BAB I PENDAHULUAN
Bab ini akan menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Batasan Masalah, (1.3) Rumusan Masalah, (1.4) Tujuan Penelitian, (1.5) Manfaat Penelitian, (1.6) Kerangka Pemikiran, (1.7) Hipotesis, (1.8) Waktu dan Tempat Penelitian.
-
Latar Belakang
Hortikultura, terutama sayuran merupakan sumber provitamin, vitamin, mineral dan terutama dari kalsium dan besi. Selain hal tersebut sayuran juga merupakan sumber serat yang sangat penting dalam menjaga kesehatan tubuh. Sayuran juga dapat memberikan kepuasan terutama dari segi warna dan teksturnya (Samad, 2006).
Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) merupakan salah satu produk hortikultura yang menyehatkan baik dalam bentuk segar maupun olahan yang memiliki komposisi zat gizi yang cukup lengkap. Tomat merupakan sayuran yang kaya akan berbagai senyawa antioksidan seperti likopen, alfa-karoten, beta-karoten, lutein, vitamin C, flavonoid, dan vitamin E (Willcox et al., 2003). Menurut Clinton (1998), lebih dari 80% asupan likopen penduduk Amerika Serikat berasal dari tomat.
Sebagai produk sayuran maupun buah, tomat merupakan salah satu komoditas yang memiliki tingkat produksi nomor dua tertinggi diantara komoditas sejenis lainnya setelah bawang merah. Menurut data dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2011, produksi tomat di Indonesia mencapai 354.832 ton/tahun dan 304.740 ton diantaranya dihasilkan oleh daerah Jawa Barat (BPS, 2012). Di sisi lain, tomat merupakan komoditas yang cepat rusak (perishable), sehingga memerlukan penanganan yang tepat sejak dipanen. Menurut Purwati (2009) rata-rata buah tomat hibrida memiliki kisaran umur atau daya tahan berkisar antara 14-24 hari. Bahkan penelitian lain menyebutkan beberapa varietas tomat hanya memiliki daya tahan kurang dari 14 hari (Jaya dkk, 2005). Berdasarkan pada hasil tersebut maka pengolahan tomat menjadi berbagai produk pangan menjadi salah satu pilihan untuk dapat mengkonsumsi tomat dan memperoleh manfaat dari sifat fungsional tomat.
Salah satu bentuk olahan tomat yaitu saus tomat. Saus tomat terbuat dari pasta tomat, yaitu tomat yang dijadikan bubur kental (puree tomat). Sifat kimia puree maupun saus tomat diperlukan agar produk tersebut diketahui kandungan gizi dan zat alami yang ada di dalamnya (Astawan, 2008).
Saus tomat merupakan salah satu produk pangan hasil olahan yang saat ini banyak diproduksi oleh para produsen yang bergerak di bidang pangan. Saus tomat seringkali dipergunakan sebagai bahan penyedap makanan yang berupa bubur kental yang berbahan dasar daging buah tomat yang masak dan segar dengan penambahan bumbu-bumbu. Seiring dengan meningkatnya kreativitas masyarakat dalam hal menciptakan serta mengolah masakan, penggunaan saus tomat menjadi kian populer. Saus tidak saja hadir dalam sajian seperti mie bakso atau mie ayam, tetapi juga dijadikan bahan pelengkap nasi goreng, mie goreng dan aneka makanan fast food.
Prinsip pembuatan saus atau pasta tomat adalah penghancuran buah tomat, penyaringan untuk memisahkan daging dari kulit dan bijinya dan pemanasannya sampai suhu tertentu untuk menghasilkan pasta tomat dengan kadar padatan terlarut dengan nilai tertentu yang diinginkan. Melalui serangkaian proses pengolahan dari bahan baku tertentu, memungkinkan terjadinya penurunan mutu produk dari bahan baku hingga ke produk yang dihasilkannya. Penurunan mutu ini terutama dalam hal kandungan gizinya sebagai akibat dari reaksi biokimiawi yang berlangsung akibat proses fisik seperti gesekan hingga pemanasan.
