Artikel Asli
420
Sari Pediatri
, Vol. 11, No. 6, April 2010
I
nfeksi jamur sistemik merupakan salah satu
penyebab utama sepsis dan kematian pada
pasien yang dirawat di Neonatal Intensive Care
Unit (NICU).
1,2
Neonatus kurang bulan (NKB)
memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena infeksi jamur
sistemik dibanding dengan neonatus cukup bulan.
3
Insidens yang dilaporkan bervariasi antara 1,6%-16%.
1
Insidens infeksi jamur sistemik pada neonatus semakin
tinggi dengan berat lahir neonatus yang semakin
rendah.
1,3
Insidens infeksi jamur sistemik di Amerika
pada bayi dengan berat lahir <1000 g (berat lahir amat
sangat rendah/BLASR) 26%, sedangkan pada bayi
dengan berat lahir <1500 g (berat lahir sangat rendah/
BLSR) 10%. Insidens yang lebih rendah ditemukan
di Inggris, 2,1% pada bayi BLASR dan 1% pada bayi
BLSR.
3
Wahyuningsih R dkk
4
melaporkan prevalens
kandidemia tahun 2002 62,96% pada neonatus yang
mengalami kegagalan terapi antibiotik. Data dari Divisi
Perinatologi RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM),
Jakarta tahun 2009 mendapatkan 161 neonatus
tersangka infeksi jamur sistemik, namun, hanya 26
yang diperiksa kultur jamur dengan 5 diantaranya
terbukti infeksi jamur.
Rini Andriani, Lily Rundjan
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta
Infeksi jamur sistemik merupakan salah satu penyebab utama sepsis dan kematian pada neonatus. Neonatus
kurang bulan memiliki risiko lebih tinggi terkena infeksi jamur sistemik dibandingkan dengan neonatus
cukup bulan. Terdapat beberapa faktor risiko terjadi infeksi jamur sistemik pada neonatus diantaranya
adalah kolonisasi jamur. Tindakan pencegahan terhadap infeksi jamur pada neonatus pada prinsipnya sama
dengan tindakan pencegahan infeksi lainnya. Penting dilakukan tindakan untuk memodifikasi faktor risiko
dalam hal ini. Pencegahan khusus dapat dilakukan dengan memberikan antijamur seperti nistatin untuk
mencegah kolonisasi. Pemberian terapi profilaksis antijamur terbukti menurunkan angka kejadian infeksi
jamur sistemik. Efek samping, toksisitas, biaya, dan kemungkinan terbentuknya galur (strain) yang resisten
menjadi hal utama yang harus dipertimbangkan dalam pemberian terapi profilaksis. Disajikan beberapa
penelitian mengenai pemakaian nistatin sebagai terapi profilaksis yang telah dilakukan di berbagai negara
untuk menilai efektifitas nistatin oral sebagai terapi profilaksis infeksi jamur sistemik pada neonatus kurang
bulan disertai contoh kasus. (
Sari Pediatri
2010;11(6):420-27).
Kata kunci: nistatin, profilaksis, infeksi jamur sistemik, neonatus
Alamat korespondensi:
Dr. Lily Rundjan, Sp.A. Divisi Perinatologi. Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM. Jl. Salemba no. 6. Jakarta 10430. Telepon: 021-
3154020
421
Rini Andriani dkk: Nistatin oral sebagai terapi profilaksis pada neonatus kurang bulan
Sari Pediatri
,
Vol. 11, No. 6, April 2010
Ozturk MA dkk
5
melaporkan angka mortalitas
yang tinggi akibat infeksi jamur sistemik berkisar
25%-50%. Tindakan pencegahan terhadap infeksi
jamur pada neonatus akan menurunkan angka
mortalitas dan morbiditas.
1
Kolonisasi Candida spp.
merupakan salah satu penyebab utama timbulnya
infeksi jamur sistemik.
1,2
Kolonisasi dapat terjadi
melalui dua cara yaitu transmisi dari ibu ke bayi atau
transmisi dari lingkungan ke bayi. Kolonisasi dapat
terjadi pada minggu pertama kehidupan (10%) dan
dapat meningkat hingga 50% pada neonatus yang
dirawat selama 1-3 bulan di NICU. Kolonisasi dapat
terjadi di beberapa lokasi, yang paling awal adalah di
saluran pencernaan.
2
Manzoni P dkk
6
melaporkan
sekitar 23% kolonisasi berkembang menjadi infeksi
jamur sistemik pada neonatus BLSR.Terapi profilaksis
dengan antijamur oral dapat mencegah terjadinya ko-
lonisasi di saluran pencernaan sehingga menurunkan
kejadian infeksi jamur sistemik. Flukonazol oral telah
terbukti menurunkan kolonisasi kandida dan infeksi
jamur sistemik pada NKB dan neonatus dengan
BLSR.
5
Efek samping pemakaian flukonazol berupa
toksisitas di hati dan kemungkinan terbentuknya galur
yang resisten terhadap flukonazol merupakan hal yang
harus diperhatikan.
