Perkebunan.
Yogyakarta: Lily Publisher.
Catur IRW. 2008. Keanekaragaman bambu serta pemanfaatannya di Taman
Wisata Alam Gunung Baung, Purwodadi, Kabupaten Pasuruan.
(Abstrak). Laporan Tugas Akhir. Intertide Ecological Community-
Laboratoriom of Ecology. Department of Biology Institute of
Technolgy Sepuluh Nopember. Surabaya.
Chevallier A. 2000. Encyclopedia of herbal medicine. DK. Publishing Inc. New
York.
Craven LA, Biffin E. 2010. An infrageneric classification of Syzygium
(Myrtaceae). Blumea 55: 94-99.
Craven LA, Biffin E, Ashton PE. 2006. Acmena, Acmenosperma, Cleistocalyx,
Piliocalyx and Waterhouse formally transferred to Syzygium
(Myrtaceae). Blumea 51: 131-142.
Coronel RE. 1992. Syzygium cumini (L.) Skeels. Di dalam: Verheij EWM dan
Coronel RE, editor. PROSEA (Plant Resources of South-East Asia) 2:
Edible fruits and nuts. Bogor : Prosea hlm 294-296.
Dalimartha S. 2003. Atlas tumbuhan obat Indonesia, Jilid 3. Jakarta: Puspa
Swara.
Fachrul MF. 2008. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.
Hanum IF dan van der Maesen LJG. (editors) 1997. Prosea 11: Auxiliary Plants.
p.297-298. Leiden: Backhuys Publishers.
Hardjowigeno S. 2010. Ilmu Tanah. Jakarta: CV. Akademika Pressindo.
Haron NW, Laming PB, Fundter JM, Lemmens RHMJ. 1995. Syzygium Gaertner.
Di dalam: Lemmens RHMJ, Soerianegara I, Wong WC, editor.
PROSEA (Plant Resources of South-East Asia) 5(2): Timber trees:
Minor commercial timbers. Bogor : Prosea hlm 441-474.
Hasanbahri S, Djuwantoko, Ngariana IN. 1996. Komposisi Jenis Tumbuhan
Pakan Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Di Habitat Hutan Jati.
Biota 1(2):1-8.
Heyne K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia Volume III. Jakarta: Yayasan
Sarana Wana Jaya.
Iriawan N dan Astuti SP. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah
Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta: CV Andi Offset.
Istomo. 1994. Hubungan Antara Komposisi, Struktur dan Penyebaran Ramin
(Gonystylus bancanus) dengan Sifat-sifat Tanah Gambut (Studi Kasus
di HPH PT Inhutani III Kalteng). [Thesis]. Bogor. Sekolah
Pascasarjana IPB.
93
[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources.
2011. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2011.1.
. Downloaded on 22 September 2011.
Kissinger. 2002. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan, Struktur Tegakan, dan Pola
Sebaran Spasial Beberapa Spesies Pohon Tertentu Di Hutan Kerangas.
[Thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Kumar A, Ilavarasan R, Jayachandran T, Decaraman M, Aravindhan P,
Padmanabhan N, and Krishnan MRV. 2009. Phytochemicals
Investigation on a Tropical Plant, Syzygium cumini from
Kattuppalayam, Erode District, Tamil Nadu, South India. Pakistan
Journal of Nutrition 8 (1): 83-85.
Kurniawan A dan Parikesit. 2008. Persebaran Jenis Pohon di Sepanjang Faktor
Lingkungan di Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Jawa Barat.
Biodiversitas 9(4):275-279.
Kurniawan A, Unduharta NKE, Pendit IMR. 2008. Asosiasi Jenis-Jenis Pohon
Dominan di Hutan Dataran Rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung,
Sulawesi Utara. Biodiversitas 9(3):199-203.
Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York: Harper & Row Publisher.
Larpkern P, Moe SR, Totlan O. 2011. Bamboo dominance reduces tree
regeneration in disturb tropical forest. Oecologia 165:161–168.