Pada pengolahan pangan, proses pemanasan sangat banyak digunakan. Tinggi rendahnya suhu, waktu pemanasan dan sumber energi yang digunakan serta cara pemanasan tergantung dari sifat bahan dan tujuan pemanasan. Pemanasan bahan pangan dapat menyebabkan perubahan kimiawi dan fisik pada bahan pangan termasuk buah tomat. Vitamin, mineral dan zat antioksidan yang terdapat di dalam buah tomat dapat mengalami kerusakan dalam proses pengolahan menjadi produk jadi seperti pasta tomat (Endrah, 2008). Kerusakan terutama terhadap vitamin ini disebabkan sebagian besar vitamin bersifat larut dalam air sehingga pemanasan pada suhu tertentu dapat meningkatkan evaporasi terhadap air sekaligus vitamin tersebut.
Sebagai produk pangan olahan, sudah sepantasnya kualitas saus tomat tidak hanya dilihat dari kebermanfaatannya dalam hal citarasa yang ditimbulkannya saja, melainkan juga memperhatikan keutuhan kandungan gizi di dalamnya, mengingat kandungan gizi yang terkandung pada bahan baku produk ini sangatlah banyak dan bermanfaat.
Selain proses pengolahan, penyimpanan produk pangan juga memerlukan perhatian khusus terkait dengan masalah penurunan mutu tersebut. Penurunan mutu ini tentunya akan sangat terkait dengan umur simpan produk. Tidak hanya dalam hal mutu produk, informasi umur simpan produk telah diakui sangat penting bagi banyak pihak, baik produsen, konsumen, penjual, dan distributor. Melalui informasi tersebut, konsumen tidak hanya mengetahui tingkat kesegaran dan keamanan produk, melainkan juga menjadi petunjuk bagi perubahan cita rasa, penampakan dan kandungan gizi produk tersebut.
Bagi produsen, informasi umur simpan merupakan bagian dari konsep pemasaran produk yang penting secara ekonomi dalam hal pendistribusian produk serta berkaitan dengan usaha pengembangan jenis bahan pengemas yang digunakan. Bagi penjual dan distributor informasi umur simpan sangat penting dalam hal penanganan stok barang dagangannya (Anonymous, 2011).
Informasi masa kaduluarsa atau umur simpan merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan oleh produsen pada kemasan produk pangan. Pencantuman informasi umur simpan menjadi sangat penting karena terkait dengan keamanan produk pangan tersebut dan untuk menghindari pengkonsumsian pada saat kondisi produk sudah tidak layak dikonsumsi. Kewajiban produsen untuk mencantumkan informasi umur simpan ini telah diatur oleh pemerintah dalam UU Pangan tahun 1996 serta PP Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dimana setiap industri pangan wajib mencantumkan tanggal kadaluarsa (umur simpan) pada setiap kemasan produk pangan (Arpah, 2001).
Pendugaan umur simpan saus tomat dapat dilakukan dengan mengidentifikasi tanda-tanda penurunan mutu atau kerusakan yang mungkin terjadi selama penyimpanan. Kerusakan saus banyak dipengaruhi oleh sanitasi ditempat pembuatan, transportasi, pemasaran dan cara penyimpanan. Selama proses tersebut peranan mikrooranisme sangat besar dalam percepatan kerusakan saus tomat, sehingga pada kondisi tertentu memungkinkan produk tersebut tidak layak untuk dikonsumsi. Untuk mengetahui kelayakan tersebut seringkali tidak mungkin dilakukan hanya dengan menggunakan alat indera atau uji organoleptik yang bersifat kualitatif semata, akan tetapi juga diperlukan analisis yang lebih mendalam seperti faktor fisik, kimia dan mikrobiologis yang dapat diuji secara kuantitatif.
Segala kemungkinan perubahan yang akan terjadi pada produk selama proses penyimpanan tersebut tidak terlepas dari faktor lingkungan yang juga turut mempengaruhinya, salah satunya yaitu suhu penyimpanan. Suhu penyimpanan yang cenderung berubah-ubah dapat mempengaruhi mutu makanan termasuk saus tomat.semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat oleh karena itu, dalam menduga kecepatan penurunan mutu makanan selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhitungkan (Syarief dan Halid, 1993).