3,5
Nistatin oral merupakan terapi
profilaksis alternatif yang lebih murah dan tidak dia-
bsorpsi (bersifat lokal) sehingga tidak menimbulkan
efek samping sistemik gangguan hati.
3
Kasus
Bayi Ny L, lahir pada tanggal 8 Januari 2010 di RSCM
secara spontan karena gagal tokolisis. Ibu berusia 33
tahun (G1P1A0) dengan faktor risiko infeksi berupa
keputihan dan infeksi saluran kemih yang baru dio-
bati satu hari dengan ampisilin-sulbaktam. Pematangan
paru dengan deksametason diberikan selama dua hari
antepartum. Ultrasonografi fetomaternal terdapat oli-
gohidramnion. Saat lahir bayi tidak langsung menangis
dengan nilai Apgar 3 pada menit pertama dan 8 pada
menit ke-5, berat lahir (BL) 1020 gram, panjang lahir
(PL) 39 cm, usia gestasi (UG) 29-30 minggu menurut
skor Ballard. Resusitasi yang dilakukan dengan ventilasi
tekanan positif (VTP) dengan neopuff. Pada pemeriksaan
fisis didapatkan bayi tampak sesak, retraksi dalam (skor
Down 5) sehingga dipasang continuous positive airway
pressure (CPAP). Pasien dipindahkan ke NICU pada
usia 3,5 jam, dilakukan septic work up dengan hasil
darah perifer lengkap (DPL) masih dalam batas normal,
C-reactive protein (CRP) 12 dan rasio neutrofil imatur/
total (rasio IT) 0.12. Diagnosis ditegakkan, neonatus
kurang bulan sesuai masa kehamilan (NKB-SMK),
distres pernapasan et causa Hyaline Membrane Disease
dengan diagnosis banding sepsis neonatorum awitan
dini. Tata laksana di NICU meliputi pemasangan
CPAP, pemberian antibiotik lini pertama (amoksisilin-
klavulanat dan gentamisin) dan pasien dipuasakan. Hasil
kultur darah pertama steril. Pada usia lima hari terdapat
perdarahan kulit, perdarahan melalui orogastric tube
(OGT), takikardia dan capillary refill time (CRT) >3”.
Pemeriksaan DPL menunjukkan hasil anemia (Hb 10,9
g/dL), leukositosis (24230/μL) dan trombosit 152000/
μL serta peningkatan CRP (48), rasio IT (0,17), dan
pemanjangan PT 18,6 (nilai kontrol 11,1), APTT 83,5
(nilai kontrol 33,3). Pasien diterapi sebagai syok sepsis
dengan gangguan koagulasi. Antibiotik diganti lini
kedua (piperasilin tazobaktam dan amikasin). Setelah
pemberian antibiotik tiga hari, klinis pasien tetap tidak
aktif, pucat dengan perdarahan melalui oro gastric tube
(OGT) sehingga antibiotik diganti lini ketiga (mero-
penem). Pemeriksaan DPL di temukan Hb 6,7 g/dL
dan jumlah trombosit 68000/μL. Hasil kultur darah
kedua setelah 3x24 jam, Pseudomonas aeruginosa yang
resisten terhadap semua antibiotik. Pasien dilakukan
transfusi tukar pada usia 10 hari. Antibiotik kemudian
diberikan kombinasi meropenem dan seftazidim ber-
dasarkan hasil konsultasi dengan Departemen Patologi
Klinik karena obat pilihan utama polimiksin intravena
tidak tersedia di Indonesia. Pasien juga dikonsulkan ke
Departemen Parasitologi untuk melihat kemungkinan
infeksi jamur sistemik. Pada pemeriksaan fisik tidak
ditemukan adanya oral thrush atau diaper candidiasis.
Departemen Parasitologi menyarankan pemberian
nistatin oral dengan dosis 2x0,25 mL (2x 25.000 IU) se-
bagai profilaksis untuk mencegah kolonisasi jamur pada
saluran cerna. Pada usia 13 hari, hasil kultur darah ketiga
Pseudomonas aeruginosa yang sensitif terhadap antibiotik
meropenem dan seftazidim. Departemen Patologi Klinik
menyarankan untuk melanjutkan salah satu antibiotik,
yaitu meropenem dan menghentikan seftazidim. Klinis
pasien saat itu stabil, tidak ada instabilitas suhu, mulai
diberikan trophic feeding yang kemudian ditingkatkan
perlahan. Pasien kemudian dipindahkan ke special care
nursery (SCN 1).
