1.2. Perumusan Masalah
Dari 50 spesies Syzygium yang terdapat di Pulau Jawa, sebagian besar
merupakan spesies alami yang belum dibudidayakan. Habitat alami spesies-
spesies ini terutama di kawasan-kawasan hutan hujan tropis. Meskipun demikian
keberadaannya dijumpai pada berbagai tipe vegetasi hutan, dari hutan pantai
hingga hutan pegunungan, pada daerah savana, munson hingga ultrabasa (Parnell
et al. 2007). Mengingat kondisi dan tingkat kerusakan hutan di Jawa, maka
dikhawatirkan akan mengancam spesies-spesies Syzygium alami yang belum
dikenal dan dibudidayakan. Salah satu kawasan hutan dataran rendah yang masih
tersisa di Jawa adalah TWA Gunung Baung yang terdapat di Kabupaten Pasuruan,
Jawa Timur. Keberadaan kawasan ini sangat menarik, karena merupakan kawasan
konservasi yang tidak terlalu luas dan dikelilingi oleh kawasan budidaya berupa
lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman. Kondisi ini menyerupai suatu
kawasan yang terisolasi dari kondisi sekitarnya. Hal ini akan berpengaruh
terhadap keanekaragaman hayati dalam kawasan tersebut, termasuk spesies
tumbuhan yang terdapat di dalamnya.
Marga Syzygium diduga tumbuh di dalam kawasan tersebut dan menjadi
salah satu komponen penting penyusun ekosistem di dalamnya. Informasi
mengenai keanekaragaman spesies, penyebaran serta kondisi populasi Syzygium
di kawasan ini dapat digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan pengelolaan
kawasan ini. Untuk itu perlu dilakukan penelitian dan pengkajian mengenai
kondisi marga ini di kawasan TWA Gunung Baung. Berdasarkan pada studi
5
literatur diketahui bahwa belum ada data dan informasi yang berkaitan dengan
keanekaragaman spesies Syzygium serta struktur populasinya di kawasan TWA
Gunung Baung. Hal ini dikarenakan belum pernah dilakukan penelitian tentang
hal ini.
Beberapa spesies Syzygium memiliki potensi yang cukup besar untuk
dikembangkan sebagai tanaman penghasil buah, bahan baku obat, ataupun sebagai
tanaman hias. Potensi tersebut belum banyak diungkap, terutama yang berkaitan
dengan kondisi populasi alaminya. Penelitian yang pernah dilakukan di lokasi
tersebut kebanyakan berupa kegiatan inventarisasi spesies (Yuliani et al. 2006,
2006a). Penelitian di berbagai lokasi mengenai struktur populasi spesies dari
marga Syzygium belum pernah dilakukan. Kebanyakan penelitian yang dilakukan
berupa kegiatan inventarisasi spesies tumbuhan di berbagai wilayah (Mustian
2009; Sunarti et al. 2008; Partomihardjo dan Ismail 2008). Mudiana (2009)
menginventarisasi spesies Syzygium di sepanjang aliran Sungai Welang yang
merupakan bagian dari TWA Gunung Baung. Pa’i dan Yulistiarini (2006)
melakukan penelitian terhadap populasi spesies Parameria laevigata di wilayah
sebelah timur Gunung Baung.
Hingga saat ini belum ada informasi mengenai kondisi dan
keanekaragaman Syzygium di TWA Gunung Baung. Pertanyaan yang menjadi
dasar penelitian ini adalah: (1) Berapa spesies Syzygium yang terdapat di TWA
Gunung Baung dan bagaimana karakter habitat untuk setiap spesiesnya? (2)
Bagaimana struktur populasinya? (3) Bagaimana pola sebarannya di dalam
kawasan?
Berdasarkan kondisi ini maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
keanekaragaman spesies Syzygium, struktur populasi serta pola penyebarannya di
kawasan TWA Gunung Baung.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis
keanekaragaman spesies Syzygium, struktur populasi serta pola sebarannya di
TWA Gunung Baung, Pasuruan, Jawa Timur. Studi dan analisis yang dilakukan
terhadap struktur populasi taksa ini terutama berkaitan dengan kondisi populasi
6
pada tahapan-tahapan pertumbuhan dari tingkat semai hingga pohon untuk setiap
spesies Syzygium.
1.4. Manfaat Penelitian
Informasi ilmiah mengenai keanekaragaman, struktur populasi, dan pola
sebaran Syzygium dapat menjadi basis pengelolaan spesies Syzygium dan strategi
konservasinya di kawasan TWA Gunung Baung. Informasi yang berkaitan dengan
potensi ekonomi dan pemanfaatannya diharapkan dapat mendorong upaya
pengenalan dan pengembangan spesies Syzygium yang belum banyak dikenal
masyarakat.