Selama penyimpanan distribusi produk terbuka pada kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban, kandungan oksigen dan cahaya dapat memicu beberapa reaksi yang menyebabkan penurunan mutu produk. Sebagai konsekuansinya, produk pangan dapat ditolak oleh konsumen, atau dapat membahayakan orang yang mengonsumsinya. Oleh karena itu pemahaman yang baik terhadap reaksi-reaksi yang menyebabkan penurunan mutu produk pangan menempati prioritas untuk pengembangan prosedur spesifik guna mengevaluasi umur simpan produk. Perubahan secara kimiawi, fisik dan mikrobiologi merupakan penyebab pada penurunan mutu dari produk pangan (Christaman, 2007).
Berdasarkan pada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penurunan mutu saus tomat di atas, maka dapat ditentukan suatu teknik pendugaan umur simpan saus tomat yaitu dengan menggunakan model Arrhenius. Model Arrhenius biasanya digunakan untuk produk yang sensitif terhadap perubahan suhu penyimpanan. Menurut model ini, selama penyimpanan bahan pangan keadaan suhu penyimpanan selayaknya dalam keadaan tetap dari waktu ke waktu (konstan), akan tetapi pada kenyataannya keadaan suhu tersebut relatif berubah-uba. Apabila keadaan suhu penyimpanan tetap dari waktu ke waktu atau dianggap tetap, maka perumusan masalahnya dapat disederhanakan yaitu dengan menggunakan rumus Arrhenius yaitu:
k = k0. e (–Ea/RT)
Mengacu pada hal yang dipaparkan di atas, maka diperlukan adanya suatu kajian untuk menentukan kualitas saus tomat berdasarkan kandungan gizinya dan menduga umur simpan simpannya jika disimpan pada suhu yang berbeda berdasarkan parameter penurunan mutunya dengan mengacu pada model Arrhenius.
-
Identifikasi Masalah
-
Apakah proses pemasakan dengan suhu dan waktu yang berbeda berpengaruh terhadap karakteristik total padatan terlarut, kadar likopen dan vitamin C saus tomat.
-
Kombinasi antara suhu dan waktu pemasakan yang bagaimanakah yang menghasilkan produk saus tomat yang paling baik dari segi total padatan terlarut, kadar likopen dan vitamin C nya.
-
Apakah suhu dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap mutu saus tomat yang diamati berdasarkan parameter aktivitas air (aw), keasaman (pH) dan jumlah mikroba.
-
Apakah suhu dan waktu penyimpanan berpengaruh terhadap umur simpan saus tomat.
-
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah yaitu: bagaimana stabilitas kandungan gizi TPT, likopen dan vitamin C pada saus tomat dan berapa lama umur simpan saus tomat yang ditentukan berdasarkan parameter aw dengan menggunakan model Arrhenius serta perbedaannya jika disimpan pada suhu yang berbeda.
-
Maksud dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk mempelajari pengaruh suhu dan lama pemasakan terhadap stabilitas kandungan gizi dalam saus tomat dan mengetahui umur simpannya pada berbagai suhu yang berbeda berdasarkan penurunan mutunya. Sedangkan tujuan penelitian ini antara lain:
-
Menganalisis komposisi gizi pada dua varietas buah tomat (Opal dan Zamrud) sebagai bahan baku pembuatan saus tomat.
-
Mempelajari pengaruh suhu dan lama pemasakan terhadap stabilitas kandungan gizi pada saus tomat yang meliputi TPT, kadar likopen dan vitamin C.
-
Menentukan kombinasi suhu dan lama pemasakan yang paling baik berdasarkan stabilitas gizi yang paling tinggi pada saus tomat.
-
Mempelajari penurunan mutu pada saus tomat selama masa penyimpanan pada suhu yang berbeda berdasarkan parameter kritis aw, pH dan jumlah mikroba (TPC).
-
Menduga umur simpan produk saus tomat berdasarkan aktivitas air (aw) dengan menggunakan model Arrhenius.
-
Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini maka diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak diantaranya:
-
Dapat meningkatkan kualitas saus tomat dengan mempertimbangkan nilai gizi yang dikandungnya.
-
Bagi para produsen khusunya pada tingkat UKM, penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam penentuan masa kadaluarsa atau daya tahan produk saus tomat yang telah atau akan diproduksinya.
-
Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang pangan khususnya dalam proses pengolahan serta penyimpanan produk pangan.
