124
ANTIBIOTIKA, RESISTENSI, DAN RASIONALITAS TERAPI
Eka Rahayu Utami
Fakultas Sains dan Tekhnologi UIN Maliki Malang.
Email: ekhoney_mom@yahoo.com
ABSTRACT
Bacterial resistance toward antibiotics has become international and serious problem.
Rasional therapy campaign has common recently, include correct medication, precise
dose, fix therapy periode and efficient cost. Microbes being resistance through some
different ways for live survival. Many things can cause this resistance. In the end, there
are a lot of harmful consequences in health, economic, also public health aspect.
Rational therapy, government regulation, and civil education become some crusial
point in bacterial resistance conquer strategy.
Keywords: antibiotics, resistance, rational therapy.
PENDAHULUAN
Antibiotika, yang pertama kali
ditemukan oleh Paul Ehlrich pada 1910,
sampai saat ini masih menjadi obat
andalan dalam penanganan kasus-kasus
penyakit infeksi. Pemakaiannya selama
5
dekade
terakhir
mengalami
peningkatan yang luar biasa, hal ini
tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi
juga menjadi masalah di negara maju
seperti Amerika Serikat. The Center for
Disease Control and Prevention in USA
menyebutkan terdapat 50 juta peresepan
antibiotik
yang
tidak
diperlukan
(unnescecery prescribing) dari 150 juta
peresepan setiap tahun (Akalin,2002).
Menurut Menteri Kesehatan Endang
Rahayu Sedyaningsih, sekitar 92 persen
masyarakat
di
Indonesia
tidak
menggunakan antibiotika secara tepat.
Ketika
digunakan
secara
tepat,
antibiotik memberikan manfaat yang
tidak perlu diragukan lagi. Namun bila
dipakai atau diresepkan secara tidak
tepat (irrational prescribing) dapat
menimbulkan kerugian yang luas dari
segi kesehatan, ekonomi bahkan untuk
generasi mendatang.
Munculnya
kuman-kuman
patogen yang kebal terhadap satu
(antimicrobacterial
resistance)
atau
beberapa jenis antibiotika tertentu
(multiple
drug
resistance)
sangat
menyulitkan
proses
pengobatan.
Pemakaian antibiotika lini pertama yang
sudah tidak bermanfaat harus diganti
125
Antibioka, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi
SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012
ISSN: 2089-0699
dengan obat-obatan lini kedua atau
bahkan lini ketiga. Hal ini jelas akan
merugikan pasien, karena antibiotika
lini kedua maupun lini ketiga masih
sangat mahal harganya. Sayangnya,
tidak tertutup kemungkinan juga terjadi
kekebalan kuman terhadap antibiotika
lini kedua dan ketiga. Disisi lain,
banyak penyakit infeksi yang merebak
karena
pengaruh
komunitas,
baik
berupa epidemi yang berdiri sendiri di
masyarakat
(independent
epidemic)
maupun
sebagai
sumber
utama
penularan di rumah sakit (nosocomial
infection). Apabila resistensi terhadap
pengobatan terus berlanjut tersebar luas,
dunia yang sangat telah maju dan
canggih ini akan kembali ke masa-masa
kegelapan kedokteran seperti sebelum
ditemukannya
antibiotika
(APUA,
2011).
Hal-hal
diatas
telah
menjadi permasalahan kesehatan di
seluruh dunia. Hingga akhirnya pada
peringatan Hari Kesehatan Internasional
tahun 2011, WHO menetapkan tema
Antimicrobacterial Resistance and its
Global Spread. Sejalan dengan tema
WHO, Indonesia mengangkat tema
“Gunakan Antibiotik Secara Tepat
untuk Mencegah Kekebalan Kuman”.
Resistensi kuman terhadap antibiotika
berkembang jauh lebih cepat daripada
penelitian dan penemuan antibiotika
baru. Saat ini sedang digalakkan
kampanye dan sosialisasi pengobatan
secara
rasional
yang
meliputi
pengobatan tepat, dosis tepat, lama
penggunaan yang tepat serta biaya yang
tepat. No action today, no cure
tomorrow.
ANTIBIOTIKA DAN RESISTENSI
Penemuan antibiotik diinisiasi
oleh Paul Ehrlich yang pertama kali
menemukan apa yang disebut “magic
bullet’,
yang
dirancang
untuk
menangani infeksi mikroba. Pada tahun
1910, Ehrlich menemukan antibiotika
pertama, Salvarsan, yang digunakan
untuk
melawan
syphilis.
Ehrlich
kemudian
diikuti
oleh
Alexander
Fleming yang secara tidak sengaja
menemukan penicillin pada tahun 1928.