Lestario LN. 2003. Buah duwet sumber antioksidan. Harian Kompas, tanggal 23
Oktober
2003.
http://kompas.com/kompas-
cetak/0310/23/inspirasi/640919.htm. Diakses tanggal 13 Agustus 2007.
Lubis SR. 2009. Keanekaragaman dan Pola Distribusi Tumbuhan Paku Di Hutan
Wisata Alam Taman Eden Kabupaten Toba Samosir Provinsi
Sumatera Utara. [Thesis]. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
Lucas EJ, Belsham SR, NicLughadha EM, Orlovich DA, Sakuragui CM, Chase
MW and Wilson PG. 2005. Phylogenetic patterns in the fleshy-fruited
Myrtaceae – preliminary molecular evidence. Plant Syst. Evol. 251:
35–51.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology, a primer on Methods and
Computing. Canada: A Wiley-Interscience Publication.
Mas’udah KW, Istiqomah, Jannah F. 2010. Biji juwet (Syzygium cumini (Linn.)
Skeels.) sebagai alternatif obat diabetes militus (Program Kreativitas
mahasiswa- Tidak dipublikasikan). Universitas Negeri Malang.
Merrill ED, Perry LM. 1939. The Myrtaceous genus Syzygium Gaertner in
Borneo. Memories of American Academy of Arts and Sciences Vol.
XVIII (3):135-202.
Morton JF. 1963. The Jambolan (Syzygium cumini Skeels.)-Its Food, Medicinal,
Ornamental and Other Uses. Florida Horticulture Sociaty: 238-338.
94
Mudiana D. 2008. Potensi Syzygium pycnanthum Merr. & L.M. Perry sebagai
tanaman hias: Koleksi Kebun Raya Purwodadi. Warta Kebun Raya
Vol.8(1):17-22.
________ . 2009. Syzygium (Myrtacea) di sepanjang Sungai Welang Taman
Wisata Alam Gunung Baung Purwodadi. Biosfera Vol. 26 (1) 2009 :
35-42.
________ . 2011. Beberapa jenis Syzygium yang tumbuh di tepi sungai atau
aliran air di wilayah Kabupaten Malang. Makalah poster dalam
Seminar di KR Cibodas, LIPI. 7 April 2011.
Mustian. 2009. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pada Tanah Ultrabasa di Areal
Konsesi PT. INCO Tbk. Sebelum Penambangan Propinsi Sulawesi
Selatan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. IPB.
Nascimento GGF, Locatelli J, Freitas FC, Silva GL. 2000. Antibacterial activity
of plant extracts and phytocemicals on antibioticresistant bacteria.
Brazilian Journal of Microbiology 31:247-256.
Pa’i, Yulistiarini T. 2006. Populasi Parameria laevigata (Juss.) Moldenke di
sebagian wilayah timur Gunung Baung, Desa Purwodadi, Kecamatan
Purwodadi, Kabupaten Pasuruan. Prosiding Seminar Nasional
Biodiversitas. Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Airlangga,
Surabaya. Halaman: 259-264.
Panggabean G. 1992. Syzygium aqueum (Burm.f) Alston, Syzygium malaccense
(L.) Merr.& Perry, Syzygium samarangense (Blume) Merr.& Perry. Di
dalam: Verheij EWM dan Coronel RE, editor. PROSEA (Plant
Resources of South-East Asia) 2: Edible fruits and nuts. Bogor : Prosea
hlm 292-294.
Parnell JAN, Craven LA, Biffin E. 2007. Matters of Scale : Dealing with One of
the Largest Genera of Angiosperms. Di dalam: Hodkinson TR, JAN
Parnell, editor. Recontructing the Tree of Life, Taxonomy and
Syzstematics of Species Rich Taxa. Boca Raton: CRC Press. Hlm251-
275.