1.5. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan pada latar belakang kondisi permasalahan yang berkaitan
dengan taksa ini serta upaya konservasi yang dilakukan maka disusunlah suatu
kerangka pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya kegiatan penelitin ini
(Gambar 1).
7
Gambar 1 Alur kerangka pemikiran penelitian
PENELITIAN
Metode penelitian:
Studi pendahuluan survey lokasi, studi
spesimen dan koleksi
Pengumpulan data:
Eksplorasi Keanekaragaman spesies
Analisis vegetasi Kondisi vegetasi dan
populasi Syzygium
Data lingkungan biotik dan abiotik
Hasil:
1.
Spesies Syzygium di TWA Gunung Baung
2.
Struktur populasi Syzygium
3.
Pola sebaran Syzygium
Variabel yang diamati:
1.
Jumlah spesies Syzygium
2.
Jumlah individu Syzygium (dbh, tinggi total,
tinggi bebas cabang)
3.
Penyebarannya dalam kawasan
4.
Strata pertumbuhannya (jumlah anakan,
pancang, tiang, pohon)
5.
Faktor ekologi
ANALISIS DATA
Analisis data identifikasi spesies, komposisi dan
struktur vegetasi, pola sebaran, perbandingan
struktur populasi antar spesies
Asumsi:
Terdapat spesies Syzygium di TWA
Gunung Baung yang tumbuh alami
Hipotesis:
1.
Terdapat beberapa spesies Syzygium yang tumbuh di
dalam kawasan TWA Gunung Baung
2.
Struktur populasi yang beragam antar spesies
3.
Pola sebaran spesies berkelompok
Pengelolaan dan konservasi spesies
tumbuhan di TWA Gunung Baung,
salah satunya: Syzygium
Berapa spesies Syzygium ?
Bagaimana struktur populasinya?
Bagaimana pola sebarannya?
Sumber data:
Data primer Analisis vegetasi, data
lingkungan habitat, peta kawasan
Data sekunder Spesimen koleksi kebun
raya dan herbarium
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bioekologi Syzygium
2.1.1. Klasifikasi
Syzygium adalah salah satu marga dari suku Myrtaceae. Marga ini
memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat sebanyak kurang lebih
1200 spesies Syzygium yang telah diketahui. Secara taksonomi, marga Syzygium
juga merupakan kelompok marga yang sangat kompleks, sehingga studi
taksonominya telah berlangsung cukup lama dan panjang. Berbagai penelitian
taksonomi telah banyak dilakukan untuk untuk mengklasifikasikan secara
sistematik kedudukan spesies dari marga ini. Pada awalnya pendekatan yang
dilakukan berdasarkan pada studi morfologi dengan pendekatan taksonomi dan
bersifat parsial berdasarkan wilayah. Seiring berjalannya waktu, maka studi
berikutnya dilakukan dengan pendekatan filogenetik (Lucas et al. 2005; Craven
et al. 2006; Craven dan Biffin 2010).
Sistematika marga Syzygium secara sederhana (Bailey 1953; Cahyono
2010) adalah sebagai berikut:
Kerajaan
: Tumbuhan
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dikotil
Ordo
: Myrtales
Suku
: Myrtaceae
Marga
: Syzygium
Mengingat jumlah spesiesnya yang sangat banyak, maka Craven dan
Biffin (2010) mengusulkan pengelompokan marga ini menjadi beberapa sub
marga. Pengelompokan tersebut berdasarkan pada studi filogenetik yang diambil
dari data sequence molecular analysis. Sebanyak enam sub marga Syzygium
berhasil dikelompokkan, yaitu: sub marga Syzygium, Acmena, Sequestratum,
Perikion, Anetholea, dan Wesa. Sebanyak 80-90 % spesies termasuk ke dalam
anggota sub marga Syzygium.