Tujuh
tahun
kemudian,Gerhard
Domagk
menemukan
sulfa,
yang
membuka jalan penemuan obat anti TB,
isoniazid. Pada 1943, anti TB pertama
,streptomycin, ditemukan oleh Selkman
Wakzman dan Albert Schatz. Wakzman
pula
orang
pertama
yang
memperkenalkan
terminologi
antibiotik. Sejak saat itu antibiotika
ramai
digunakan
klinisi
untuk
126
Antibioka, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi
SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012
ISSN: 2089-0699
menangani berbagai penyakit infeksi
(Zhang, 2007).
Antimikroba adalah obat yang
digunakan untuk memberantas infeksi
mikroba
pada
manusia.
Sedang
antibiotika adalah senyawa kimia yang
dihasilkan
oleh
mikroorganisme
(khususnya dihasilkan oleh fungi) atau
dihasilkan secara sintetik yang dapat
membunuh
atau
menghambat
perkembangan bakteri dan organisme
lain (Munaf, 1994).
Secara garis besar antimikroba
dibagi menjadi dua jenis yaitu yang
membunuh kuman (bakterisid) dan yang
hanya
menghambat
pertumbuhan
kuman (bakteriostatik). Antibiotik yang
termasuk golongan bakterisid antara
lain
penisilin,
sefalosporin,
aminoglikosida
(dosis
besar),
kotrimoksazol, rifampisin, isoniazid
dan lain-lain. Sedangkan antibiotik
yang memiliki sifat bakteriostatik,
dimana penggunaanya tergantung status
imunologi
pasien,
antara
lain
sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol,
eritromisin, trimetropim, linkomisin,
klindamisin, asam paraaminosalisilat,
dan
lain-lain
(Laurence
&
Bennet,1987).
Pembagian bakteriostatik dan
bakterisid ini tidak absolut, tergantung
dari konsentrasi obat, spesies bakteri
dan fase perkembangannya. Manfaat
dari pembagian ini berguna dalam hal
pemilihan antibiotika, pada pasien
dengan status imunologi yang rendah
(imunosuppressed) misalnya penderita
HIV-AIDS, pada pasien pembawa
kuman (carrier), pada pasien dengan
kondisi sangat lemah (debilitated)
misalnya pada pasien-pasien end-stage,
maka
harus
dipilih
antibiotika
bakterisid.
Terdapat pembagian lain dalam
klasifikasi antibiotika, yaitu berdasar
cara kerja maupun spektrum kerjanya.
Penggunaan pembagian ini secara klinis
masih
kurang
bermanfaat.
Dalam
prakteknya, klasifikasi yang paling
sering dipakai klinisi adalah berdasar
susunan senyawa kimia. Lebih sering
dipakai karena sifatnya yang praktis,
nama obat yang dipakai langsung terkait
dengan golongan senyawa kimia
masing-masing. Antibiotika yang dibagi
berdasar senyawa kimianya antara lain
golongan
penicillin,
cephalosporin,
amfenikol, aminoglikosida, tetrasiklin,
makrolida, linkosamid, polipeptida, dan
antimikobakterium.(kucers,use
of
antibiotic)
Di samping antibiotika yang
telah disebutkan di atas, akhir-akhir ini
127
Antibioka, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi
SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012
ISSN: 2089-0699
juga mulai diperkenalkan jenis-jenis
baru
dari
golongan
beta
laktam
misalnya kelompok monosiklik beta
laktam yakni aztreonam, yang terutama
aktif terhadap kuman Gram negatif,
termasuk pseudomonas. Juga antibiotika
karbapenem (misalnya imipenem) yang
dikatakan tahan terhadap penisilinase
dan aktif terhadap kuman-kuman Gram
positif dan Gram negatif.
Antibiotika dapat ditemukan
dalam
berbagai
sediaan,
dan
penggunaanya dapat melalui jalur
topical,
oral,
maupun
intravena.
Banyaknya jenis pembagian,
klasifikasi, pola kepekaan kuman, dan
penemuan antibiotika baru seringkali
menyulitkan klinisi dalam menentukan
pilihan antibiotika yang tepat ketika
menangani suatu kasus penyakit. Hal ini
juga merupakan salah satu faktor
pemicu terjadinya resistensi.
Tidak mengherankan apabila
bakteri dapat dengan mudah beradaptasi
dengan paparan antibiotika, mengingat
keberadaan dan perkembanganya telah
dimulai sejak kurang lebih 3,8 milyar
tahun yang lalu. Resistensi pasti diawali
adanya
paparan
antibiotika,
dan
meskipun hanya ada satu atau dua
bakteri yang mampu bertahan hidup,
mereka
punya
peluang
untuk
menciptakan satu galur baru yang
resisten. Sayangnya, satu galur baru
yang resisten ini bisa menyebar dari
satu orang ke orang lain, memperbesar
potensinya dalam proporsi epidemik.
