39
Sari Pediatri, Vol. 7, No. 1, Juni 2005
Resisten Trimetoprim – Sulfametoksazol terhadap
Resisten Trimetoprim – Sulfametoksazol terhadap
Resisten Trimetoprim – Sulfametoksazol terhadap
Resisten Trimetoprim – Sulfametoksazol terhadap
Resisten Trimetoprim – Sulfametoksazol terhadap
Shigellosis
Shigellosis
Shigellosis
Shigellosis
Shigellosis
Selvi Nafianti, Atan B Sinuhaji
Sari Pediatri, Vol. 7, No. 1, Juni 2005: 39-44
Disentri merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian terutama pada anak
usia di bawah 5 tahun. Penyebab tersering disentri adalah
Shigella spp. World Health
Oranization (WHO) menganjurkan pemberian trimetoprim-sulfametoksazol pada diare
berdarah tanpa mengetahui penyebab. Banyak laporan mengenai resistensi trimetoprim-
sulfametoksazol, sehingga perlu dicari alternatif antimikroba untuk pengobatan
shigellosis. Disamping itu, perlu pemahaman yang baik mengenai mekanisme terjadinya
resistensi.
Kata kunci: trimetoprim-sulfametoksazol, shigellosis, resistensi.
D
iare masih merupakan masalah di
Indonesia, dilaporkan 60 juta pasien per
tahun 70-80% mengenai anak berusia
di bawah 5 tahun,
1
Ghiskan melaporkan
5 juta kematian pasien diare di dunia setiap tahunnya.
2
World Health Oranization membagi diare menjadi tiga
kelompok yaitu diare cair akut, diare berdarah
(disentri) dan diare persisten. Diare berdarah dapat
disebabkan disentri basiler (Shigella) dan amuba,
enterokolitis (misalnya cows milk allergy), trichuriasis,
EIEC, ( Campylobacter jejuni
3-5
dan virus (rotavirus)
6
.
diantaranya, penyebab yang paling sering meng-
akibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian
adalah disentri basiler.
4-9
Laporan epidemiologi menunjukkan bahwa
600.000 dari 140 juta pasien shigellosis meninggal
setiap tahun di seluruh dunia.
9,10
Data di Indonesia
memperlihatkan 29% kematian diare terjadi pada
umur 1 sampai 4 tahun disebabkan oleh Disentri
basiler.
11
Laporan dari di Amerika Serikat mem-
perkirakan sebanyak 6000 dari 450.000 kasus diare
per tahun dirawat di rumah sakit,
12
di Inggris 20.000-
50.000 kasus per tahun,
13
sedangkan di Mediterania
Timur dilaporkan kematian ± 40.000 kasus (rata rata
case fatality rate 4%).
7
Tingginya insidens dan
mortalitas dihubungkan dengan status sosial ekonomi
yang rendah, kepadatan penduduk, dan kebersihan
yang kurang.
14-18
Shigellosis merupakan penyakit infeksi saluran
pencernaan yang ditandai dengan diare cair akut dan/
atau disentri (tinja bercampur darah, lender, dan
nanah), pada umumnya disertai demam, nyeri perut,
dan tenesmus.
19,20
Komplikasi shigelosis berat menjadi
fatal adalah perforasi usus, megakolon toksik, prolapsus
rekti, kejang, anemia septik, sindrom hemolitik uremia,
dan hiponatremi.
4,14-16
Penyakit ini ditularkan melalui
rute fekal-oral dengan masa inkubasi 1 - 7 hari,
21
untuk
terjadinya penularan tersebut diperlukan dosis minimal
penularan 200 bakteri shigella.
14,22-24
Berdasarkan aspek biokimia dan serologi, Shigella
spp di bagi atas dari 4 spesies, yaitu S.dysenteriae
(serogroup A), S.flexneri (serogroup B), S.boydii
Alamat korespondensi:
Dr. Atan B Sinuhaji, SpA.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RS HAM Jalan Bunga Lau No.
17 Medan.
Telepon: (061) 8361721, Fax : (061) 8361721
dr. Selvi Nafianti PPDS IKA FK-USU/RSHAM, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak, Medan.
40
Sari Pediatri, Vol. 7, No. 1, Juni 2005
(serogroup C), dan S.sonnei (serogroup D).
19,25,26
Dari
keempat spesies tersebut, S.dysenteriae serotipe 1
(diketahui sebagai Shiga bacillus) dapat menyebabkan
penyakit yang berat dan dapat menyebar cepat
sehingga terjadi epidemi.
