A. Kondisi Umum a pencapaian Tahun 2006 dan Perkiraan Tahun 2007


A.2. Masalah dan Tantangan Pokok Tahun 2008



Yüklə 251,42 Kb.
səhifə2/6
tarix14.04.2017
ölçüsü251,42 Kb.
#14152
1   2   3   4   5   6

A.2. Masalah dan Tantangan Pokok Tahun 2008
Dengan berbagai kemajuan yang dicapai pada tahun 2006 dan perkiraan pada tahun 2007, masalah dan tantangan utama yang harus dipecahkan dan dihadapi pada tahun 2008 adalah sebagai berikut.
Menurunkan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Meskipun pertumbuhan ekonomi sudah dapat ditingkatkan menjadi rata-rata 5,6 persen per tahun dua tahun terakhir, namun pengurangan kemiskinan belum merata di seluruh daerah. Pada bulan Juli 2007, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan sebanyak 37,17 juta jiwa orang miskin atau sekitar 16,58 persen.
Masalah pokok yang dihadapi dalam upaya mengurangi jumlah penduduk miskin antara lain sebagai berikut. Pertama, pemerataan pembangunan belum menyebar secara merata terutama di daerah perdesaan. Penduduk miskin di daerah perdesaan pada tahun 2007 lebih tinggi dari penduduk miskin di daerah perkotaan. Kesempatan berusaha di daerah perdesaan dan perkotaan belum dapat mendorong penciptaan pendapatan bagi masyarakat terutama bagi rumah tangga miskin. Pengangguran terbuka di daerah perdesaan masih lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah perkotaan menyebabkan kurangnya sumber pendapatan bagi masyarakat miskin terutama di daerah perdesaan. Sementara itu masyarakat miskin yang banyak menggantungkan hidupnya pada usaha mikro masih mengalami keterbatasan dalam memperoleh akses permodalan dan sangat rendah produktivitasnya.
Kedua, kemampuan masyarakat miskin untuk menjangkau pelayanan masih terbatas dan fasilitas dasar seperti pendidikan, kesehatan, air minum dan sanitasi, serta transportasi masih terbatas. Gizi buruk masih terjadi di lapisan masyarakat miskin. Hal ini disebabkan terutama oleh cakupan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin yang belum memadai. Bantuan sosial kepada masyarakat miskin, pelayanan bantuan kepada masyarakat rentan (seperti penyandang cacat, lanjut usia, dan yatim-piatu), dan cakupan jaminan sosial bagi rumah tangga miskin masih jauh dari memadai. Prasarana dan sarana transportasi di daerah terisolir masih kurang mencukupi untuk mendukung penciptaan kegiatan ekonomi produktif bagi masyarakat miskin. Keseluruhan masalah ini akan ditangani secara sungguh-sungguh dalam tahun 2008 dengan program-program pembangunan yang lebih terintegrasi.
Ketiga, harga bahan kebutuhan pokok terutama beras cenderung berfluktuasi sehingga mempengaruhi daya beli masyarakat miskin. Hal ini disebabkan terutama oleh kemampuan produksi beras belum dapat menjamin permintaan beras secara nasional. Sementara itu, kebutuhan pokok selain beras terutama yang bersifat substitusi beras maupun komplemen beras juga belum dapat dipenuhi sepenuhnya oleh produksi dalam negeri. Produksi komoditas tersebut akan terus ditingkatkan untuk menjamin stabilitas harga bahan kebutuhan pokok terutama beras.
Dalam kaitan itu, percepatan pengurangan kemiskinan pada tahun 2008 dititikberatkan pada upaya menjaga stabilitas harga bahan kebutuhan pokok; mengembangkan kegiatan ekonomi yang berpihak pada rakyat miskin; menyempurnakan dan memperluas cakupan program pembangunan berbasis masyarakat; meningkatkan akses masyarakat miskin kepada pelayanan dasar terutama pada daerah tertinggal dan terisolasi; serta membangun dan menyempurnakan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin. Pendekatan utama yang digunakan adalah melindungi rumah tangga miskin khususnya yang sangat miskin serta meningkatkan keberdayaan rumah tangga miskin dalam satu kelembagaan kelompok masyarakat miskin pada tingkat lokal. Masyarakat miskin didorong untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan secara kolektif, berbasis masyarakat, serta memberikan manfaat bagi peningkatan pendapatan rumah tangga miskin. Dalam kaitan itu, kapasitas pemerintahan dan pendampingan langsung kepada masyarakat akan ditingkatkan sehingga mampu mendorong kepercayaan diri kelompok masyarakat miskin dalam menanggulangi permasalahannya.