Penyebaran
ini
dipermudah
oleh
lemahnya
control
infeksi
dan
penggunaan
antibiotika
yang
luas
(Peterson, 2005)
Resistensi didefinisikan sebagai
tidak
terhambatnya
pertumbuhan
bakteri dengan pemberian antibiotik
secara sistemik dengan dosis normal
yang seharusnya atau kadar hambat
minimalnya. Sedangkan multiple drugs
resistance
didefinisikan
sebagai
resistensi terhadap daua atau lebih obat
maupun klasifikasi obat. Sedangkan
cross resistance adalah resistensi suatu
obat yang diikuti dengan obat lain yang
belum pernah dipaparkan (Tripathi,
2003). Resistensi terjadi ketika bakteri
berubah dalam satu atau lain hal yang
menyebabkan turun atau hilangnya
efektivitas obat, senyawa kimia atau
bahan lainnya yang digunakan untuk
mencegah atau mengobati infeksi.
Bakteri yang mampu bertahan hidup
dan berkembang biak, menimbulkan
lebih banyak bahaya. Kepekaan bakteri
terhadap kuman ditentukan oleh kadar
hambat
minimal
yang
dapat
128
Antibioka, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi
SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012
ISSN: 2089-0699
menghentikan perkembangan bakteri
(Bari,2008).
Timbulnya
resistensi
terhadap
suatu
antibiotika
terjadi
berdasarkan salah satu atau lebih
mekanisme berikut :
1.Bakteri mensintesis suatu enzim
inaktivator
atau
penghancur
antibiotika . Misalnya Stafilokoki,
resisten
terhadap
penisilin
G
menghasilkan beta-laktamase, yang
merusak obat tersebut. Beta-laktamase
lain dihasilkan oleh bakteri batang
Gram-negatif.
2.Bakteri mengubah permeabilitasnya
terhadap obat. Misalnya tetrasiklin,
tertimbun dalam bakteri yang rentan
tetapi tidak pada bakteri yang resisten.
3.Bakteri
mengembangkan
suatu
perubahan struktur sasaran bagi obat.
Misalnya
resistensi
kromosom
terhadap aminoglikosida berhubungan
dengan hilangnya (atau perubahan)
protein spesifik pada subunit 30s
ribosom
bakteri
yang
bertindak
sebagai reseptor pada organisme yang
rentan.
4.Bakteri mengembangkan perubahan
jalur
metabolik
yang
langsung
dihambat
oleh
obat.
Misalnya
beberapa
bakteri
yang
resisten
terhadap
sulfonamid
tidak
membutuhkan PABA ekstraseluler,
tetapi seperti sel mamalia dapat
menggunakan asam folat yang telah
dibentuk.
5.Bakteri mengembangkan perubahan
enzim yang tetap dapat melakukan
fungsi metabolismenya tetapi lebih
sedikit dipengaruhi oleh obat dari
pada enzim pada kuman yang rentan.
Misalnya beberapa bakteri
yang
rentan
terhadap
sulfonamid,
dihidropteroat sintetase, mempunyai
afinitas yang jauh lebih tinggi
terhadap sulfonamid dari pada PABA
(Jawetz, 1997).
Penyebab
utama
resistensi
antibiotika adalah penggunaannya yang
meluas dan irasional. Lebih dari separuh
pasien dalam perawatan rumah sakit
menerima antibiotik sebagai pengobatan
ataupun
profilaksis.
Sekitar
80%
konsumsi antibiotik dipakai untuk
kepentingan manusia dan sedikitnya
40% berdasar indikasi yang kurang
tepat, misalnya infeksi virus. Terdapat
beberapa
factor
yang
mendukung
terjadinya resistensi,antara lain
1.
Penggunaannya yang kurang tepat
(irrasional) : terlau singkat, dalam
dosis yang terlalu rendah, diagnose
awal yang salah, dalam potensi yang
tidak adekuat.
129
Antibioka, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi
SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012
ISSN: 2089-0699
2.
Faktor yang berhubungan dengan
pasien . Pasien dengan pengetahuan
yang
salah
akan
cenderung
menganggap
wajib
diberikan
antibiotik
dalam
penanganan
penyakit meskipun disebabkan oleh
virus, misalnya flu, batuk-pilek,
demam yang banyak dijumpai di
masyarakat.
Pasien
dengan
kemampuan financial yang baik
akan meminta diberikan terapi
antibiotik yang paling baru dan
mahal meskipun tidak diperlukan.
Bahkan pasien membeli antibiotika
sendiri tanpa peresepan dari dokter
(self medication). Sedangkan pasien
dengan kemampuan financial yang
rendah seringkali tidak mampu
untuk menuntaskan regimen terapi.