11,18,23
Penyebaran masing-
masing spesies ini sangat bervariasi di seluruh dunia;
sebagai contoh di Amerika Serikat, shigellosis lebih
sering disebabkan oleh S.sonnei (60-80%) dan S.flexneri
15,19
Untuk membiakkan shigella diperlukan media
pembiakan khusus seperti Mac Conkey, Shigella
Salmonella (SS) agar, atau xylose lysine deoxycholate
(XLD).
14,19,21
Pembiakan ini sulit dilakukan di negara
berkembang karena fasilitas laboratorium yang tidak
memadai di samping membutuhkan waktu beberapa
hari, dan shigella mempunyai batas waktu hidup di
luar tubuh manusia.
22
Tata laksana shigelosis sama dengan tata laksana
diare pada umumnya, walaupun WHO (pada akhir
tahun 1970 dan awal 1980) merekomendasikan
trimetoprim sulfametoksazol sebagai pilihan utama
Trimetoprim Sulfametoksazol sampai sekarang masih
digunakan karena mudah didapat, harganya murah,
aman untuk anak, dan tersedia dalam kemasan oral.
Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa pemberian
antimikroba dapat mengurangi morbiditas, me-
ngurangi lama sakit, penyebaran organisme, dan
mencegah komplikasi sekunder, dan menurunkan
angka kematian.
27
Diare disentri yang disebabkan S.sonnei dan
S.flexneri pada umumnya ringan dan sembuh sendiri,
sehingga terapi suportif dan simtomatis lebih
diutamakan.
28
Kehilangan cairan pada shigelosis tidak
sehebat diare sekretori sehingga dehidrasi yang terjadi
ringan dan dapat diatasi dengan pemberian cairan
rehidrasi oral. Pemberian antimikroba disesuaikan
dengan pola resistensi shigela di daerah tersebut karena
beberapa penelitian melaporkan telah terjadi resistensi
trimetoprim sulfametoksazol pada shigellosis. Laporan
mengenai resistensi trimetoprim-sulfametoksazol
dijumpai di Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan Eropa.
23
Terjadinya resistensi akan meningkatkan risiko epidemi
shigelosis, tidak terkecuali di Indonesia.
29
Patogenesis
Shigella termasuk dalam family Enterobacteriacae, gram
negatif berbentuk batang, tidak bergerak, tidak
berkapsul,
16,17
dan lebih tahan asam dibanding
enteropatogen lain.
19,20,26
Shigella mampu menginvasi
permukaan sel epitel kolon, jarang menembus sampai
melewati mukosa, sehingga tidak ditemukan pada
biakan darah walaupun ada gejala hiperpireksia dan
toksemia.
13,22,24
Setelah menginvasi enterosit kolon,
terjadilah perubahan permukaan mikrovili dari brush
border yang menyebabkan pembentukan vesikel pada
membran mukosa. Selanjutnya dapat menghancurkan
vakuola fagositik intraselular, memasuki sitoplasma
untuk memperbanyak diri dan menginvasi sel yang
berdekatan. Kemampuan menginvasi sel epitel ini
dihubungkan dengan adanya plasmid besar (120-140
Mdal)
22,25
yang mampu mengenali bagian luar
membran protein seperti plasmid antigen invasions
(Ipa).
22
Sel epitel akan mati dan terjadi ulserasi serta
inflamasi mukosa. Dari bagian yang mengalami
inflamasi tersebut shigella menghasilkan ekso-toksin
yang berdasarkan cara kerja toksin dikelompokkan
menjadi neurotoksik, enterotoksik, dan sitotoksik.
Toksin yang terbentuk inilah yang menimbulkan
berbagai gejala shigellosis, seperti demam, malaise, dan
nyeri otot.
15,17,21,24
Shigella dysenteriae tipe 1 menghasilkan suatu
sitotoksin protein poten yang dikenal dengan toksin
Shiga yang terdiri dari dua struktur sub unit, yaitu
22
1. Subunit fungsional. Pada sitoplasma subunit
fungsional akan mengkatalisasi dan menghidrolisis
RNA 28S dari subunit 60S ribosom, sehingga
menyebabkan hambatan pada sintesis protein yang
bersifat permanen sehingga mengakibatkan
kematian sel.