Usia 15 hari terdapat episode apnea berulang me-
skipun pasien telah mendapat terapi aminofilin. Pasien
kembali dipasang nasal CPAP. Pemeriksaan tidak
422
Rini Andriani dkk: Nistatin oral sebagai terapi profilaksis pada neonatus kurang bulan
Sari Pediatri
, Vol. 11, No. 6, April 2010
dijumpai penyebab apnea menunjukkan, Hb 10 g/dL
dan 126000/μL. Transfusi packed red cell (PRC) diberi-
kan untuk koreksi anemia. Usia 17 hari, episode apnea
berkurang, nasal CPAP dilepas dan diberikan oksigen
nasal kanul. Pada saat itu masih terdapat episode demam
38,2-38,5°C sehingga dipikirkan kemungkinan infeksi
jamur sistemik. Pemeriksaan swab anal dijumpai jamur.
Pasien diberikan antijamur sistemik flukonazol secara
intravena dan dilakukan kultur jamur (kultur jamur baru
dapat dilakukan 14 jam setelah dosis pertama flukonazol
diberikan). Pada kasus ini, amfoterisin B tidak menjadi
pilihan pertama obat antijamur karena hasil kreatinin
agak tinggi. Usia 26 hari, tidak terdapat apnea berulang,
maka oksigen dilepas. Pasien bebas demam selama 72
jam dan toleransi minum baik. Flukonazol diberikan
secara intravena selama tujuh hari kemudian diberikan
per oral. Hasil kultur darah jamur tidak tumbuh. Mero-
penem dihentikan setelah 21 hari. Pasien pulang dengan
kondisi baik pada usia 36 hari dengan flukonazol oral
(direncanakan pemberian selama 21 hari), kafein sitrat,
dan multivitamin.
Masalah klinis
Pengalaman klinis menunjukkan banyaknya neonatus
kurang bulan yang mengalami infeksi jamur sistemik
yang akan mempengaruhi lama perawatan, morbiditas,
dan mortalitas. Pemberian terapi profilaksis antijamur
terbukti menurunkan angka kejadian infeksi jamur
sistemik.
7
Efek samping, toksisitas, biaya, dan
kemungkinan terbentuknya galur yang resisten
menjadi hal utama yang harus dipertimbangkan dalam
pemberian terapi profilaksis. Berdasarkan hal tersebut
diajukan pertanyaan klinis sebagai berikut; Pada NKB
yang memerlukan terapi profilaksis antijamur, apakah
nistatin oral cukup efektif untuk mencegah terjadinya
kolonisasi dan infeksi jamur sistemik.
Metode penelusuran
Prosedur pencarian literatur untuk menjawab masalah
klinis tersebut adalah dengan menelusuri pustaka
secara online dengan menggunakan instrumen
pencari Pubmed, Cochrane Library, Google, dan Yahoo.
Kata kunci yang digunakan adalah “prophylaxis”,
”nystatin”, “premature”, dan “fungal infection” dengan
menggunakan batasan (limit): studi yang dilakukan
pada manusia, publikasi bahasa Inggris, dan batasan
usia bayi baru lahir – 1 bulan.
Dengan metode tersebut pada awalnya didapatkan
38 artikel yang memenuhi kriteria. Penelusuran lebih
lanjut dilakukan secara manual pada daftar pustaka
yang relevan. Setelah penelusuran judul dan abstrak
artikel-artikel tersebut, didapatkan empatbelas artikel
yang relevan dengan masalah, terdiri dari tiga artikel
uji klinis acak terkontrol, dua artikel metaanalisis,
empat studi kasus kontrol, dan lima artikel telaah.
Level of evidence ditentukan berdasarkan klasifikasi
yang dikeluarkan oleh Oxford Centre for Evidence-based
Medicine Levels of Evidence.
8
Hasil penelusuran
Ganesan K dkk
1
melaporkan suatu studi retrospektif
tidak acak dengan subjek kontrol yang melakukan
terapi profilaksis dengan nistatin pada bayi dengan
UG<33 minggu. Nistatin diberikan dengan dosis 1 ml
(100.000 IU/ml) tiap 6 jam, diberikan per-oral 0,5 ml
dan sisanya melalui selang orogastrik (level evidence:
2b). Nistatin tetap diberikan meskipun bayi belum
mendapat asupan per oral, yang akan diteruskan hingga
bayi tidak mendapatkan perawatan intensif. Nistatin
tidak diberikan bila terdapat tanda-tanda peritonitis
dan kemungkinan enterokolitis nekrotikans. Penelitian
ini membagi dua kelompok subjek, kelompok pertama
(grup A, n=724) tidak mendapat profilaksis nistatin
tetapi diterapi dengan nistatin bila ditemukan kolo-
nisasi kandida dan kelompok kedua (grup B, n=735)
mendapat profilaksis nistatin. Pada kelompok profilaksis
ditemukan penurunan tingkat kolonisasi yang bermakna
bila dibanding kelompok tanpa profilaksis (p<0,0001).
Usia mulai terjadinya kolonisasi tidak berbeda pada
kedua kelompok. Kolonisasi pada saluran cerna (mela-
lui pemeriksaan swab anal) juga menurun, dari 29,8%
menjadi 14,8%. Penyebab kolonisasi yang utama adalah
Candida albicans diikuti oleh Candida parapsilosis.