10
2.1.2. Morfologi Syzygium
Ciri-ciri umum yang dapat dikenali dari marga ini antara lain habitusnya
berupa pohon ataupun semak. Susunan daun berhadapan (oposite), kadang-kadang
tersusun berkarang sebanyak 3 daun, atau sub oposite. Pertulangan daun menyirip
(pinnate). Bunga keluar dari ujung ranting (terminal), ketiak daun (axilaris), atau
pada ketiak daun yang telah gugur, jarang sekali muncul di batang. Perbungaan
berbentuk cymes atau panicles. Kelopak bunga sering kali berbentuk turbinate,
campanulate, atau obconical terdiri atas 4-5 helai, berkembang ataupun tidak dan
biasanya tersisa pada bagian ujung buah. Mahkota bunga tersusun sebanyak 4-5
helai, jarang sekali yang lebih, patent atau coherent dalam small hood, dan
umumnya akan luruh. Benang sarinya banyak tersusun dalam satu lingkaran di
dasar bunga, tangkai sari filiform, kepala sari dorsifixed. Sel telur berada di bagian
bawah dasar bunga (inferior), terdiri atas 2-4 ruang dengan jumlah yang banyak
dalam tiap ruang. Buahnya berbentuk buah berry, mengandung 1 sampai beberapa
biji dalam tiap buah (Backer dan van den Brink 1963).
2.1.3. Ekologi dan Penyebaran Syzygium
Syzygium banyak tersebar di kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara,
Australia, Cina Selatan, Malesia dan New Caledonia. Beberapa spesies juga
tersebar di Afrika, Malagasy dan wilayah barat daya Kepulauan Pasifik, Hawai
dan New Zealand. Syzygium umumnya tumbuh di hutan hujan, namun tumbuh
pula pada hampir semua tipe vegetasi, seperti hutan pantai, hutan rawa, hutan
munson, hutan bambu, rawa gambut, dataran rendah, hutan kerangas, savana,
hutan pegunungan hingga vegetasi semak di wilayah sub alpin (Parnell et al.
2007). Beberapa spesies mampu tumbuh di kondisi habitat yang ekstrim seperti
tanah kapur dan ultramafik (Partomihardjo dan Ismail 2008; Mustain 2009).
Di Wilayah Asia spesies dari marga ini tersebar pada beberapa wilayah
sebagai berikut: 70 spesies di kawasan Indo-China, 80 spesies di Thailand, 190
spesies di Semenanjung Malaya, 50 spesies di Jawa, 165 spesies di Borneo, 180
spesies di Filipina, dan 140 spesies di New Guinea. Filipina dan New Guinea serta
Semenanjung Malaya dan Borneo adalah dua wilayah utama pusat penyebaran
dan endemisitas kelompok marga ini (Haron et al. 1995).
11
Wilayah Indonesia sebagai bagian dari Kawasan Malesia merupakan salah
satu pusat distribusi marga Syzygium (keluarga jambu-jambuan). Khusus untuk di
Jawa, tercatat sebanyak 50 spesies Syzygium tersebar pada berbagai tipe habitat
(Backer dan van den Brink 1963).
2.2. Pemanfaatan Syzygium
Spesies dari marga Syzygium mempunyai beberapa potensi pemanfaatan,
seperti sebagai tanaman hias, buah, tanaman obat atau kayu-kayuan. Beberapa
spesies memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, seperti cengkeh (S.
aromaticum), salam (S. polyanthum), jambu air (S. samarangense), jambu darsono
(S. malaccense), juwet (S. cumini), jambu mawar (S. jambos) dan spesies lainnya
(Coronel 1992; Panggabean 1992; van Lingen 1992; Haron et al. 1995; Sardjono
1999; Verheij dan Snijders 1999).
S. cumini yang dikenal dengan nama lokal juwet, jamblang, duwet, atau
dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Java plum, adalah salah satu anggota
marga ini yang memiliki potensi sebagai bahan baku obat diabetes melitus dan
berpotensi sebagai anti bakteria (Nascimento et al. 2000; Kumar et al. 2009).
Beberapa spesies Syzygium yang dijumpai tumbuh di bantaran sungai, seperti: S.
aqueum, S. aromaticum, S. malaccense, S. polycephalum, dan S. pycnanthum
memiliki peran ekologis bagi ekosistem di sepanjang bantaran aliran sungai,
terutama sebagai penahan erosi tebing sungai (Waryono 2001; Riswan et al.
2004). Bahkan keberadannya dapat menjadi habitat dan sumber pakan bagi
berbagai satwa liar (Alikodra 1997).
2.3. Status dan Kepentingan Konservasi Syzygium
Hingga September 2011, International Union for the Conservation of
Nature and Natural Resources (IUCN) telah menilai dan mendaftar sebanyak 48
spesies Syzygium ke dalam Redlist of species (Daftar lengkap disajikan dalam
Lampiran 16). Dari jumlah tersebut terdapat dua spesies yang berasal dari
Indonesia (Jawa), yaitu: S. ampliflorum dan S. dischoporum. S. ampliflorum
adalah spesies Syzygium yang secara alami tumbuh di kawasan Gunung
Galunggung, Jawa Barat pada ketinggian 1.300-1.400 m dpl. S. dischoporum
tumbuh secara alami di kawasan Gunung Wilis pada ketinggian 1.300-1.500 m
dpl (Backer dan van den Brink 1963; Whitten at al. 1999).