2. Sub unit pengikat. Bagian sub unit pengikat
merupakan suatu glikolipid Gb
3
(globotriaosilseramid)
yang berfungsi untuk mengikat reseptor seluler
spesifik. Pengikatan ini akan diikuti oleh
pengaktifan mediator reseptor endositosis dari
toksin yang dihasilkan.
Shiga toksin dapat menyebabkan terjadinya
sindrom hemolitik uremik dan trombotik trombo-
sitopenik purpura. Kejadian tersebut sering di-
hubungkan dengan reaksi silang akibat infeksi serotipe
E.coli yang juga dapat menghasilkan toksin yang mirip
dengan toksin Shiga. Mekanisme dari efek pato-
genisitas ini mungkin melibatkan suatu toksin pengikat
sel endotel (binding toxin endothelial cell), yang dapat
menyebabkan mikroangiopati hemolisis dan lesi pada
glomerulus.
22
41
Sari Pediatri, Vol. 7, No. 1, Juni 2005
Mekanisme kerja trimetoprim–
sulfametoksazol pada infeksi shigella
Kedua obat ini merupakan kombinasi yang bersifat
sinergistik dengan mekanisme kerja, trimetoprim
memblok produksi asam tetrahidrofolat dari asam
dihidrofolat dengan cara menghambat enzim dihidro-
folat reduktase bakteri. Sedangkan sulfametoksazol
mencegah sintesis asam dihidrofolat, sehingga bakteri
bersaing dengan asam para amino benzoat (PABA).
Kombinasi ini akan memblok dua langkah yang
berhubungan dengan biosintesis asam nukleat dan
protein essensial pada banyak bakteri.
29-32
Trimetoprim sulfametoksazol merupakan obat
pilihan utama yang digunakan pada shigellosis, bekerja
dengan menghambat sintesis asam folat. Koenzim asam
folat merupakan suatu senyawa yang diperlukan untuk
sintesis purin dan pirimidin (prekursor DNA dan
RNA) dan senyawa-senyawa ini diperlukan untuk
pertumbuhan selular dan replikasi sel bakteri. Jika asam
folat ini tidak ada maka sel dalam bakteri tidak dapat
tumbuh atau membelah.
29,30
Mekanisme terjadinya resistensi
A. Mekanisme resistensi antimikroba secara umum
Terdapat empat alur mekanisme dasar terjadinya
resistensi secara biokimia, sehingga mengurangi
daya bunuh dan efektifitas antimikroba
33-38
1.
Perubahan molekul target reseptor anti-
mikroba pada bakteri. Dengan mempe-
ngaruhi molekul reseptor target, antimikroba
tidak akan dapat mengikat reseptor target
sehingga tidak anti mikroba tidak dapat
menginvasi bakteri.
2.
Penurunan kemampuan antimikroba pada
target dengan mempengaruhi masuknya
antimikroba ke dalam sel atau peningkatan
pengeluaran antimikroba dari sel. Contoh
pada mekanisme ini adalah resistensi tetra-
siklin, resistensi terjadi melalui mediator
plasmid.
3.
Destruksi atau inaktivasi antimikroba.
Terjadinya mekanisme resistensi jalur ini
disebabkan oleh produksi berlebihan suatu
enzim yang dapat menginaktivasi anti-
mikroba. Contoh yang sangat populer adalah
resistensi beta-laktamase dan resistensi
kloramfenikol.
4.
Bakteri menghasilkan jalur metabolik baru.
Bakteri bisa menghasilkan enzim baru yang
tidak dapat dihambat oleh antimikroba.
B. Mekanisme resistensi trimetoprin – sufametoksazol
terhadap shigella
Mikro-organisme
Manusia dan
mikro-organisme
2 NADPH
+ 2 H
+
2 NADP
+
H
2
N
COOH
Dihidro
pteroat
sintetase
Dihidro
folat
reduktase
Biosintesis
asam
amino
Prekusor pteridin + p-asam aminobenzoa
(PABA)
asam folat
asam
tetra-
hidrofolat
Sulfanilamid
(sulfonamide lain)
Trimetoprim
Θ
Θ
Sintesis
purin
Sintesis
pirimidin
Gambar 1.
Inhibisi sintesis tetrahidrofolat oleh sulfonamide dan trimetoprim.
30
42
Sari Pediatri, Vol. 7, No. 1, Juni 2005
Terdapat berbagai laporan yang menyatakan
resistensi antimikroba terhadap shigella dapat
dipindahkan dari shigella ke E.coli dan sebaliknya
melalui konjugasi.