Memperluas penciptaan lapangan kerja. Meskipun pada tahun 2007 diperkirakan tercipta sebanyak 2,1 juta kesempatan kerja baru, angka pengangguran terbuka masih tetap tinggi yaitu 9,9 persen atau 10,7 juta orang. Selain itu, lapangan kerja formal pada bulan Februari 2007 masih terbatas yaitu hanya sekitar 29,7 juta atau 30,5 persen dari total lapangan kerja. Rendahnya kualitas dan kompetensi tenaga kerja Indonesia, tingginya angka penganggur usia muda, serta masih terdapatnya beberapa jenis pekerjaan yang tidak dapat dipenuhi oleh tenaga kerja merupakan masalah-masalah yang akan ditangani. Demikian juga kualitas pelayanan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri akan diperbaiki. Keterbatasan sarana, dan prasarana, serta kemampuan sumberdaya manusia yang dimiliki oleh balai-balai pelatihan kerja, belum adanya standar kompetensi kerja nasional di berbagai bidang profesi, tidak tersedianya aturan baku tentang sertifikasi kompetensi, serta terbatasnya pengakuan sertifikat kompetensi tenaga kerja – termasuk yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) – oleh dunia usaha di dalam dan di luar negeri merupakan kendala-kendala yang akan diatasi dalam upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia.
Dengan perluasan di atas, tantangan dalam memperluas kesempatan kerja adalah sebagai berikut. Pertama, menciptakan lapangan kerja formal seluas-luasnya. Penciptaan lapangan kerja formal mendapat perhatian penting karena lebih produktif dan mampu memberikan jaminan kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan dengan lapangan kerja informal. Kedua, mendorong perpindahan pekerja dari pekerjaan yang memiliki produktivitas rendah ke pekerjaan yang memiliki produktivitas tinggi dengan meningkatkan kualitas dan kompetensi pekerja. Rendahnya pendidikan, dan keterampilan, sebagai besar tenaga kerja menyebabkan terbatasnya kapasitas dan produktivitas sumberdaya manusia Indonesia sehingga banyak dari tenaga kerja hanya mampu bekerja dengan produktivitas rendah. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan para pekerja yang bekerja di lapangan kerja informal. Dengan terbatasnya lapangan kerja formal yang tersedia, tidak semua pekerja dapat bekerja atau berpindah ke lapangan kerja formal. Pekerja di kegiatan informal ditingkatkan kesejahteraannya agar kesenjangan pendapatan antara pekerja formal dan informal tidak terlalu besar.
Meningkatkan ketahanan pangan dan produktivitas pertanian dalam arti luas. Ketersediaan pangan dalam negeri dan akses pangan rumah tangga masih perlu ditingkatkan. Produksi padi tahun 2006 meningkat 0,5 persen dibanding tahun 2005 dan pada tahun 2007 dan 2008 masih perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus meningkat. Demikian juga akses pangan bagi rumah tangga miskin masih perlu ditingkatkan agar rawan pangan di tingkat rumah tangga menurun. Dengan permasalahan pokok tersebut, penguatan kemampuan produksi pangan dalam negeri; perbaikan sistem distribusi dan tataniaga pangan; pengembangan sistem insentif yang mampu mempertahankan lahan-lahan produktif produksi bahan pangan; serta perbaikan diversifikasi pola konsumsi pangan masyarakat merupakan tantangan utama yang harus dihadapi untuk meningkatkan ketahanan pangan.