-
Bagi pemerintah, penelitian ini dapat memberikan masukan untuk lebih memperhatikan proses pengawasan terhadap produk pangan khususnya terhadap keamanan pangan yang berkaitan dengan umur simpan dan masa kadaluarsa produk.
-
Kerangka Pemikiran
Tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang banyak dijumpai di Indonesia. Buah tomat mempunyai peranan penting dalam pemenuhan gizi masyarakat. Komposisi zat gizi yang terkandung di dalamnya cukup lengkap. Vitamin A dan C merupakan zat gizi yang jumlahnya cukup menonjol dalam buah tomat. Vitamin A yang terdapat dalam buah tomat adalah likopen yang ditemukan dalam jumlah paling banyak. Pada tomat yang masih segar jumlah likopen sebesar 4,28 mg/100g (Tsang, 2005). Vitamin C dapat berbentuk sebagai asam L-askorbat dan asam L-dehidroaskorbat yang keduanya mempunyai keaktifan sebagai vitamin C (Jungs and Wells, 1997).
Buah tomat akan segera mengalami kerusakan jika tanpa perlakuan saat penyimpanan. Besarnya kerusakan buah tomat setelah panen berkisar antara 20% sampai dengan 50% (Winarno,1986). Menurut Purwati (2009) rata-rata buah tomat hibrida memiliki kisaran umur atau daya tahan berkisar antara 14-24 hari. Bahkan penelitian lain menyebutkan beberapa varietas tomat hanya memiliki daya tahan kurang dari 14 hari (Jaya dkk, 2005). Buah tomat yang dipanen setelah timbul warna 10% sampai dengan 20% hanya akan bertahan maksimal 7 hari pada suhu kamar di Lembang (Sinaga, 1984).
Beberapa alternatif telah dilakukan untuk mengatasi masalah kerusakan dengan mengolah buah tomat menjadi bentuk olahan seperti minuman sari buah tomat, saus, pasta ,manisan kering maupun menjadi produk dalam bentuk bubuk. Salah satu produk olahan tomat yang cukup populer yaitu saus tomat. Selain untuk tujuan pengawetan, pengolahan tomat menjadi saus tomat juga untuk meningkatkan nilai jual secara ekonomi. Meskipun demikian, stabilitas nilai gizi yang terkandung di dalamnya hendaknya menjadi prioritas penting dalam pelaksanaan pengolahan tersebut. Dengan kata lain, proses pengolahan hendaknya dilakukan dengan meminimalisir kehilangan kandungan gizi dari bahan baku yang dalam hal ini adalah buah tomat.
Meskipun secara umum proses pembuatan saus tomat hampir sama, akan tetapi belum tentu kandungan gizi yang dikandungnya juga sama. Menurut Suprapti (2000), dalam hal kandungan gizi yang diharapkan dalam suatu produk, pemilihan varietas tomat sebagai bahan baku saus sangatlah berpengaruh.
Di Indonesia terdapat puluhan bahkan ratusan varietas tomat dengan beragam ciri khas yang dimilikinya. Di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA) Lembang khususnya, beberapa varietas tomat yang cukup dikenal antara lain varietas Intan, Ratna, Berlian, Mutiara, Mirah, Opal, Zamrud, Moneymaker, Precious F1 hybrid (TW-375), Farmers 209 F1 hybrid (TW-369), dan varietas masih banyak lagi. Dari 10 varietas tersebut, varietas Opal dan Zamrud merupakan varietas yang memiliki keadaan fisik yang memenuhi persyaratan sebagai bahan baku saus (pasta) yakni berdaging tebal, warna dasar merah terang, berbiji sedikit, dan kadar air rendah (Setiawati, dkk., 2007).
Meskipun demikian, tingginya kandungan gizi pada varietas tertentu belum tentu cukup menjamin stabilitas senyawa-senyawa penting yang terkandung pada produk saus tomat yang dihasilkan. Adapun senyawa penting yang dimaksud dalam hal ini adalah senyawa yang jumlahnya cukup tinggi pada buah tomat yaitu likopen dan vitamin C.
Menurut Stahl dan Sies (1992), selama proses pengolahan, suhu pengolahan dan pengaruh mekanis akan melemahkan kekuatan ikatan antara senyawa dan matriks jaringan, serta mempermudah pemecahan dinding sel sehingga pelepasan senyawa seperti halnya likopen, vitamin bahkan mineral penting akan meningkat kandungannya di dalam produk olahan tomat.