34,36
Resistensi dan virulensi shigella terhadap
antimikroba dipengaruhi oleh,
22,33,35,37
•
Plasmid. Ada tidaknya plasmid mempe-
ngaruhi virulensi bakteri, karena plasmid
berperan dalam mengenali sel epitel. Shigella
yang tidak mempunyai plasmid menjadi tidak
virulen.
•
Aktin. Mutasi aktin intraselular (IcsA) akan
menurunkan virulensi bakteri karena terjadi
penurunan kemampuan bakteri untuk ber-
pindah dan berkembang dalam intraselular.
•
Kemampuan shigella menempati epitel.
Shigella merupakan bakteri yang berdiam
dalam lapisan epitel dan mampu melindungi
diri dari kontak dengan lingkungan ekstra-
selular dan tidak pernah menembus mukosa
menjadi suatu infeksi sistemik. Sifat ini
menyebabkan shigella sulit diobati dan sering
menimbulkan resistensi
Then dkk
38
membagi mekanisme resistensi
sulfametoksazol menjadi dua bagian yaitu mekanisme
intrinsik dan didapat. Penulis lain menjelaskan
beberapa teori terjadinya resistensi shigella terhadap
kombinasi sulfametoksazol-trimetoprim dan meng-
hubungkannya dengan hal-hal seperti yang tertera
berikut ini.
22,29,33,36-38
1. Pembentukan enzim dihidrofolate sintetase (DHPS)
dan dihidrofolate reduktase (DHFR) baru. Shigella
dapat menghasilkan enzim dihidrofolate reduktase
(DHFR) dan enzim dihidrofolate sintetase (DHPS)
baru, sehingga kombinasi sulfametoksazol-
trimetoprim tidak dapat menginhibisi sintesis asam
nukleat dan asam folat pada shigella. Kemampuan
shigella untuk membentuk enzim baru tersebut
tergantung dari ada tidaknya plasmid pada shigella
tersebut.
2. Faktor R (faktor resistensi). Pengaruh faktor R
terhadap terjadinya resistensi mulai dikenal sejak
tahun 1972. Diduga dengan adanya faktor R, tidak
dapat terjadi perubahan atau pertukaran kro-
mosom DNA bakteri pada saat terjadinya transfer
resistensi obat dari bakteri patogen lain. Faktor R
diketahui dapat dipindahkan ke bakteri patogen
yang lain dan pemindahan faktor R ini di-
hubungkan dengan adanya plasmid R pada
shigella. Peningkatan kecepatan dan kemampuan
shigella untuk memindahkan plasmid R dapat
menyebabkan terjadinya suatu epidemi.
3. Transposos 7 (Tn 7). Transposos berperan terhadap
perubahan urutan asam amino pada bakteri. Tn 7
dapat berpindah dari satu plasmid ke plasmid yang
lain dan melekat erat di atas kromosom bakteri.
Kemampuan Tn 7 untuk mengubah urutan asam
amino mungkin dapat menjelaskan terjadinya
peningkatan kecepatan dan luas penyebaran
resistensi pada bakteri famili Enterobacteriaceae dan
spesies lain. Dikatakan juga bahwa Tn 7 ini dapat
masuk ke dalam kromosom bakteri sehingga
walaupun plasmid sebagai pembawa Tn 7 pada
awalnya telah menghilang, resistensi masih dapat
terjadi melalui perubahan kromosom bakteri.
Dengan perkataan lain dapat disebutkan bahwa
resistensi terjadi akibat adanya mutasi pada bakteri
yang disebabkan adanya Tn 7.
Sampai saat ini masih banyak penelitian sedang
berlangsung. Teori mekanime resistensi trimetoprim-
sulfametoksazol yang paling banyak dianut adalah teori
pembentukan enzim baru seperti enzim DHFR dan
DHPS yang tidak dapat diinhibisi oleh obat.
34-38
Antimikroba alternatif pada shigellosis
Jika terjadi resistensi, maka dapat diberikan anti-
mikroba lain yang masih sensitif seperti asam
nalidiksat, pivmesillinam. ICCDR-B, menganjurkan
pemberian beberapa antimikroba pilihan untuk
pengobatan shigellosis, seperti asam nalidiksat,
pivmesillinam, seftriakson, sifrofloksasin, dan
norfloksasin.