Angka kejadian infeksi (kultur positif ) pada kelompok
profilaksis 1,8% dibanding 4,1% pada kelompok tanpa
profilaksis (p=0,008). Angka mortalitas lebih tinggi pada
kelompok tanpa profilaksis dibandingkan kelompok
dengan profilaksis (p<0,0001).
Howell A dkk
3
melakukan studi prospektif
multisenter di unit perawatan neonatus di Australia
dan New Zealand dari tahun 1993 hingga 2006 (level
evidence: 2b). Insidens infeksi jamur sistemik pada
423
Rini Andriani dkk: Nistatin oral sebagai terapi profilaksis pada neonatus kurang bulan
Sari Pediatri
,
Vol. 11, No. 6, April 2010
neonatus BLSR di Australia dan New Zealand yang
menggunakan profilaksis nistatin, dibandingkan
dengan neonatus di unit perawatan yang tidak
menggunakan profilaksis nistatin. Didapatkan insidens
infeksi jamur sistemik yang rendah pada bayi BLSR
dan BLASR baik yang mendapat nistatin maupun
yang tidak (Tabel 1). Profilaksis nistatin secara ber-
makna menurunkan insidens infeksi jamur sistemik.
Penyebab infeksi jamur yang utama adalah Candida
spp, terbanyak Candida albicans (62,7%) diikuti oleh
Candida parapsilosis (33,1%). Mortalitas akibat sepsis
oleh infeksi jamur sekitar 16,5%, 16,1% pada bayi
BLSR dan 17% bayi BLASR. Tidak disebutkan dosis
nistatin yang digunakan untuk profilaksis pada pene-
litian tersebut.
Ozturk MA dkk
5
melakukan uji klinis acak
terkontrol yang bertujuan untuk mengetahui tingkat
kolonisasi dan infeksi pada kelompok yang mendapat
profilaksis nistatin dan tanpa profilaksis. Subjek dibagi
secara acak menjadi kelompok A (kelompok yang
dianggap sebagai karier jamur) dan B (kelompok yang
mendapat profilaksis nistatin) sebelum usia 72 jam.
Kelompok A kemudian dibagi lagi menjadi kelompok
A1 yaitu kelompok yang tidak mendapat nistatin
sama sekali dan kelompok A2 yang mendapat nistatin
bila teridentifikasi sebagai karier jamur. Ditemukan
tingkat kolonisasi lebih rendah pada kelompok yang
mendapat profilaksis (6%) dibandingkan kelompok
A1 (24,7%) dan kelompok A2 (13,8%). Dari hasil
kultur yang ada tidak ditemukan spesies Kandida
yang resisten terhadap nistatin. Kultur darah yang
tumbuh lebih banyak ditemukan pada kelompok A,
demikian pula dengan infeksi jamur sistemik (12,1%
pada kelompok A dan hanya 1,8% pada kelompok
B) (level evidence: 1b). Rangkuman hasil penelusuran
tertera pada Tabel 2.
Tabel 1. Insidens infeksi jamur sistemik pada neonatus
3
Neonatus
Dengan profilaksis
(%)
Tanpa profilaksis
(%)
Nilai p
Berat lahir sangat rendah
Berat lahir amat sangat rendah
0,54
1,23
1,23
2,67
(p<0,001)
(p<0,001)
Tabel 2. Rangkuman penelitian nistatin profilaksis pada neonatus
Penulis
Pasien
Jenis penelitian
Luaran
Hasil
Ozturk dkk
5
(2006)
3991 bayi
1596 prematur <37
minggu, 938 bayi
VLBW
Uji klinis acak terkontrol
(level of evidence: 1b)
Subjek dibagi menjadi 2
kelompok, dibandingkan
kelompok yang mendapat
profilaksis nistatin dengan
kelompok tanpa profilak-
sis nistatin
Insidens kandi-
diasis
sistemik pada neo-
natus
Nistatin profilaksis menu-
runkan insidens kandidiasis
sistemik pada neonatus de-
ngan ELBW dan VLBW
(p=0,004)
Ganesan dkk
1
(1998-2003)
1459 bayi, usia
gestasi <33 minggu
Studi kasus control
retrospektif
(level of evidence:2b)
Subjek dibagi menjadi 2
kelompok, kelompok A
(724 bayi, pre-profilaksis
nistatin) dan kelompok B
(735 bayi, mendapat pro-
filaksis nistatin)
Kolonisasi jamur
dan insidens infeksi
jamur sistemik
Nistatin profilaksis menu-
runkan kolonisasi jamur dan
infeksi jamur sistemik pada
bayi prematur <33 minggu
(p< 0,0001)
Nistatin menurunkan ting-
kat kematian akibat infeksi
jamur sistemik (p<0,0001)
Howell dkk
3
(1993-2006)
14.778 bayi <1500 g
Prospektif, multisenter
(level of evidence:1b)
Senter yang menggunakan
nistatin profilaksis diban-
dingkan dengan yang tidak
menggunakan nistatin
Insidens pada senter
yang menggunakan
nistatin profilaksis.