3.
Peresepan : dalam jumlah besar,
meningkatkan unnecessary health
care
expenditure
dan
seleksi
resistensi terhadap obat-obatan baru.
Peresepan
meningkat
ketika
diagnose awal belum pasti. Klinisi
sering kesulitan dalam menentukan
antibiotik
yang
tepat
karena
kurangnya pelatihan dalam hal
penyakit infeksi dan tatalaksana
antibiotiknya.
4.
Penggunaan
monoterapi
:
dibandingkan dengan penggunaan
terapi
kombinasi,
penggunaan
monoterapi
lebih
mudah
menimbulkan resistensi.
5.
Perilaku hidup sehat : terutama bagi
tenaga kesehatan, misalnya mencuci
tangan setelah memeriksa pasien
atau desinfeksi alat-alat yang akan
dipakai untuk memeriksa pasien.
6.
Penggunaan di rumah sakit : adanya
infeksi endemic atau epidemic
memicu
penggunaan
antibiotika
yang lebih massif pada bangsal-
bangsal rawat inap terutama di
intensive care unit. Kombinasi
antara pemakaian antibiotic yang
lebih intensif dan lebih lama dengan
adanya pasien yang sangat peka
terhadap
infeksi,
memudahkan
terjadinya infeksi nosokomial.
7.
Penggunaannya untuk hewan dan
binatang ternak : antibiotic juga
dipakai
untuk
mencegah
dan
mengobati penyakit infeksi pada
hewan ternak. Dalam jumlah besar
antibiotic
digunakan
sebagai
suplemen rutin untuk profilaksis
atau
merangsang
pertumbuhan
hewan ternak. Bila dipakai dengan
dosis
subterapeutik,
akan
meningkatkan terjadinya resistensi.
8.
Promosi komersial dan penjualan
besar-besaran
oleh
perusahaan
130
Antibioka, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi
SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012
ISSN: 2089-0699
farmasi serta didukung pengaruh
globalisasi, memudahkan terjadinya
pertukaran barang sehingga jumlah
antibiotika yang beredar semakin
luas. Hal ini memudahkan akses
masyarakat luas terhadap antibiotika
9.
Penelitian : kurangnya penelitian
yang dilakukan para ahli untuk
menemukan antibiotika baru (Bisht
et al, 2009)
10.
Pengawasan
:
lemahnya
pengawasan
yang
dilakukan
pemerintah dalam distribusi dan
pemakaian antibiotika. Misalnya,
pasien
dapat
dengan
mudah
mendapatkan antibiotika meskipun
tanpa peresepan dari dokter. Selain
itu juga kurangnya komitmen dari
instansi
terkait
baik
untuk
meningkatkan mutu obat maupun
mengendalikan penyebaran infeksi
(Kemenkes RI, 2011).
Konsekuensi
Resistensi antibiotik terhadap
mikroba
menimbulkan
beberapa
konsekuensi
yang fatal. Penyakit
infeksi yang disebabkan oleh bakteri
yang
gagal
berespon
terhadap
pengobatan
mengakibatkan
perpanjangan
penyakit
(prolonged
illness), meningkatnya resiko kematian
(greater risk of death) dan semakin
lamanya masa rawat inap di rumah
sakit (length of stay). Ketika respon
terhadap pengobatan menjadi lambat
bahkan gagal, pasien menjadi infeksius
untuk beberapa waktu yang lama
(carrier). Hal ini memberikan peluang
yang lebih besar bagi galur resisten
untuk menyebar kepada orang lain.
Kemudahan
transportasi
dan
globalisasi
sangat
memudahkan
penyebaran bakteri resisten antar
daerah, negara, bahkan lintas benua.
Semua hal tersebut pada akhirnya
meningkatkan jumlah orang yang
terinfeksi
dalam
komunitas
(Deshpande et al, 2011)
Ketika infeksi menjadi resisten
terhadap pengobatan antibiotika lini
pertama,
maka
harus
digunakan
antibiotika lini kedua atau ketiga, yang
mana harganya lebih mahal dan
kadang
kala
pemakaiannya
lebih
toksik.
Di
negara-negara
miskin,
dimana
antibiotika
lini
pertama
maupun
kedua
tidak
tersedia,
menjadikan potensi resistensi terhadap
antibiotika lini pertama menjadi lebih
besar. Antibiotika di Negara miskin,
didapatkan
dalam
jumlah
sangat
terbatas, bahkan antibiotika yang
seharusnya
ada
untuk
mengatasi
penyakit infeksi yang disebabkan
131
Antibioka, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi
SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012
ISSN: 2089-0699
bakteri
pathogen
resisten,
tidak
terdaftar dalam daftar obat esensial
(Bisht et al, 2009)
Konsekuensi lainnya adalah dari
segi ekonomi baik untuk klinisi, pasien,
health care administrator, perusahaan
farmasi,
dan
masyarakat.