Produktivitas pertanian dan mutu produk pertanian dalam arti luas relatif masih rendah. Pertumbuhan produksi komoditi pertanian penting selain padi seperti jagung, sayuran, buah-buahan dan daging serta komoditas perkebunan akan ditingkatkan. Produksi bahan baku untuk bahan bakar nabati (BBN) sangat besar potensinya dan akan ditingkatkan pemanfaatannya. Meskipun produksi perikanan budidaya dan perikanan tangkap meningkat, namun potensi yang belum dimanfaatkan masih cukup besar. Produksi hasil hutan tanaman industri dan non kayu perlu ditingkatkan untuk mendukung berkembangnya industri hasil hutan. Masalah-masalah ini akan diatasi guna meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan dengan mendorong akses rumah tangga pertanian terhadap sumber daya produktif; meningkatkan penguasaan dan penerapan teknologi; melanjutkan upaya revitalisasi penyuluhan pertanian; serta mengembangkan sistem agribisnis di perdesaan.
Meningkatkan investasi dan daya saing ekspor. Meskipun pertumbuhan ekonomi menunjukkan peningkatan yang berarti pada semester II/2006, dukungan investasi bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan perlu diperkokoh. Pembentukan modal tetap bruto dalam tahun 2006 tumbuh sebesar 2,9 persen; lebih rendah dari tahun 2004 dan tahun 2005 yang berturut-turut tumbuh 14,7 persen dan 10,8 persen. Realisasi Izin Usaha Tetap bagi kegiatan penanaman modal pada tahun 2006 juga lebih rendah dibandingkan tahun 2005 meskipun rencana investasi terutama yang berasal dari dalam negeri mengalami kenaikan yang tinggi.

Demikian juga industri pengolahan nonmigas masih tumbuh di bawah potensinya. Dalam tahun 2005 dan 2006, industri pengolahan nonmigas tumbuh berturut-turut sebesar 5,9 persen dan 5,3 persen; di bawah sasaran RPJMN yang rata-rata diupayakan tumbuh 8,6 persen per tahun. Dalam pada itu, penerimaan ekspor, meskipun pada tahun 2006 meningkat sebesar 17,5 persen; kenaikannya lebih didorong oleh peningkatan harga komoditi di pasar internasional terutama untuk komoditi pertambangan. Kemampuan produksi di dalam negeri belum secara maksimal dapat memenuhi permintaan eksternal yang tinggi. Potensi pariwisata Indonesia juga belum dimanfaatkan secara maksimal antara lain karena kekuatiran terhadap keamanan, bencana alam, dan flu burung. Dalam tahun 2006, jumlah wisatawan mancanegara hanya mencapai 4,9 juta orang atau turun 2,6 persen dari tahun 2005. Sementara itu perolehan devisa pada tahun 2006 sebesar USD 4,5 miliar atau 1,6 persen lebih rendah dibandingkan tahun 2005.


Dalam tahun 2008, upaya untuk meningkatkan investasi, mendorong industri pengolahan nonmigas, meningkatkan penerimaan ekspor termasuk dari jasa pariwisata akan ditingkatkan secara sungguh-sungguh. Tantangan ini semakin besar dengan kemungkinan melambatnya perekonomian dunia dan meningkatnya persaingan antar negara baik dalam menarik investasi maupun mempertahankan pangsa pasar ekspornya di luar negeri. Perbaikan iklim investasi dan peningkatan daya saing ekspor akan ditangani dengan mengurangi hambatan perijinan, administrasi perpajakan dan kepabeanan, serta meningkatkan kepastian hukum dan keserasian peraturan pusat dan daerah. Daya saing ekspor nonmigas juga akan didorong terutama untuk komoditi yang bernilai tambah tinggi serta diversifikasi pasar ekspor. Adapun peningkatan pariwisata akan didorong dengan lebih mengembangkan pemasaran pariwisata, mengembangkan destinasi pariwisata, serta mendorong kemitraan pariwisata.
Perhatian juga diberikan pada investasi eksplorasi pertambangan. Walaupun mengalami perbaikan dalam dua tahun terakhir, investasi pertambangan akan ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan mineral yang semakin besar. Pada tahun 2006, nilai investasi di sektor pertambangan mencapai USD 14,3 miliar. Sebagian besar dari investasi tersebut berupa investasi di sektor hulu minyak dan gas yang mencapai hampir 88 persen. Sementara itu, investasi pertambangan umum baru mencapai USD 1,3 miliar.