Insidens infeksi
jamur di Australia
dan New Zealand
Insidens infeksi jamur siste-
mik pada neonatus <1500
g dan <1000 g lebih rendah
di unit yang menggunakan
nistatin profilaksis
(p<0,001)
424
Rini Andriani dkk: Nistatin oral sebagai terapi profilaksis pada neonatus kurang bulan
Sari Pediatri
, Vol. 11, No. 6, April 2010
Austin N dkk
10
melakukan meta analisis terhadap
empat uji klinis acak terkontrol mengenai penggu-
naan antijamur oral sebagai profilaksis. Dua uji klinis
membandingkan pemberian profilaksis nistatin dengan
plasebo, satu uji klinis membandingkan mikonazol oral
dengan plasebo dan satu uji klinis membandingkan
profilaksis nistatin dengan flukonazol. Keluaran primer
yang dinilai adalah tingkat kolonisasi dan infeksi jamur
sistemik. Pada uji klinis yang membandingkan nista-
tin dengan plasebo ditemukan insidens infeksi jamur
sistemik menurun secara bermakna pada pemberian
profilaksis nistatin (RR 0,19, IK 95% 0,14-0,27)
namun angka kematian pada kedua kelompok tidak
berbeda bermakna. Keluaran sekunder berupa lamanya
perawatan dan pemakaian ventilator tidak berbeda ber-
makna. Pada uji klinis yang membandingkan nistatin
dan flukonazol tidak ditemukan perbedaan yang ber-
makna pada insidens infeksi jamur sistemik dan angka
kematian. Meta analisis tersebut menyimpulkan masih
perlu dilakukan uji klinis acak terkontrol untuk me-
nentukan apakah nistatin dapat menurunkan insidens
infeksi jamur sistemik dan mortalitas pada neonatus
(level evidence: 1a).
Isaacs D
11
melakukan telaah yang bertujuan untuk
menilai efikasi profilaksis antijamur untuk mencegah
infeksi jamur sistemik pada neonatus. Pertanyaan yang
akan dijawab adalah apakah diperlukan antijamur
profilaksis dan jenis obat yang akan digunakan sebagai
profilaksis. Pada telaah ini dilakukan evaluasi terhadap
data yang berhubungan seperti insidens infeksi jamur
sistemik, reaksi simpang dari penggunaan antijamur
profilaksis dan faktor-faktor risiko yang dapat
dihindari. Telaah dilakukan pada empat uji klinis acak
terkontrol untuk menilai efikasi flukonazol sebagai
antijamur profilaksis. Disimpulkan bahwa profilaksis
flukonazol menurunkan insidens infeksi jamur sistemik
pada neonatus (14,2% pada kelompok plasebo dan
3,1% pada kelompok profilaksis), mortalitas akibat
infeksi jamur (14,6% pada kelompok plasebo dan
8,5% pada kelompok flukonazol), dan kolonisasi jamur
dari 40,8% menjadi 11,9%. Profilaksis flukonazol
diberikan selama 30 hari pada bayi dengan berat
lahir <1500 g dan 45 hari pada bayi berat lahir <1000
g. Telaah dilakukan terhadap keamanan flukonazol,
ditemukan flukonazol dosis 6 mg/kg/hari untuk terapi
sepsis oleh candida menyebabkan dua bayi mengalami
peningkatan kadar enzim hati dan dua bayi mengalami
peningkatan kadar serum kreatinin, namun tidak ada
terapi yang dihentikan. Telaah juga dilakukan terhadap
dua uji klinis acak terkontrol untuk mengetahui efikasi
nistatin, didapatkan nistatin profilaksis efektif dan
dapat ditoleransi dengan baik. Di temukan satu uji
yang membandingkan flukonazol dan nistatin namun
hanya dipublikasikan dalam bentuk abstrak (level
evidence: 2b).
Pembahasan
Pencegahan infeksi jamur sistemik pada neonatus
kurang bulan sangat penting karena infeksi jamur
sistemik menyebabkan gangguan tumbuh kembang
dan kematian terutama pada bayi berat lahir <1000
g (BLASR). Analisis multisenter yang dilakukan
oleh National Institute of Child Health and Human
Development (NICHD) di Amerika pada bayi dengan
berat lahir <1000 gram didapatkan angka mortalitas
26% dan gangguan tumbuh kembang 57% pada
neonatus dengan sepsis oleh kandida dan 53% pada
neonatus dengan meningitis.
12,13
Sepsis oleh kandida
menyebabkan gangguan tumbuh kembang lebih besar
dibandingkan dengan sepsis oleh mikroorganisme
yang lain.
13
Penyebab utama infeksi jamur sistemik pada
neonatus adalah Candida spp. Hasil kultur menunjukkan
Candida albicans dan Candida parapsilosis sebagai
penyebab terbanyak. Kematian yang disebabkan
oleh kedua spesies tersebut tidak berbeda bermakna.