Pencegahan terjadinya resistensi antimikroba
Resistensi antimikroba merupakan masalah besar
dalam bidang kedokteran, yang dapat dicegah.
Minimal resistensi tidak terjadi dalam waktu yang lebih
cepat dari perkiraan. Terdapat beberapa hal yang harus
menjadi perhatian, antara lain tidak mempergunakan
antimikroba dalam tatalaksana diare, pembatasan
penggunaan antimikroba, hanya menggunakan
antimikroba yang tepat dan efektif, dan senantiasa
mengembangkan pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran.
43
Sari Pediatri, Vol. 7, No. 1, Juni 2005
Kesimpulan
Telah dilaporkan mengenai mekanisme resistensi
kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol pada
shigellosis. Mekanisme terjadinya resistensi yang paling
banyak dianut adalah teori pembentukan enzim baru
oleh shigella. Trimetoprim-sulfametoksazol masih
dapat dipergunakan pada daerah yang masih sensitif.
Pencegahan terjadinya resistensi ini dapat dilakukan
jika mekanisme dan faktor penyebab terjadinya
resistensi diketahui dengan baik.
Daftar Pustaka
1.
Noerasid H, Suraatmadja S, Asnil PO. Gastroenteritis
(Diare) Akut. Dalam: Suharyono, Boediarso A, Halimun
EM, penyunting. Gastroenterologi Anak Praktis. Edisi
ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1994. h.51.
2.
Ghishan FK. Chronic Diarrhea. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson text-
book of pediatrics. Edisi ke-16. Philadephia:
WB.Saunders; 2001. h. 1171-9.
3.
The John Hopkins and IFRC Public Health Guide for
Emergencies. Didapat dari: URL: http://www.ifrc.org/
docs/pubs/health/chapter.
4.
Dirjen PPM & PLP. Buku ajar diare. DepKes RI 1999;
h.89-93.
5.
Dirjen PPM & PLP. Tatalaksana kasus diare bermasalah.
Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia.
Jakarta 1999
6.
Diarrhoeal disease. Didapat dari: URL: http://
www.mcevoy.demon.co.uk/medicine.
7.
Lichnevski M. Shigella Dysentery and Shigella infec-
tions. Vol.2. Issue 1, 1996, h. 102-4. Didapat dari:
URL: http://www.emro.who.int/publications/emjh/0201/
14.htm.
8.
Ismail R. Diare bermasalah Shigellosis. Dalam:
Kumpulan Makalah. Kongres Nasional II Badan
Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. Bandung
3 – 5 Juli. h. 55-77.
9.
Iwalokun BA, Gbenle GO, Smith SI, Ogunledun A,
Akisinde KA, Omonigbehin EA. Epidemiology of
Shigellosis in Lagos, Nigeria: Trends in antimicrobial
resistance. J Health Popul Nutr 2001; 19:183-90.
10. Shigellosis. Massachusetts Department of Public Health,
Devision of Epidemiology and Immunization. January
2001. Didapat dari: URL: http://www.state.ma.us/dph/
cdc/gsrman/shigel.PDF
11. Edmundson SA, Edmundson WC. Diarrhoea in India
and Indonesia.Didapat dari: URL: http://www.midcoast.
com.au/edmundsons/c8
12. Agasan A, Reddy S, William G, dkk. High prevalence
of antimicrobial resistance among shigella isolated
to agents commonly used for treatment, NARMS
1999. NARMS Presentations.Didapat dari, URL:
http://www.cdc.gov/narms/pub/presentations/2000/a
agasan. htm.
13. Dupont HL. Shigella Species (bacillary dysentery).
Dalam: Mandell GL, Bennet JE, Dolin R, penyunting.
Principles and Practice of Infectious Diseases. Volume
kedua. Edisi ke-5. New York: Churchil Livingstone;
2000. h. 2363-8.
14. Shigellosis. Dalam: Steele RW, penyunting. The Clini-
cal Handbook of Pediatric Infectious Disease. Toppan
company. h. 209-12
15. Dalam: Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD,
penyunting. Rudolph’s pediatrics. Edisi ke-20. Stamford:
Appleton & Lange; 1996. h. 596-8.
16. Gomez HF, Cleary TG. Shigella. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Text-
book of Pediatrics. Edisi ke-16. Pjiladelphia: WB
Saunders; 2001. h. 848-50.
17. Lebenthal E, penyunting. Textbook of gastroenterology
and nutrition in infancy. Edisi ke-2. New York: Raven
Press; 1989. h. 1127-8.