Biaya
kesehatan akan semakin meningkat
seiring
dengan
dibutuhkannya
antibiotika baru yang lebih kuat dan
tentunya lebih mahal. Sayangnya, tidak
semua lapisan masyarakat mampu
menjangkau antibiotika generasi baru
tersebut. Semakin mahal antibiotik,
semakin
masyarakat
tidak
bisa
menjangkau, semakin banyak carrier di
masyarakat, semakin banyak galur baru
bakteri yang bermutasi dan menjadi
resisten terhadap antibiotika.
Sampai sekarang, faktanya sangat
sulit membayangkan adanya prosedur
yang efektif untuk menangani resistensi
ini. Klinisi akan sangat kesulitan
menentukan keputusan regimen terapi
pada
pasien-pasien
dengan
resiko
infeksi tinggi, misalnya pada pasien
yang akan menjalani prosedur bedah,
transpalntasi, pasien dengan kemoterapi
karena kanker, pasien-pasien kritis yang
berusia sangat muda atau sangat tua,
pasien HIV dalam masa pengobatan,
tanpa keberadaaan antibiotika yang
ampuh mengatasi masalah resistensi
(Bhatia & Narain, 2010)
STRATEGI PENANGANAN
Berdasarkan faktor pendukung
yang
telah
diuraikan
dalam
bab
sebelumnya, maka strategi penanganan
maupun
pencegahan
yang
dapat
dilakukan yang pertama dan utama
adalah terapi rasional. Penggunaan
antibiotika secara rasional diartikan
sebagai pemberian antibiotika yang
tepat indikasi, tepat penderita, tepat
obat, tepat dosis, dan waspada terhadap
efek samping antibiotika.
Kapan saat yang tepat memulai
terapi
antibiotika?
Secara
klinik
memang
sangat
sulit
memastikan
bakteri penyebab infeksi yang tepat
tanpa menunggu hasil pemeriksaan
mikrobiologi. Secara umum, klinisi
tidak boleh memberikan terapi secara
sembarangan tanpa mempertimbangkan
indikasi atau malah menunda pemberian
antibiotika pada kasus infeksi yang
sudah tegak diagnosanya secara klinis
meskipun tanpa hasil pemeriksaan
mikrobiologi. Kasus infeksi yang gawat
dapat berupa sepsis, demam dengan
neutropeni,
meningitis
bakterial
(Leekha et al, 2011).
132
Antibioka, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi
SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012
ISSN: 2089-0699
Berdasarkan
ditemukannya
kuman
atau
tidak,
maka
terapi
antibiotika dapat dibagi dua, yakni
terapi empiris dan terapi definitive.
Terapi empiris adalah terapi yang
diberikan berdasar diagnose klinis
dengan pendekatan ilmiah dari klinisi.
Sedangkan terapi definitive dilakukan
berdasarkan
hasil
pemeriksaan
mikrobiologis yang sudah pasti jenis
kuman
dan
spectrum
kepekaan
antibiotikanya (Jawetz, 1997).
Untuk menentukan penggunaan
antibiotika dalam menangani penyakit
infeksi, secara garis besar dapat dipakai
prinsip-prinsip umum dibawah ini :
1.
Penegakan diagnosis infeksi. Hal ini
bisa
dikerjakan
secara
klinis
berdasar criteria diagnose ataupun
pemeriksaan-pemeriksaan tambahan
lain yang diperlukan. Gejala panas
sama sekali bukan kriteria untuk
diagnosis adanya infeksi.
2.
Kemungkinan kuman penyebabnya,
dipertimbangkan dengan perkiraan
ilmiah
berdasarkan
pengalaman
setempat yang layak dipercaya atau
epidemiologi setempat atau dari
informasi-informasi ilmiah lain.
3.
Apakah
antibiotika
benar-benar
diperlukan?
Sebagian
infeksi
mungkin tidak memerlukan terapi
antibiotika misalnya infeksi virus
saluran pernafasan atas, keracunan
makanan
karena
kontaminasi
kuman-kuman enterik. Jika tidak
perlu antibiotika, terapi alternatif
apa yang dapat diberikan?
4.
Jika
diperlukan
antibiotika,
pemilihan antibiotika yang sesuai
berdasarkan spektrum antikuman,
sifat farmakokinetika, ada tidaknya
kontra indikasi pada pasien, ada
tidaknya interaksi yang merugikan,
bukti akan adanya manfaat klinik
dari
masing-masing
antibiotika
untuk infeksi yang bersangkutan
berdasarkan informasi ilmiah yang
layak dipercaya. Dari sisi bakteri,
pertimbangkan site of infection and
most likely colonizing, berdasar
pengalaman atau evidence based
sebelumnya bakteri apa yang paling
sering, pola kepekaan antibiotika yg
beredar local (Leekha et al, 2011).