Partomihardo T, Ismail. 2008. Keanekaragaman flora Cagar Alam Nusa Barong,
Jember, Jawa Timur. Berita Biologi 9(1):67-80.
Partomihardjo T, Naiola BP. 2009. Ekologi dan persebaran gewang (Corypha
utan Lamk.) di Savana Timor, Nusa Tenggara Timur. Berita Biologi
9(5) : 2009 637-647.
Partomihardjo T, Rahajoe JS. 2005. Pengumpulan data ekologi tumbuhan. Di
dalam: Rugayah, Widjaja EA, Praptiwi, editor. Pedoman pengumpulan
data keanekaragaman flora. Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI.
[Pemerintah Republik Indonesia]. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 68 Tahun 1998, tentang: Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam. Tanggal : 19 Agustus 1998.
Primack RB, Suprijatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi
Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
95
Purwadi E. 2011. Identifikasi Gejala Defisiensi dan Kelebihan Unsur Hara Mikro
Pada
Tanaman.
http://www.masbied.com/2011/05/20/identifikasi-
gejala-defisiensi-dan-kelebihan-unsur-hara-mikro-pada-
tanaman/#more-9549. Diakses tanggal 6 Juni 2012.
Risna RA. 2009. Autekologi dan Studi Populasi Myristica teijsmanii Miq.
(Myristicaceae) Di Cagar Alam Pulau Sempu. [Thesis]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Riswan S, Rachman I, Waluyo EB. 2004. Jenis-jenis tumbuhan pada sempadan
dan bantaran sungai, DAS Ciliwung dan Cisadane. Di dalam:
Manajemen Bioregional Jabodetabek : profil strategi pengelolaan
sungai dan aliran air. Halaman: 359-380.
Rosalia N. 2008. Penyebaran dan Karakteristik Pohon Tembesu (Fagraea
fragrans Roxb.) (Studi Kasus Di Kawasan Taman Nasional Danau
Sentarum Kapuas Hulu Kalimantan Barat). [Thesis]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sardjono S. 1999. Syzygium polyanthum (Wight) Walpers. Di dalam: de Guzman
CC dan Siemonsma JS, editor. PROSEA (Plant Resources of South-
East Asia) 13: Spices. Bogor : Prosea hlm 218-219.
Sihotang A. 1989. Penilaian Tingkat Pelapukan Dan Perkembangan Tanah
Dengan Vegetasi Bambu (Gigantochloa sp) Dan Karet (Hevea sp)
Serta Klasifikasinya Menurut Sistem Taksonomi Tanah. ). [Skripsi].
Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Silvertown JW. 1982. Introduction to Plant Population Ecology. New York:
Longman Inc.
Siregar M, Unduharta NKE, Hartutiningsih-M.Siregar. 2005. Tinjauan Jenis-Jenis
Flora Lokal Bali yang Berpotensi Dikembangkan Sebagai Kayu
Komersial. Laporan Teknik Program Perlindungan dan Konservasi
Sumber Daya Alam. UPT Balai Pengembangan Kebun Raya Bali-
LIPI.
Soerianegara I dan Indrawan A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor:
Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. IPB.
Sumarno A, Agustin WSD. 2008. The use of bay leaf (Eugenia polyantha Wight)
in dentistry. Dentistry Journal (Majalah Kedokteran Gigi)
44(3):147150.
Sunarti S. Hidayat A, Rugayah. 2008. Keanekaragaman tumbuhan di Hutan
Pegunungan Waworete, Kecamatan Wawonii Timur, Pulau Wawonii,
Sulawesi Tenggara. Biodiversitas 9(3):194-198.
Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi, Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana.
ter Braak CJF. 1986. Canonical Corespondence Alanysis: A New Eigenvector
Technique for Multivariate Direct Gradient Analysis. Ecology
67(5):1167-1179.
96
________ . 1987. The Analysis of Vegetation-Environment Relationship by
Canonical Correspondence Analysis. Vegetaio 69:69-77.