Kegiatan eksplorasi pertambangan pada tahun 2008 terus dikembangkan guna menemukan cadangan baru, melalui peningkatan promosi investasi wilayah kerja pertambangan dan peningkatan survei seismik, pemboran eksplorasi, dan pemboran pengembangan. Disamping itu, akan terus dipertahankan suasana yang kondusif dan menarik untuk investasi eksplorasi. Jaminan kepada investor nasional dan asing berupa security of tenure serta kendali atas pengelolaan pertambangan secara penuh akan terus dipertahankan. Sedangkan untuk pengembangan sumber-sumber mineral dari daerah laut dalam, yang memerlukan pembiayaan, risiko komersial, dan teknologi yang tinggi, diberikan insentif tambahan. Khusus untuk pertambangan umum, hambatan yang dipicu oleh konflik akan dipercepat penyelesaiannya, terutama konflik-konflik yang seringkali ditemui investor yang berkaitan dengan tuntutan pemerintah daerah/masyarakat untuk menciutkan wilayah perjanjian penambangan serta gangguan PETI.
Meningkatkan produksi minyak bumi dan diversifikasi energi. Menurunnya produksi minyak bumi disebabkan terutama oleh menurunnya produktivitas ladang-ladang minyak yang saat ini tengah berproduksi (depletion) disamping belum optimalnya pengembangan lapangan-lapangan baru, terutama di kawasan marjinal. Penurunan produksi saat ini adalah sekitar 5 sampai 11 persen per tahun. Belum dikembangkannya lapangan minyak baru disebabkan oleh terbatasnya data bawah permukaan untuk pembukaan wilayah kerja baru, serta tumpang tindih lahan antara lain dengan kawasan/wilayah hutan lindung. Guna meningkatkan produksi minyak mentah, perhatian akan diberikan pada pengembangan insentif dan/atau fasilitas kepada pelaku usaha kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi agar dapat memanfaatkan teknologi tinggi dalam memanfaatkan lebih lanjut cadangan yang tersisa, dan dapat dengan segera menyelesaikan kesepakatan kerjasama atau kontrak-kontrak pada pengembangan lapangan minyak yang saat ini siap beroperasi; serta menemukan sumber-sumber cadangan minyak baru dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan pasokan (security of supply) dari minyak bumi di masa mendatang.
Diversifikasi (penganekaragaman) energi, termasuk pemanfaatan gas bumi akan lebih didorong untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Saat ini produksi gas bumi dan batubara yang masing-masing mencapai 8-9 ribu MMSCFD (million standard cubic feet per day) dan 140 juta ton (setara dengan 550 juta barel minyak) lebih banyak diekspor daripada dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Untuk gas bumi, lebih dari setengah dari produksi dipasarkan ke luar negeri (Jepang, Korea, dan Taiwan), sedangkan untuk batubara sekitar 70 persen juga diekspor. Selanjutnya sumber-sumber panas bumi yang tersebar di berbagai daerah juga masih belum dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kebutuhan energi dalam negeri, terutama di Sumatera (50 persen dari total potensi nasional) dan Jawa. Sebanyak 18 wilayah kerja pertambangan (WKP) telah diberikan kepada PT. Pertamina dan PT. PLN untuk dikembangkan, namun sejauh ini pengembangannya belum memberikan hasil yang cukup berarti, terutama disebabkan oleh kendala keuangan dari BUMN pemegang WKP tersebut. Pelibatan pihak swasta untuk mengembangkan panas bumi terkendala oleh aturan harga uap yang belum dapat mencerminkan ongkos produksi pengembangan panas bumi. Disamping itu, upaya produksi dan pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) akan didorong sebagai salah satu upaya penting dalam diversifikasi energi.