5.
Penentuan dosis, cara pemberian,
lama pemberian berdasarkan sifat-
sifat
kinetika
masing-masing
antibiotika dan fungsi fisiologis
sistem tubuh
(misalnya
fungsi
ginjal, fungsi hepar dan lain-lain).
Perlu
dipertimbangkan
dengan
cermat
pemberian
antibiotika
133
Antibioka, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi
SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012
ISSN: 2089-0699
misalnya pada ibu hamil dan
menyusui, anak-anak, dan orang tua.
6.
Evaluasi efek obat. Apakah obat
bermanfaat, kapan dinilai, kapan
harus diganti
atau
dihentikan?
Adakah efek samping yang terjadi?
(Graham-Smith & Aronson, 1985)
Selain hal-hal di atas, edukasi
pasien juga merupakan hal yang
penting
untuk
dilakukan.
Banyak
penelitian menunjukkan bahwa edukasi
atau training yang diberikan kepada
kelompok
besar
maupun
kecil,
menunjukkan peningkatan peresepan
antibiotic yang baik. Pesan akan
diterima
dengan
baik
apabila
disampaikan oleh pemimpin local atau
orang yang dianggap berpengaruh
(Bisht et al, 2009). Pesan dapat
disampaikan melalui berbagai media
misalnya melalui iklan di televisi, radio,
koran. Tekhnologi komunikasi yang
baru juga memudahkan penyebaran
informasi ini, misalnya internet,
jejaring sosial, bahkan lewat mobile
messenger.
Perlu disebarluaskan bahwa
tidak semua jenis penyakit dapat
disembuhkan
dengan
pemberian
antibiotik. Kalaupun perlu, pemakaian
antibiotic harus sesuai dengan instruksi
dokter baik dosis maupun rentang
terapinya.
Pada
penyakit-penyakit
kronis seringkali pasien menghentikan
sendiri atau mengurangi terapinya
ketika sudah merasakan perbaikan yang
signifikan atas penyakitnya. Untuk
mengatasi hal ini, diciptakanlah obat
dalam fixed dose combinations untuk
mengurangi jumlah tablet atau kapsul
yang harus diminum, kalender special,
kemasan blister, DOTS (directly
observed therapy system).
Tenaga kesehatan harus lebih
sadar
terhadap
personal
and
environmental hygiene agar infeksi
bakteri tidak menyebar dari satu orang
ke orang lain. Dokter misalnya, dapat
mencuci tangan terlebih dahulu setelah
memeriksa pasien yang satu sebelum
beralih ke pasien yang lain. Bidan wajib
menerapkan
prinsip
sepsis-asepsis
dalam memolong persalinan. Alat-alat
operasi, KB, ataupun piranti rumah
sakit yang harus suci kuman wajib
dusterilisasi terlebih dahulu.
Di Indonesia, juga telah dilakukan
beberapa
usaha
untuk
mengatasi
dampak resistensi antibiotika akibat
pengobatan sendiri (self medication)
dengan regulasi perundang-undangan..
Salah satu dari usaha tersebut adalah di
berlakukannya undang-undang yang
134
Antibioka, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi
SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012
ISSN: 2089-0699
mengatur tentang penjualan antibiotika
yang diatur di dalam undang-undang
obat keras St. No. 419 tgl. 22 Desember
1949, pada pasal 3 ayat 1. Antibiotika
termasuk salah satu jenis obat-obat
keras, hal ini terdapat dalam pasal 1
ayat 1a yang berbunyi: “Obat-obat keras
yaitu obat-obatan yang tidak digunakan
untuk
keperluan
teknik,
yang
mempunyai
khasiat
mengobati,
menguatkan,
membaguskan,
mendesinfeksikan, dan lain-lain tubuh
manusia,
baik
dalam
bungkusan
maupun tidak , yang dtetapkan oleh
Secretaris Vaan Staat, Hoofd van het
Departement van Gesondheid, menurut
ketentuan pasal 2 ayat (1) “Sec. V. St
mempunyai
wewenang
untuk
menetapkan bahan-bahan sebagai obat-
obat keras dan ayat (2) “ Penetapan ini
dijalankan dengan menempatkan bahan-
bahan itu pada suatu daftar G (obat-obat
berbahaya) atau daftar W (peringatan).