Proses pengolahan tomat hingga menjadi saus tomat sudah sangat biasa dilakukan. Adapun proses yang dirasa sangat berpengaruh terhadap stabilitas kandungan gizi seperti halnya likopen dan vitamin C tersebut yakni pada tahap pemasakan. Pemasakan dilakukan setelah proses pencampuran bahan. Para produsen maupun masyarakat yang memproduksi saus tomat dalam kepentingan tertentu biasanya memperkirakan suhu dan lama pemasakan dalam rentang waktu tertentu yakni suhu antara 700C-1000C selama 20-30 menit, dengan tujuan yang sama yaitu untuk menghasilkan bentuk akhir saus yang kental. Hal ini tentu saja sangat mudah untuk dilakukan, akan tetapi pertimbangan terhadap stabilitas kandungan likopen dan vitamin yang terkandung di dalamnya menjadi terabaikan.
Kandungan gizi pada saus tomat bisa saja berkurang karena dalam proses pengolahan banyak kemungkinan yang bisa terjadi, terutama unsur-unsur yang peka terhadap perlakuan-perlakuan tertentu seperti temperatur pemanasan, waktu pemanasan yang terlalu lama, pengadukan, serta penghancuran. Namun kenyataanya yang sering dijumpai justru terjadi peningkatan zat-zat gizi sebagai akibat penambahan bumbu kecuali vitamin C karena pemanasan pada temperatur yang tinggi dan dalam waktu yag relatif lama akan mempengaruhi terhadap kondisi vitamin C (Endrah, 2008).
Seiring dengan krativitas masyarakat yang kian bekembang, kebutuhan akan saus tomat sebagai penambah cita rasa makanan menjadi kian meningkat. Peningkatan ini juga dapat dilihat dari semakin banyaknya produk saus tomat di pasaran. Meski secara umum saus yang ada sudah didaftarkan di Departemen Kesehatan karena kandungannya yang dianggap tidak membahayakan konsumen, akan tetapi tidak sedikit dari produk tersebut yang belum mencantumkan umur simpan atau masa kadaluarsanya sehingga tidak jarang produk saus tomat yang banyak beredar di pasaran tersebut semestinya sudah tidak layak konsumsi namun masih tetap dijual bahkan dikonsumsi.
Penentuan mengenai masa kadaluarsanya suatu produk berhubungan erat dengan kerusakan yang terjadi pada produk tersebut. Suatu produk yang dipasarkan memiliki kecepatan kerusakan yang sangat bervariasi. Satu faktor utama kerusakan bahan pangan adalah kandungan air aktif secara biologis dalam jaringan. Bahan mentah dengan kandungan air aktif secara biologis yang tinggi dapat mengalami kerusakan dalam beberapa hari saja, misalnya sayur-sayuran dan daging-dagingan (Palupi, dkk., 2007).
Semua bahan pangan bersifat dapat rusak, artinya setelah penyimpanan tertentu terjadi perubahan-perubahan yang menyebabkan kemunduran mutu sampai batas tertentu sehingga menjadikan produk tersebut menjadi tidak layak konsumsi. Pada produk saus tomat, kerusakan utama dicirikan dengan perubahan warna, bau bahkan cita rasanya. Selain penyimpangan secara organoleptik tersebut, penyimpangan juga dapat terjadi pada kandungan gizinya terutama dalam hal kandungan likopen dan vitamin C. Selain itu, saus tomat juga dapat mengalami perubahan dalam hal kadar air, pH maupun mikroorganisme.
Arpah (2001), menyatakan bahwa kondisi lingkungan merupakan faktor umum yang mempengaruhi lama waktu penyimpanan suatu produk. Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan, maka laju reaksi senyawa kimia akan semakin cepat. Menurut Arpah (2001) ; Syarief dan Halid (1993) untuk jenis makanan kering dan semi basah, suhu percobaan penyimpanan yang dianjurkan untuk menguji masa kadaluarsa makanan adalah 00C, suhu kamar, 300C, 350C, 400C bahkan sampai 450C, sedangkan untuk makanan yang diolah secara thermal atau berfisik basah biasanya menggunakan suhu 50C, 100C, suhu kamar, 300C, 350C hingga 400C. Sementara untuk produk makanan yang bersifat beku menggunakan suhu -400C, -150C, -100C hingga -50C. Menurut Lechowich (1971) dari beragamnya suhu penyimpanan, suhu antara 00C - 100C merupakan suhu penyimpanan dingin paling aman terhadap perkembangan bakteri, dimana bakteri patogen yang berhubungan dengan pangan tidak dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu tersebut.