Dalam pengembangan dan pemanfaatan gas bumi, perhatian akan diberikan pada upaya untuk meningkatkan investasi eksplorasi dan eksploitasi gas bumi mempertahankan kesinambungan pasokan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri; distribusi gas secara lebih merata, efisien dan aman pada konsumen-konsumen, terutama konsumen besar; serta memperbaiki persepsi masyarakat yang lebih positif atas kemanfaatan gas bumi untuk keperluan rumah tangga. Selanjutnya pemanfaatan batubara untuk memenuhi kebutuhan energi nasional juga didorong dengan menyempurnakan sistem distribusi batubara nasional dari daerah penghasil ke daerah yang membutuhkan; mempercepat proses perijinan pengusahaan pertambangan batubara, melalui upaya sinkronisasi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah; memudahkan pemanfaatan dan pendistribusian batubara oleh masyarakat luas, melalui upaya pencairan batubara; serta mitigasi dampak lingkungan dari pemanfaatan batubara. Pengembangan panas bumi ditingkatkan dengan merumuskan formulasi harga yang tepat antara harga jual uap dan harga jual tenaga listrik yang dihasilkannya; memperbaiki distribusi tenaga listrik yang dihasilkan secara lebih efisien; serta menyempurnakan perangkat peraturan yang lebih kondusif dalam upaya peningkatan investasi swasta dalam pengembangan panas bumi. Selanjutnya, pengembangan bahan bakar nabati (BBN) akan didorong dengan mengatasi keterbatasan bahan baku sehingga persaingan penggunaan bahan baku nabati ini, selain untuk energi, dapat dikurangi; serta menciptakan pasar BBN yang luas dan tata niaga BBN yang handal.
MeningkatkaN Kualitas Pendidikan dan Kesehatan. Meskipun terjadi peningkatan, kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat masih lebih rendah bila dibandingkan dengan pencapaian negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina dan masih jauh dari sasaran Millennium Development Goals (MDGs).
Di bidang pendidikan, masalah utama yang dihadapi adalah diperlukannya peningkatan akses, pemerataan, dan kualitas pelayanan pendidikan terutama pada jenjang pendidikan dasar. Meskipun hampir seluruh anak usia 7-12 tahun sudah bersekolah, tetapi masih ada sebagian anak yang tidak bersekolah terutama karena alasan ekonomi atau tinggal di daerah terpencil, yang belum terjangkau oleh layanan pendidikan. Anak usia 13-15 tahun yang seharusnya dapat mengenyam pendidikan paling tidak sampai dengan pendidikan dasar, sebagian tidak dapat bersekolah. Pada saat yang sama kesenjangan partisipasi pendidikan juga masih terjadi terutama antara penduduk miskin dan penduduk kaya. Menurut Susenas 2006, angka partisipasi sekolah (APS) atau persentase penduduk yang mengikuti pendidikan formal penduduk kelompok umur 13-15 tahun yang berasal dari kuantil pertama (kelompok 20 persen termiskin) baru mencapai 74,2 persen, sementara untuk kuantil kelima (kelompok 20 persen terkaya) telah mencapai 92,2 persen. Sementara itu jika dilihat dari tipe wilayah, APS penduduk usia 13-15 tahun di perkotaan sudah mencapai 89,7 persen, sementara di perdesaan baru mencapai 80,3 persen. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap upaya penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Meskipun pemerintah telah menyediakan bantuan operasional sekolah (BOS) yang cukup signifikan untuk jenjang pendidikan dasar, namun masih ditemukan sekolah yang masih menarik berbagai iuran sehingga memberatkan orangtua, terutama bagi keluarga miskin. Studi yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa dengan adanya program BOS, sebanyak 70,3 persen SD/MI dan SMP/MTs telah membebaskan siswa dari segala jenis pungutan. Meskipun demikian besaran dana BOS belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan operasional sekolah, terutama sekolah-sekolah yang berada di daerah perkotaan, sekolah swasta, dan sekolah unggulan.
Kesenjangan partisipasi pendidikan terlihat makin mencolok pada jenjang menengah dan tinggi. Menurut data Susenas 2006, APS penduduk kelompok umur 16-18 tahun untuk kuantil petama baru mencapai 37,9 persen, sementara untuk kuantil lima telah mencapai 68,6 persen. Demikian pula APS penduduk umur 19-24 tahun untuk kuantil pertama baru sebesar 3,45 persen, sedangkan untuk kuantil lima sudah mencapai 25,7 persen. Sementara itu, jika dibedakan menurut tipe wilayah, APS pada penduduk kelompok umur 16-18 tahun yang tinggal di perdesaan dan perkotaan masing-masing adalah 45,0 persen dan 65,5 persen, sedangkan APS penduduk umur 19-24 tahun di kedua tipe wilayah tersebut masing-masing adalah 5,9 persen dan 17,2 persen.