Dalam Pasal 107 UU No. 36/2009
tentang Kesehatan ada ketentuan lebih
lanjut mengenai pengamanan sediaan
farmasi seperti obat antibiotik dan alat
kesehatan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan. Pasal 108 (1) mengatur
praktik kefarmasian yang meliputi
pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan
farmasi,
pengamanan,
pengadaan,
penyimpanan,
dan
pendistribusian obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi
obat serta pengembangan obat,bahan
obat
dan
obat
tradisional
harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Peraturan mengenai distribusi obat
tertulis dalam (Direktorat Jenderal
Pelayanan Kefarmasian dan Alat
Kesehatan) :
1)
Pasal 3 (1) Penyerahan persediaan
untuk penyerahan dan penawaran
untuk penjualan dari bahan-bahan
G, demikian pula memiliki bahan –
bahan ini dalam jumlah sedemikian
rupa sehingga secara normal tidak
dapat diterima bahwa bahan-bahan
ini hanya diperuntukkan pemakain
pribadi, adalah dilarang. Larangan
ini tidak berlaku untuk pedagang-
pedagang
besar
yang
diakui,
Apoteker-apoteker
,
yang
memimpin Apotek dan Dokter
Hewan.
2)
(2) Penyerahan dari bahan –bahan G
, yang menyimpang dari resep
Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan
dilarang, larangan ini tidak berlaku
135
Antibioka, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi
SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012
ISSN: 2089-0699
bagi penyerahan-penyerahan kepada
Pedagang –pedagang Besar yang
diakui, Apoteker-apoteker, Dokter-
dokter Gigi dan Dokter-dokter
Hewan demikian juga tidak terhadap
penyerahan-penyerahan
menurut
ketentuan pada pasal 7 ayat 5
(Keputusan Menkes RI, 2004).
Selain
peraturan
perundang-
undangan, klinisi memerlukan guideline
terapi antibiotika yang dapat digunakan
sebagai dasar terapi empiris di klinik.
Pelaksanaan penggunaan guideline ini
seyogyanya dievaluasi secara ketat oleh
pihak yang terkait misalnya rumah sakit
atau
dinas
kesehetan.
Dalam
mengaplikasikan guideline ini, tentunya
klinisi akan sangat terbantu dengan
keberadaan laboratorium mikrobiologi
klinik yang mampu menyediakan hasil
pemeriksaan secepat mungkin dan
mendiskusikan hasilnya dengan klinisi.
Mutu obat sebaiknya diawasi dan
dievaluasi
secara
berkala.
Para
professional
hendaknya
mulai
menggalakkan
penelitian
untuk
menemukan antibiotika baru yang lebih
poten dalam melawan bakteri resistan.
Dengan cepatnya dan makin
seringnya diperkenalkan berbagai jenis
antibiotika dan kemoterapetika baru,
praktisi sering mendapatkan kesulitan
dalam menilai manfaat, peran serta
resiko dari suatu jenis obat baru
dibandingkan dengan jenis-jenis yang
sudah ada. Hal ini sering diperburuk
oleh kenyataan bahwa informasi yang
diberikan mengenai obat yang baru,
lebih sering banyak menonjolkan segi
manfaat dan kelebihannya, sedangkan
efek
samping
dan
kekurangan-
kekurangan
lainnya
cenderung
diperkecilkan. Di lain pihak, informasi
ilmiah dalam bukubuku pustaka untuk
obat yang baru diperkenalkan umumnya
masih kurang lengkap. Menghadapi
kesulitan ini reaksi yang timbul dapat
muncul secara ekstrim dalam dua
kemungkinan. Pertama, mengikuti saja
semua informasi dan anjuran yang
diterima, walaupun informasinya belum
tentu sepenuhnya benar. Kedua, secara
apriori
langsung
menolak
semua
informasi dan anjuran tanpa terlebih
dulu apakah ada kelebihan manfaat dari
obat baru yang diperkenalkan tersebut.
Menghadapi
suatu
jenis
antibiotika baru yang diperkenalkan,
maka langkah-langkah penelaahan yang
dianjurkan adalah sebagai berikut,
-
T
ermasuk jenis apakah antibiotika
baru tersebut?
-
Bagaimanaspektrum antikumannya?
136
Antibioka, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi
SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012
ISSN: 2089-0699
-
Apa indikasi pemakaian kliniknya?
-
Apa antibiotika pilihan utama dan
pilihan alternatif untuk kondisi
klinik atau infeksi yang dimaksud?
-
Apakah antibiotika baru secara
mikrobiologik lebih aktif, atau lebih
paten dibanding antibiotika yang
sudah
ada
untuk
infeksi
bersangkutan?
-
Apakah ada kelebihan lain secara
farmakologik, misalnya dalam sifat-
sifat kinetik, absorpsi, distribusi dan
penetrasi jaringan, eliminasi, cara
pemberian, dosis dan sebagainya?