Tjitrosoepomo G. 1994. Taksonomi tumbuhan obat-obatan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Tripathi OP, Upadhaya K, Tripathi RS, Pandey HN. 2010. Diversity, Dominace
and Population Structure of Tree Species along Fragment-Size
Gradient of a Subtropical Humid Forest of Northeast India. Research
Journal of Environmental and Earth Sciences 2(2):97-105.
Uma S. 2001. A Case of high tree diversity in a sal (Shorea robusta)-dominated
lowland forest of Eastern Himalaya: Floristic composition,
regeneration and conservation. Curr. Sci. 81:776-786.
van Lingen TG. 1992. Syzygium jambos (L.) Alston. Di dalam: Verheij EWM dan
Coronel RE, editor. PROSEA (Plant Resources of South-East Asia) 2:
Edible fruits and nuts. Bogor : Prosea hlm 296-298.
Verheij EWM dan Snijders CHA. 1999. Syzygium aromaticum (L.) Merrill &
Perry. Di dalam: de Guzman CC dan Siemonsma JS, editor. PROSEA
(Plant Resources of South-East Asia) 13: Spices. Bogor : Prosea hlm
211-218.
Wahidi. 2001. Minyak Atsiri Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight.) Walp.,
Jambu Klampok (Syzygium pycnanthum), dan Cengkeh (Syzygium
aromaticum . Tidak dipublikasikan. Skripsi Jurusan Kimia, FMIPA.
Institut Sepuluh Nopember, Surabaya.
Walpole RE. 1993. Pengantar Statistika. Ed ke-3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Waryono T. 2001. Peranan dan fungsi jasa bio-eko-hidrologis komunitas bantaran
sungai. Makalah disampaikan dalam: Seminar Nasional Pengelolaan
DAS Terpadu Se Jawa Bali. Departemen Kehutanan. Jakarta Juni,
2001.
Whitten T, Soeriaatmadja RE, Afiff SA. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Jakarta:
Prenhallindo.
Widjaja EA. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. Bogor: Puslitbang
Biologi-LIPI.
Widyatmoko D, Irawati. 2007. Kamus Istilah Konservasi. Bogor.: Pusat
Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya Bogor, LIPI.
Widodo P. 2007. Review: Spesiasi pada Jambu-Jambuan (Myrtaceae): Model
Cepat dan Lambat. Biodiversitas 8(1):79-82.
Widodo P, Chikmawati T, Wibowo DN. 2011. Distribusi dan Status Konservasi
Syzygium zollingerianum (Miq.) Amsh. (Myrtaceae). Makalah dalam
Seminar Nasional Konservasi Tumbuhan Tropika: Kondisi Terkini dan
Tantangan ke Depan. Kebun Raya Cibodas-LIPI, 7 April 2011.
97
Wihermanto. 2004. Dispersi asosiasi dan status populasi tumbuhan terancam
punah di Zona Submontana dan Montana Taman Nasional Gunung
Gede-Pangrango. Biodiversitas Vol. 9(3):199-203.
Wiryawan KG, Luvianti S, Hermana B, Suharti S. 2007. Peningkatan Performa
Ayam Broiler dengan Suplementasi Daun Salam (Syzygium
polyanthum (Wight) Walp) Sebagai Antibakteri Escherichia coli.
Media Peternakan 30(1):55-62.
Yuliani, Wisanti, Indah NK. 2006. Potensi tradisional masyarakat desa sekitar
hutan dalam menunjang konservasi in-situ Gunung Baung. Prosiding
Seminar Nasional Biodiversitas. Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas
Airlangga, Surabaya. Halaman: 323-328.
________ . 2006a. Komposisi dan potensi flora di Gunung Baung Kabupaten
Pasuruan. Prosiding Seminar Nasional Biologi 6. Program studi
Biologi, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Hal: 55-60.
98
99
Lampiran 1 Daftar spesies tumbuhan di lokasi penelitian
Dostları ilə paylaş: |