Masalah penting lain yang dihadapi bidang pendidikan adalah berkaitan dengan ketersediaan, kualitas, dan kesejahteraan pendidik. Sebaran pendidik tidak merata dan lebih banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain itu, sebagian besar pendidik masih belum memenuhi kualifikasi akademik S1 atau D4 sebagaimana disyaratkan oleh Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Demikian pula, pemberian tunjangan fungsional, tunjangan profesi, dan tunjangan khusus untuk mendukung kesejahteraan pendidik juga belum sepenuhnya dapat dilaksanakan sesuai dengan amanat undang-undang tersebut. Upaya peningkatan mutu dan kesejahteraan pendidik penting dilakukan agar mereka dapat mengemban tugas dengan baik, sehingga satuan-satuan pendidikan dapat melahirkan lulusan-lulusan yang bermutu. Memasuki era global yang sangat kompetitif diperlukan tenaga-tenaga berpendidikan menengah dan tinggi yang berkualitas secara memadai.
Pembangunan kesehatan dihadapkan pada masalah dan tantangan antara lain: disparitas status kesehatan dan gizi antar tingkat sosial ekonomi, antarkawasan, dan antara perkotaan dan perdesaan; akses terhadap fasilitas kesehatan yang berkualitas belum memadai terutama bagi masyarakat miskin dan yang tinggal di daerah terpencil; jumlah dan penyebaran tenaga kesehatan belum memadai terutama di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan; penyakit infeksi menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menonjol, antara lain ditunjukkan dengan masih tingginya angka kesakitan seperti penyakit demam berdarah dengue (DBD), HIV/AIDS, tuberkulosis paru, malaria, diare, infeksi saluran pernafasan, dan penyakit flu burung; masalah gizi kurang dan gizi buruk terutama pada ibu hamil, bayi, dan balita, serta berbagai masalah gizi utama lain seperti anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium, kurang vitamin A dan kurang zat gizi mikro lainnya; belum optimalnya penyediaan obat dan perbekalan kesehatan, pengawasan obat dan makanan, dan keamanan pangan; serta perilaku hidup sehat yang belum menjadi budaya dalam masyarakat baik karena faktor sosial ekonomi maupun karena kurangnya pengetahuan.
Di bidang keluarga berencana, pertumbuhan penduduk yang diperkirakan terus meningkat; angka total fertility rate (TFR) di beberapa provinsi yang cenderung meningkat; dan jaminan penyediaan alat/obat KB serta pelayanan KB bagi penduduk miskin yang belum optimal merupakan masalah dan tantangan pokok yang tetap harus dihadapi dalam tahun 2008.
Mendorong Peran masyarakat luas dalam penegakan hukum untuk memberantas korupsi serta mempercepat reformasi birokrasi untuk meningkatkan pelayanan masyarakat. Meskipun pemberantasan korupsi terus dilakukan selama ini, namun hal tersebut dinilai masyarakat masih belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu, penegakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi pada tahun 2008 akan terus ditingkatkan dengan mendorong peran serta masyarakat disamping peningkatan kemampuan aparat penegak hukum. Peran masyarakat luas dalam ikut serta melakukan pengawasan secara konsisten dan berkelanjutan terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan juga didorong. Saluran pengaduan masyarakat kepada institusi penegak hukum dalam hal terjadi pelanggaran dan penyelewengan kekuasaan akan dipermudah. Peningkatan peran masyarakat aktif dalam pengawasan juga ditingkatkan dengan memberikan jaminan perlindungan dan memberikan insentif terhadap saksi pelapor dalam kasus korupsi.