-
Apakah
antibiotika
baru
memberikan manfaat klinik lebih
baik dibanding yang sudah ada?
Dan apakah bukti manfaat klinik ini
ditunjang oleh penelitian uji klinik
yang dapat diterima, misalnya
dengan
rancangan
randomized
controlled trial?
-
Apakah antibiotika baru lebih aman,
kurang toksik atau kurang efek
sampingnya dibanding yang sudah
ada?
-
Apakah beaya pemakaian kliniknya
lebih murah dibandingkan dengan
obat yang sudah ada dengan
manfaat klinik dan keamanan yang
sebanding?
-
Apakah antibiotika baru tersebut
dapat dipakai secara rutin, ataukah
hanya dipakai sebagai cadangan
atau simpanan (reserved antibiotics)
untuk
menghadapi
kasus-kasus
khusus yang tidak dapat diatasi
dengan antibiotika yang sudah ada?
(Petunjuk
kuliah
farmakoterapi,
2010).
KESIMPULAN
Masalah
antibiotika
dan
resistensinya menjadi perhatian seluruh
dunia. WHO bahkan menetapkan tema
Antimicrobacterial Resistance and its
Global Spread untuk memperingati Hari
Kesehatan
Sedunia.
Penanganan
masalah ini memerlukan partisipasi dari
banyak pihak. Dokter sebagai klinisi,
masyarakat luas sebagai pengguna,
pemerintah sebagai pemegang regulasi,
farmasi sebagai distributor, bahkan
calon tenaga kesehatan bisa berperan
serta
dalam
menangani
masalah
resistensi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Akalin, E. H. 2002. The evolution of
guidelines in an era of cost
containment.
Surgical
prophylaxis. J Hosp infect.
APUA (Alliance for prudent use of
antibiotics). 2011. What is
antibiotic resistance and why is
137
Antibioka, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi
SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012
ISSN: 2089-0699
it problem?. www.apua.org on
16-09-2011.
Bari, S. B., Mahajan, B. M., Surana, S.
J. 2008. Resistance to antibiotic
: A challenge in chemotherapy.
Indian journal of pharmaceutical
education and research.
Bhatia, R., Narain, J. P. 2010. The
growing
challenge
of
antimicrobial resistance in the
south east asia region- Are we
losing the battle?. Indian Journal
of medical research.
Bisht, R., Katiyar, A., Singh, R., Mittal,
P. 2009. Antibiotic resistance- A
global issue of concern. Asian
journal of pharmaceutical and
clinical research. Volume 2.
Issue 2.
Deshpande, J. D., Joshi, M. 2011.
Antimicrobial resistance : the
global public health challenge.
International journal of student
research. Volume I. Issue 2.
Grahame-Smith, D. G., Aronson, S. K.
1985.
Oxford
textbook
of
clinical pharmacology and drug
therapy.
Oxford
University
press, Oxford.
Jawetz,
E.
1997.
Principle
of
antimicrobial drug action. Basic
and
clinical
pharmacology.
Third edition. Appleton and
Lange, Norwalk.
Kementrian
Kesehatan
Republik
Indonesia. 2011. Buku panduan
hari kesehatan sedunia.
Keputusan Menteri Kesehatan tentang
standard pelayanan farmasi di
Rumah
Sakit.
2004.
No
1197/MENKES/SK/X/2004.
Laurence, D. R., Bennet, P. N. 1987.
Clinical Pharmacology. Sixth
edition. Churchill livingstone,
Edinburgh.
Leekha, S. , Terrel, C. L., Edson, R. S.
2011. General principles of
antimicrobial
therapy.
Symposium on antimicrobial
therapy. Februari.
Munaf, S., Chaidir, J. 1994. Obat
antimikroba.
Farmakologi
UNSRI. EGC, Jakarta.
Peterson, L. R. 2005. Squeezing the
antibiotic balloon : The impact
of antimicrobial classes on
ermerging resistance. European
society of clinical microbiology
and infectious deseases. The
Feinberg school of medicine,
North Western University, USA.
Petunjuk kuliah/diskusi : Farmakoterapi
antiinfeksi/antibiotika.
2010.
Bagian
farmakologi
klinik
Fakultas Kedokteran Universitas
Gajah Mada.
Tripathi, K. D. 2003. Antimicrobial
drugs : general consideration.
Essential
of
medical
pharmacology. Fifth edition.
Jaypee
brothers
medical
publishers.
Zhang, Y. 2007. Mechanisms of
antibiotic
resistance
in
the
138
Antibioka, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi
SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012
ISSN: 2089-0699
microbial
world.
Baltimore,
USA.
Dostları ilə paylaş: |