Meskipun demikian, beberapa hasil studi menemukan
telah terjadi pergeseran penyebab infeksi dari Candida
albicans menjadi non C.albicans.
4,14
Wahyuningsih R
dkk
4
menemukan penyebab terbanyak di Indonesia
adalah Candida tropicalis. Gambaran klinis infeksi
jamur pada neonatus berbeda pada infeksi yang
bersifat kongenital dan nosokomial. Kandidiasis
kongenital jarang terjadi. Gejala yang paling sering
dilaporkan adalah kandidiasis mukokutaneus.
14
Infeksi nosokomial oleh jamur memiliki gejala yang
serupa dengan sepsis bakterial sehingga sering terjadi
keterlambatan diagnosis dan terapi.
16
Faktor risiko
terjadinya infeksi jamur sistemik pada neonatus,
antara lainkolonisasi jamur di beberapa lokasi, intubasi
endotrakea lama, penyakit atau operasi pada saluran
pencernaan, pemakaian antibiotik spektrum luas,
pemakaian H2-bloker dan proton-pump inhibitor
(PPI), dan pemakaian nutrisi parenteral lama atau
puasa lama.
14
Analisis univariat yang dilakukan oleh
Manzoni P dkk
6
menemukan bahwa neonatus kurang
425
Rini Andriani dkk: Nistatin oral sebagai terapi profilaksis pada neonatus kurang bulan
Sari Pediatri
,
Vol. 11, No. 6, April 2010
bulan dan berat lahir rendah merupakan faktor risiko
utama. Faktor risiko lain adalah kolonisasi di kateter
vena sentral, lama perawatan di NICU, lama terapi
oksigen, kultur positif pada aspirasi cairan lambung
dan endotrakeal, dan adanya sepsis bakterial. Hal
penting yang ditemukan dari studi tersebut adalah
pemakaian kateter vena sentral akan meningkatkan
risiko sepuluh kali untuk terjadinya infeksi jamur
sistemik pada neonatus.
Pada kasus yang kami sajikan, memiliki faktor
risiko untuk terkena infeksi jamur sistemik yaitu
lahir kurang bulan (UG 29 minggu) dengan berat
lahir 1020 g (<1500 g), sepsis berat disebabkan
bakteri Gram negatif, perawatan lama di NICU (13
hari), pemakaian antibiotik spektrum luas (16 hari),
pemakaian ranitidin, dan pemakaian kateter vena
sentral dan perifer yang lama.
Baku emas untuk diagnosis infeksi jamur sistemik
adalah jamur dari biakan cairan tubuh seperti
darah, urin, cairan serebrospinalis, atau cairan tubuh
lainnya yang diambil secara steril untuk mengurangi
terjadinya kontaminasi. Pemeriksaan biakan memiliki
keterbatasan karena hasil pada umumnya didapat
lebih dari 36 jam dan memberikan hasil negatif
palsu pada infeksi jamur yang berat. Kultur darah
jamur menunjukkan hasil negatif pada 50% kasus
meningoensefalitis yang disebabkan oleh jamur.
Pemeriksaan mikroskopik cairan serebro-spinalis juga
sering ditemukan dalam batas normal.
14
Terdapat
pemeriksaan diagnostik lain seperti pemeriksaan DNA
jamur dan antibodi jamur atau komponen dinding sel
jamur, namun belum dapat dilakukan pada neonatus.
Pada kasus yang diduga kuat terdapat infeksi jamur
sistemik dapat dilakukan pemeriksaan tambahan
lain seperti pemeriksaan retina (ditemukan fungal
ophthalmitis atau retinitis) dan ultrasonografi ginjal
(gambaran khas ditemukan adanya renal fungus ball).
16
Pada kasus kami dilakukan pemeriksaan apusan anal
jamur dengan hasil sel jamur positif yang menunjukkan
kolonisasi jamur pada saluran cerna. Pemeriksaan
biakan jamur dari spesimen darah memberikan hasil
negatif, kemungkinan disebabkan biakan dilakukan
setelah pemberian antijamur flukonazol. Selain itu,
jamur sering tumbuh pada organ-organ tertentu
dalam tubuh tetapi tidak masuk ke dalam aliran darah
sehingga tidak dapat dideteksi melalui pemeriksaan
biakan spesimen darah.
Studi oleh Borderon JC dkk
7
menunjukkan bahwa
pencegahan terhadap kolonisasi jamur akan mencegah
infeksi jamur sistemik pada neonatus. Kolonisasi
jamur positif apabila ditemukan jamur pada apusan
liang telinga, swab rektum, feses, urin, aspirasi cairan
lambung, sekret nasofaring dan endotrakea, pada
kultur kateter dan lokasi tubuh yang diduga terinfeksi.
Kolonisasi lebih dari tiga lokasi diklasifikasikan sebagai
multipel.