18. Subekti D, Oyofo BA, Tjaniadi P. Shigella spp. surveil-
lance in Indonesia: the emergence or reemergence of S.
dysenteriae. Emerging Infectious Diseases; 2001. h. 137-
40.
19. Krugman S, Katz SL, Gershon AA, Wilfert CM. Infec-
tious disease of children. Edisi ke-9. St.Louis: Mosby
Year Book; 1992. h. 109-19.
20. Levine MM. Shigellosis. Dalam: Strickland GT. Hunter’s
Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases.
Edisi ke-8. Philadelphia: W.B Saunders Company; 2000.
h. 319-23.
21. Behrman RE, Kliegman RM. Nelson essentials of pedi-
atrics. Edisi ke-2. Philadelphia: WB Saunders; 1994. h.
347-8.
22. Sack DA, Lyke C, Laughlin CM, Suwanvanichkij V. An-
timicrobial resistance in shigellosis, cholera and
campylobacteriosis. Didapat dari: URL: http://
www.who.int/emc-documents/antimicrobial resistance/docs/
shigellosis.pdf
23. Lima AAM, Lima NL, Pinho MCN. High frequency of
strain multiply resistant to ampicillin, trimetoprim -
sulfametoksazol, streptomycin, Subject: chloramphenicol,
44
Sari Pediatri, Vol. 7, No. 1, Juni 2005
and metracycline isolated from patient with shigellosis in
Northeastern Brazil during the period 1988 to 1993. An-
timicrobial Agents and Chemotherapy 1995: 256-9.
24. Shigellosis (bacillary dysentery). Dalam: Hay WW,
Groothuis JR, Hayward AR, Levin MJ, penyunting. Cur-
rent pediatric diagnosis & treatment. Edisi ke -13. Stam-
ford: Appleton & Lange; 1997. h. 1033-4
25. Guerrant RL, Lima AAM. Inflammatory Enteritides.
Dalam: Mandell GL, Bennet JE, Dolin R, penyunting.
Principles and Practice of Infectious Diseases. Bagian
pertama. Edisi ke-5. New york: Churchill Livingstone;
2000. h. 1126-31.
26. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA, dkk. Medical mi-
crobiology. Edisi ke-20. Stamford: Appleton & Lange;
1995. h. 212-4.
27. Salam MA,Bennish ML. Antimicrobial Therapy for
Shigellosis. Dhaka Treatment Center, 1991; 332 – 41
28. Shigella. Didapat dari: URL: http://www.surrey.ac.uk/SBS/
ACADEMICS_homepage
29. Levinson W, Jawetz E. Medical microbiology & immu-
nology. Edisi ke-4. Stamford: Appleton & Lange; 1996.
h. 52-9.
30. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC, Fisher BD.
Farmakologi. Ulasan bergambar. Edisi ke-2, edisi
Bahasa Indonesia. Philadelphia: Lippincotts Raven;
1997. h. 292-9.
31. Zinner SH, Mayer KH. Sulfonamides and trimethoprim.
Dalam: Mandell GL, Bennet JE, penyunting. Dolin R.
Principles and practice of infectious disease. Edisi ke-5.
Bagian pertama. New York: Churchill Livingstone; 2000.
h. 394-401.
32. Hill MG. Goodman & Gilman’s the pharmacological
basis of therapeutics. Edisi ke-9. New York: McGraw-
Hill Co; 1996. h. 1063-5.
33. Understanding the biology of antimicrobial resistance.
Didapat dari. URL: http://www.aphis.usda.gov/vs/ceah/cei/
antiresist. biology.
34. Antimicrobial resistance: Implications for therapy of in-
fections with common childhood pathogens. Paediat-
rics & Child Health 1996; 51-5.
35. Hawkey PM. The origins and molecular basis of antibi-
otic resistance. BMJ, 1998;657-1.
36. Huovinen P, Sundtrom L, Swedberg G, Skold O.
Trimethoprim and sulfonamide resistance. Antimicro-
bial Agents and Chemotherapy 1995;279-89
37. Dever LA, Dermody TS. Mechanisms of bacterial resis-
tance to antibiotics.. Arch Intern Med 1991; 886-95.
38. Then RL. Mechanisms of resistance to trimethoprim,
the sulfonamides, and trimethoprim-sulfamethoxazole.
Reviews of Infectious Diseases 1982; 261-9
Dostları ilə paylaş: |