Pendugaan umur simpan produk dapat dilakukan dengan metode konvensional dan metode akselerasi. Metode konvensional membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal karena pendugaan umur simpan dilakukan dalam kondisi normal sehari-hari. Sedangkan metode akselerasi dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lebih singkat karena penentuan umur simpan ini dilakukan pada kondisi percobaan yang ekstrim (suhu tinggi, kelembaban di atas atau di bawah kondisi normal penyimpanan) sehingga mempercepat proses penurunan mutu produk. Dengan ekstrapolasi, kecepatan penurunan mutu bisa dihitung berdasarkan persamaan matematis (Arpah, 2001 ; Syarief dan Halid, 1993).
Salah satu model yang menggunakan prinsip metode akselerasi dalam menentukan umur simpan suatu produk adalah dengan menggunakan model Arrhenius. Model Arrhenius biasanya digunakan untuk produk yang sensitif terhadap perubahan suhu penyimpanan (Herawati, 2008).
Selama penyimpanan, keadaan suhu ruangan penyimpanan selayaknya dalam keadaan tetap dari waktu ke waktu, tetapi seringkali keadaan suhu penyimpanan berubah-ubah. Apabila keadaan suhu penyimpanan tetap dari waktu ke waktu maka perumusan masalahnya dapat disederhanakan yaitu dengan menggunakan rumus Arrhenius yaitu:
k = k0. e (–Ea/RT)
dimana : k = kosntanta penurunan mutu
k0 = konstanta (tidak tergantung pada suhu)
E = energi aktivasi
T = suhu mutlak (C + 273)
R = konstanta gas 1,986 kal/mol
dengan mengubah persamaan dibatas menjadi:
ln k = ln k0 – E/RT
karena ln k0 dan –E/R merupakan bilangan konstanta, maka persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:
ln k = A + B . 1/T
Istilah umur simpan secara umum mengandung pengertian tentang waktu antara saat produk mulai dikemas atau diproduksi sampai dengan mutu produk masih memenuhi syarat untuk dikonsumsi (Hine, 1987). Selanjutnya Syarief dan halid (1993), menyatakan bahwa masa simpan suatu produk pangan merupakan parameter untuk mengetahui ketahanan produk selama penyimpanan. Masa simpan produk berhubungan erat dengan beberapa hal dianataranya yaitu kadar air kritis, suhu dan kelembaban.
Penentuan masa simpan secara umum adalah penanganan suatu produk dalam kondisi yang dikehendaki dan dipantau setiap waktu sampai produk mengalami kerusakan. Oleh karenanya pendugaan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat lagi diterima oleh konsumen.
-
Hipotesis
Adapun hipotesis yang dapat diajukan pada penelitian kali ini adalah:
-
Kombinasi antara suhu dan lama pemasakan pada proses pengolahan diduga berpengaruh terhadap karakteristik total padatan terlarut (TPT), stabilitas kadar likopen dan vitamin C pada produk saus tomat.
-
Saus tomat yang dimasak pada suhu dan waktu tertentu akan memiliki kandungan likopen, vitamin C dan total padatan terlarut yang terbaik.
-
Selama masa penyimpanan, diduga terjadi penurunan mutu saus tomat yang dilihat berdasarkan aktivitasair (aw), pH dan jumlah mikroba.
-
Suhu dan lama penyimpanan diduga berpengaruh terhadap umur simpan saus tomat dan penyimpanan pada suhu dingin (100C) diduga dapat memperpanjang umur simpan produk saus tomat.
-
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih 3 bulan yang dimulai dari bulan Mei sampai dengan Juli 2013. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian Teknologi Pangan Fakultas Teknik Universitas Pasundan Bandung, Laboratorium Kimia Analitik Jurusan Kimia Universitas Pendidikan Indonesia dan di Laboratorium Analisis Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA) Cikole, Lembang.
Dostları ilə paylaş: |