6
Pada prinsipnya, pencegahan infeksi jamur sama
dengan tindakan untuk mencegah infeksi pada
umumnya seperti cuci tangan, tindakan asepsis dan
antisepsis saat melakukan tindakan pada pasien. Selain
itu, dapat dilakukan tindakan untuk memodifikasi
faktor risiko, misalnya penggunaan antibiotik yang
rasional, menghindari puasa dan pemakaian intubasi
lama serta penggunaan antihistamin H2. Pencegahan
khusus dapat dilakukan dengan memberikan antijamur
seperti flukonazol dan nistatin untuk mencegah
terjadinya kolonisasi.
10,16
Nistatin merupakan antijamur
yang bekerja lokal, tidak diabsorpsi sistemik, diisolasi
dari bakteri Streptomyces noursei pada tahun 1950.
Nistatin bekerja dengan mengikat ergosterol yang
merupakan komponen utama dinding sel jamur. Pada
konsentrasi yang cukup, akan membentuk pori pada
membran sel jamur yang menyebabkan kebocoran
kalium dan kematian sel jamur.
15,17
Pemberian nistatin
oral bertujuan menurunkan kolonisasi jamur di
saluran cerna. Dosis yang dianjurkan untuk profilaksis
3x1ml (100.000 IU/ml).
12
Berdasarkan Neonatal
Pharmacopoeia yang diterbitkan oleh Royal Women’s
Hospital, Melbourne, dosis nistatin profilaksis diberikan
2x1 ml (100.000 IU/ml).
9
Howell A dkk
3
menemukan
bahwa nistatin profilaksis yang diberikan segera dalam
usia 72 jam pertama menurunkan tingkat infeksi
bila dibandingkan dengan pemberian nistatin setelah
terjadinya kolonisasi (3,6% versus 13,9%; p=0.01).
Hingga saat ini belum ditemukan efek samping
pemberian nistatin pada neonatus. Meskipun demikian,
analisis meta oleh Austin N dkk
10
menyarankan studi
lebih lanjut untuk pemberian nistatin profilaksis
pada bayi berat lahir rendah. Pada kasus kami tidak
dilakukan pemeriksaan swab jamur awal sebelum
diberikan nistatin sehingga tidak diketahui apakah
kolonisasi jamur telah terjadi sebelum pemberian
profilaksis nistatin. Dalam perjalanan penyakitnya,
meskipun telah diberikan nistatin selama enam hari,
apusan anal jamur tetap positif. Pemberian nistatin
profilaksis tidak efektif, kemungkinan disebabkan telah
terjadi kolonisasi jamur karena profilaksis diberikan
setelah bayi berusia lebih dari 72 jam.
426
Rini Andriani dkk: Nistatin oral sebagai terapi profilaksis pada neonatus kurang bulan
Sari Pediatri
, Vol. 11, No. 6, April 2010
Profilaksis ditujukan pada bayi dengan berat lahir
kurang dari 1000 gram dan atau usia gestasi kurang
dari 27 minggu, dimulai segera setelah lahir dan
dilanjutkan hingga usia enam minggu. Bayi dengan
berat lahir 1000-1500 gram dapat diberikan profilaksis
bila memakai kateter vena sentral dan mendapat
antibiotik selama lebih dari tiga hari.
12
Analisis meta
oleh Clerihew L dkk
16
menemukan penurunan
infeksi jamur sistemik yang signifikan pada bayi yang
mendapat profilaksis (RR 0,23; IK 95% 0,11-0,46)
dengan pilihan antijamur utama flukonazol. Dosis,
interval, dan lama pemberian flukonazol profilaksis
bervariasi, dan sampai saat ini belum ada kesepakatan
di antara para ahli.
18
Kaufman D dkk
19
menyarankan
pemberian flukonazol profilaksis dengan dosis 3 mg/
kg secara intravena dua kali seminggu. Flukonazol
profilaksis hanya direkomendasikan pada populasi
dengan faktor risiko tinggi terkena infeksi jamur
sistemik. Flukonazol diabsorpsi secara sistemik,
sehingga perlu diperhatikan kemungkinan timbulnya
efek samping, dengan memantau fungsi hati dan fungsi
ginjal, serta kemungkinan timbulnya galur jamur yang
resisten terhadap flukonazol.
18,19
Kesimpulan
Nistatin oral menjadi pilihan alternatif utama
sebagai profilaksis infeksi jamur sistemik karena
sifat yang dimiliki yaitu bereaksi lokal dan tidak
diabsorpsi (sistemik), murah, mudah diberikan, dan
aman, meskipun pemakaiannya sebagai prosedur
rutin masih memerlukan uji klinis lebih lanjut.
Pada contoh kasus pemberian profilaksis nistatin
tidak berhasil karena beberapa kemungkinan seperti
keterlambatan pemberian terapi profilaksis, dosis yang
diberikan relatif rendah dan kondisi pasien dengan
banyak faktor risiko untuk terjadinya infeksi jamur
sistemik.