12
Penilaian status konservasi terhadap kedua spesies tersebut sudah cukup
lama, sehingga informasinya sudah harus diperbaharui. Jika dilakukan penetapan
status konservasi untuk marga Syzygium di Indonesia, dikhawatirkan akan
semakin banyak spesies Syzygium yang berstatus terancam punah sehingga
memerlukan upaya konservasi. Hal ini diakibatkan tekanan yang kuat terhadap
habitat alami spesies-spesies tersebut karena konversi lahan dan kerusakan hutan.
Tidak tersedianya data dan informasi yang berkaitan dengan keberadaan,
populasi, sebaran, dan pemanfaatan spesies ini mengakibatkan tidak mudah untuk
mengetahui dan menentukan status konservasinya. Upaya untuk mengetahui
status konservasi Syzygium dilakukan terhadap spesies S. zollingerianum. Widodo
et al. (2011) menetapkan status konservasi spesies ini ke dalam kategori hampir
terancam (Near Threatened). Dengan kondisi laju kerusakan hutan di Indonesia,
dikhawatirkan statusnya menjadi terancam punah di masa yang akan datang.
Umumnya spesies yang berstatus langka tersebut adalah spesies yang
belum banyak dikenal oleh masyarakat sehingga keberadaannya terabaikan.
Konversi lahan hutan yang terus terjadi mengakibatkan habitat beberapa spesies
tumbuhan
menjadi
terancam.
Dengan
demikian,
informasi
mengenai
keanekaragaman spesies, struktur populasi, dan pola penyebaran marga ini di
alam sangat penting untuk diketahui. Argumentasi etis menjadi alasan konservasi
atas spesies yang belum diketahui nilai ekonomi dan manfaatnya secara langsung
ataupun tidak bagi manusia. Dimana upaya konservasi yang dilakukan lebih
berdasarkan atas nilai intrinsik yang melekat pada setiap spesies makhluk hidup
(tumbuhan) yang ada. Nilai ini menjamin bahwa setiap spesies memiliki hak
untuk hidup tanpa melihat adanya keterkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
manusia. Manusia tidak berhak merusak spesies dan harus melakukan upaya
untuk menghindari kepunahan spesies (Primack et al. 1998).
2.4. Studi Populasi Tumbuhan
Studi yang berkaitan dengan persebaran dan populasi suatu spesies
tumbuhan merupakan salah satu aspek yang dikaji dalam studi ekologi spesies.
Studi populasi adalah suatu penelitian yan mengkaji kondisi populasi suatu
spesies yang di dalamnya mencakup aspek kelimpahan, pola penyebaran, struktur
populasi, serta demografi populasinya (Widyatmoko dan Irawati 2007). Melalui
13
kajian ini akan diperoleh informasi mengenai kondisi populasi, regenerasi,
preferensi habitat, persebaran, status konservasi dan bahkan strategi konservasi
bagi spesies tumbuhan yang dipelajari (Wihermanto 2004; Partomihardjo dan
Naiola 2009).
Penelitian mengenai ekologi tumbuhan selalu diawali dengan kegiatan
pengumpulan data dan informasi spesies di suatu lokasi/kawasan. Data dan
informasi spesies merupakan data dasar yang diperlukan untuk melakukan suatu
studi ekologi tumbuhan. Data-data tersebut selanjutnya akan bermanfaat bagi
studi lebih lanjut mengenai kondisi vegetasi, komunitas atau spesies penyusun
suatu kawasan beserta fungsi dan interaksinya (Partomihardjo dan Rahajoe 2005).
Silvertown (1982) mengemukakan bahwa kajian ekologi populasi tumbuhan
mencakup dua hal utama, yaitu: jumlah atau ukuran dari populasi serta proses
yang mengakibatkan terjadinya perubahan tehadap ukuran populasi. Sekumpulan
spesies tumbuhan yang sama yang hidup dalam suatu komunitas, tempat dan
waktu yang sama disebut sebagai populasi. Kumpulan beberapa populasi
selanjutnya akan membentuk suatu komunitas. Komunitas tersebut melakukan
interaksi dengan komponen biotik ataupun abiotik lingkungannya membentuk
suatu ekosistem atau sistem ekologi. Dengan demikian ekologi populasi
membahas hal-hal yang berkaitan dengan sistem ekologi dari suatu populasi, yang
mencakup interaksi di dalam dan antar populasi, serta interaksi dengan
lingkungannya.
Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa populasi tidak hanya sebagai
kumpulan spesies yang sama dalam waktu dan tempat tertentu, akan tetapi juga
harus mampu berinteraksi secara genetik diantara mereka. Berbagai kelompok
tumbuhan yang hidup dalam suatu habitat dan saling berinteraksi juga dengan
lingkungannya membentuk suatu komunitas. Komunitas tumbuhan berinteraksi
dengan kondisi lingkungannya baik biotik ataupun abiotik membentuk suatu
sistem ekologi yang disebut ekosistem.
Populasi tumbuhan tersusun atas suatu struktur, yang dapat dikelompokan
menurut kelas umur ataupun fase/tingkat pertumbuhannya. Untuk populasi pohon
dalam suatu hutan tanaman struktur populasinya dapat diketahui dari umur
tegakan yang terbentuk. Hal ini akan sulit diterapkan pada kondisi populasi
14
tumbuhan yang hidup secara alami. Oleh karena itu struktur populasinya dapat
didekati dengan fase/tingkat pertumbuhannya, yaitu: anakan, pancang, tiang dan
pohon. Definisi untuk masing-masing strata pertumbuhan pohon adalah sebagai
berikut: (1) anakan atau semai (seedling) adalah regenerasi awal pohon dengan
ukuran hingga tinggi kurang dari 1,5 meter, (2) pancang adalah regenerasi pohon
dengan ukuran lebih tinggi dari 1,5 meter serta dengan diameter batang kurang
dari 10 cm, (3) tiang adalah regenerasi pohon dengan diameter 10-20 cm, dan (4)
pohon adalah tumbuhan berkayu dengan diameter batang lebih dari 20 cm
(Soerianegara dan Indrawan 1988). Kondisi struktur populasi tumbuhan dapat
menggambarkan status regenerasi dari suatu spesies (Tripathi et al. 2010; Uma
2001).
Dalam kajian ekologi tumbuhan, analisis vegetasi adalah cara yang
digunakan untuk mempelajari struktur vegetasi dan komposisi spesies tumbuhan
di suatu tempat (Soerianegara dan Indrawan 1988). Data yang dapat diperoleh
dari kegiatan ini antara lain adalah: komposisi spesies, kerapatan, potensi
dominansi, indeks keanekaragamn spesies dan pola sebaran. Data dari suatu
analisis vegetasi dapat juga digunakan untuk mengetahui kondisi populasi suatu
spesies tumbuhan. Hal ini dikarenakan pada dasarnya analisis vegetasi dilakukan
terhadap keseluruhan spesies yang terdapat di lokasi yang dianalisis (Gambar 2).
2.5. Pola Sebaran
Komunitas makhluk hidup (tumbuhan dan satwa) memiliki tiga pola dasar
penyebarannya, yaitu: acak, berkelompok dan seragam/teratur. Pola sebaran acak
mengindikasikan suatu kondisi lingkungan yang homogen dan atau menunjukan
pola perilaku makhluk hidup yang tidak selektif atas kondisi lingkungannya. Pola
sebaran berkelompok dapat mengindikasikan adanya heterogenitas habitat atau
adanya pola perilaku selektif makhluk hidup terhadap kondisi lingkungannya.
Pola sebaran seragam/teratur menunjukan interaksi yang negatif antara individu,
seperti persaingan pakan dan ruang (Ludwig dan Reynolds 1988).
Tumbuhan pada umumnya menyukai hidup berkelompok (Fachrul 2008;
Risna 2009; Partomihardjo dan Naiola 2009; Lubis 2009). Hal ini dikarenakan
adanya interaksi antara tumbuhan dengan habitat dan lingkungannya. Hutchinson
(1953) dalam Ludwig dan Reynolds (1988) mengemukakan beberapa faktor yang
15
dapat mempengaruhi pola sebaran spasial makhluk hidup, yaitu: (a). Faktor
vektoral, yaitu faktor yang diakibatkan oleh aksi lingkungan (misal: angin,
intensitas cahaya, dan air), (b). Faktor reproduksi, yaitu faktor yang berkaitan
dengan cara organisme bereproduksi (misal: cloning dan progeny), (c). Faktor
sosial, yaitu faktor yang berkaitan dengan perilaku organisme seperti teritorial,
(d). Faktor co-active, yaitu faktor yang berkaitan dengan interaksi intraspesifik
(misal: kompetisi), (e). Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi
acak pada beberapa faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut secara sederhana
dikelompokan menjadi faktor intrinsik (reproduksi, perilaku, sosial, dan co-active)
dan fakor ekstrinsik (vektoral).
Dostları ilə paylaş: |