Pemakaian flukonazol sebagai profilaksis infeksi
jamur sistemik pada neonatus harus dibatasi pada
kelompok risiko tinggi dengan insidens infeksi jamur
sistemik yang tinggi untuk mencegah terbentuknya
galur jamur yang resisten terhadap flukonazol. Di
Indonesia, dengan adanya keterbatasan jenis antijamur
yang tersedia, penggunaan flukonazol sebagai
profilaksis harus dipertimbangkan dengan lebih hati-
hati mengingat kemungkinan timbulnya galur jamur
yang resisten dengan flukonazol.
Daftar Pustaka
1.
Ganesan K, Harigopal S, Neal T, Yoxall CW. Prophylactic
oral nystatin for preterm babies under 33 weeks gestation
decrease fungal colonization and invasive fungaemia.
Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2009;94:F275-8.
2.
Mahieu LM, Van Gasse N, Wildemeersch D, Jansens
H, Leven M. Number of sites of perinatal Candida
colonization and neutropenia are associated with
nosocomial candidemia in the neonatal intensive care
unit patient. Pediatr Crit Care Med 2010;11:1-6.
3.
Howell A, Isaacs D, Halliday R, The Australasian Study
Group for Neonatal Infections. Oral nystatin prophylaxis
and neonatal fungal infections. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2009;94:F429-33.
4.
Wahyuningsih R, Rozalyani A, El Jannah SM, Amir
I, Prihartono J. Kandidemia pada neonatus yang
mengalami kegagalan terapi antibiotik. Maj Kedokt
Indon 2008;58:110-5.
5.
Ozturk MA, Gunes T, Koklu E, Cetin N, Koc N. Oral
nystatin prophylaxis to prevent invasive candidiasis in
neonatal intensive care unit. Mycoses 2006;49:484-92.
6.
Manzoni P, Farina D, Leonessa ML, d’Oulx EA, Gal-
letto P, Mostert M, dkk. Risk factors for progression to
invasive fungal infection in preterm neonates with fungal
colonization. Pediatrics 2006;118:2359-64.
7.
Borderon JC, Therizol-Ferly M, Saliba E, Laugier J, Quentin
R. Prevention of Candida colonization prevents infection
in a neonatal unit. Biol Neonate 2003;84:37-40.
8.
Oxford Centre of Evidence-based Medicine. Oxford
Centre for Evidence-Based Medicine levels of evidence.
Maret 2009 [diakses tanggal 29 November 2009].
Diunduh dari: http://www.cebm.net/index.aspx?o=1025.
9.
Fary R, Smith R. Neonatal pharmacopoeia. Edisi ke-2.
Melbourne: Royal Women’s Hospital; 2006. h. 63.
10. Austin N, Darlow BA, McGuire W. Prophylactic oral/
topical non-absorbed antifungal agents to prevent
invasive fungal infection in very low birth weight infants.
Cochrane Database of Systematic Reviews 2009, Issue
4. Art. No.: CD003478. DOI:10.1002/14651858.
CD003478.pub3.
11. Isaacs D. Fungal prophylaxis in very low birth weight
neonates: nystatin, fluconazole or nothing? Curr Opin
Infect Dis 2008;21:246-50.
12. Kaufman D. Prevention of invasive Candida infections in
preterm infants: the time is now. Expert Rev Anti Infect
Ther 2008;6:393-9.
13. S t o l l B J , H a n s e n N I , A d a m - C h a p m a n I .
Neurodevelopmental and growth impairment among
427
Rini Andriani dkk: Nistatin oral sebagai terapi profilaksis pada neonatus kurang bulan
Sari Pediatri
,
Vol. 11, No. 6, April 2010
extremely low birth weight infants with neonatal
infection. JAMA 2004;292:2357-65.
14. Brecht M, Clerihew L, McGuire W. Prevention and
treatment of invasive fungal infection in very low
birthweight infants. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
2009;94:F65-9.
15. Kicklighter SD. Antifungal agents and fungal prophylaxis
in the neonate. NeoReviews 2002;3:e249-54.
16. Clerihew L, Austin N, McGuire W. Prophylactic systemic
antifungal agents to prevent mortality dan morbidity
in very low birth weight infants. Cochrane Database of
Systematic Reviews 2007, Issue 4. Art. No.: CD003850.
DOI:10.1002/14651858.CD003850.pub3.
17. White TC, Marr KA, Bowden RA. Clinical, cellular,
and molecular factors that contribute to antifungal drug
resistance. Clin Microbiol Rev 1998;11:382-402.
18. Reed BN, Caudle KE, Rogers PD. Fluconazole
prophylaxis in high-risk neonates. Ann Pharmacother.
2010;44:178-84.
19. Kaufman D, Boyle R, Hazen KC, Patri JT, Robinson
M, Grossman LB. Twice weekly fluconazole prophylaxis
for prevention of invasive Candida infection in high-
risk infants of<1000 grams birth weight. J Pediatr
2005;147:172-9.
1000>1500>1000>1000>1000>1500>1000>1500>1500>33>33>37>33>1500>1000>
Dostları ilə paylaş: |