Dalam upaya percepatan reformasi birokrasi, tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan komitmen dan dukungan dari para penyelenggara negara untuk mempercepat pelaksanaan reformasi birokrasi di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah secara konsisten dan berkelanjutan. Percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi sangat diperlukan untuk memperkuat basis pembangunan yang berkelanjutan dan mewujudkan tata kepemerintahan yang baik. Langkah ini akan dipercepat untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik yang masih belum sesuai dengan yang diharapkan terutama dalam bidang pertanahan, investasi, perpajakan, dan kepabeanan pengadaan barang dan jasa pemerintah/publik, sistem administrasi kependudukan, dan pengelolaan Samsat. Perhatian besar juga diberikan pada rendahnya gaji PNS dan penerapan sistem remunerasi PNS yang berbasis prestasi kerja, rendahnya kinerja PNS dalam melaksanakan tugas-tugasnya, belum terbangunnya penerapan manajemen di berbagai instansi pemerintah (pusat dan daerah) yang dapat mendorong peningkatan kinerja lembaga dan kinerja pegawai, belum sinerginya pelaksanaan pengawasan antar berbagai instansi terkait yang ditandai dengan tumpang tindihnya pelaksanaan pengawasan dan lemahnya tindak lanjut hasil-hasil pengawasan, serta bertambahnya jumlah komisi/badan quasi birokrasi yang tugas dan fungsinya tumpang tindih dengan birokrasi (kementerian/lembaga).
Meningkatkan rasa aman, kekuatan pertahanan, serta penanganan gangguan dan ancaman terorisme. Rasa aman bagi masyarakat masih belum dapat terwujud seutuhnya. Hal tersebut ditandai dengan kenaikan tingkat kriminalitas (crime rate) yaitu jumlah kejadian kejahatan per 100.000 penduduk, meningkat dari 121 pada tahun 2005 menjadi 128 pada tahun 2006 meskipun pada saat yang sama telah dicapai peningkatan penyelesaian tindak perkara (clearance rate) dari 57,0 persen menjadi 59,5 persen. Sementara itu kemampuan pertahanan nasional belum dapat memberikan efek detterence/penangkal, bahkan belum mampu memenuhi kekuatan dan gelar minimum essential forces baik dalam memberikan fungsi operasi militer maupun operasi militer selain perang. Kekuatan pertahanan nasional di tingkat regional terus mengalami kemerosotan dengan posisi saat ini berada dalam kekuatan nomor 4 di Asia Tenggara, atau sejajar dengan negara yang skala dan kompleksitas ancaman dan gangguannya sangat rendah. Kondisi tersebut diperburuk oleh kesiapan alutsista yang secara rata-rata hanya mencapai 45 persen dari yang dimiliki.
Selanjutnya, tindak kejahatan transnasional di wilayah yurisdiksi laut dan wilayah-wilayah perbatasan masih cukup tinggi seperti narkoba, illegal logging, illegal fishing, penyelundupan manusia atau senjata. Di samping itu, masih adanya beberapa kelompok masyarakat yang memberikan pemahaman sempit terhadap doktrin ideologi, keagamaan dan kurangnya penghargaan terhadap pluralitas menyebabkan konflik yang bernuansa suku, ras, dan agama masih sering mengemuka. Hal tersebut terutama terjadi di daerah-daerah rawan konflik seperti Poso, Palu, Maluku, dan sebagainya. Belum tuntasnya penanganan pelaku dan jaringan terorisme yang beroperasi di Indonesia serta belum meredanya aksi-aksi terorisme skala regional maupun global berpeluang meningkatkan aksi-aksi terorisme di dalam negeri.
Dengan demikian tantangan yang dihadapi untuk memecahkan permasalahan sebagaimana diuraikan di atas adalah: meningkatkan kemampuan pertahanan dan keamanan secara lebih optimal dalam menghadapi ancaman pertahanan dan keamanan termasuk dalam hal memberikan dukungan pencegahan dan penanggulangan terorisme; menangani tindak kejahatan transnasional di wilayah yurisdiksi laut dan wilayah-wilayah perbatasan yang relatif masih cukup tinggi; membina dan meningkatkan pemahaman terhadap doktrin idiologi, keagamaan dan penghargaan pluralitas terhadap kelompok masyarakat yang cenderung radikal; menuntaskan penanganan pelaku dan jaringan terorisme yang beroperasi di Indonesia; dan meningkatkan kerjasama global dalam menangani aksi-aksi terorisme skala regional maupun global.
Meningkatkan penanganan bencana dan pengurangan risiko bencana, dan Peningkatan Penanggulangan Flu Burung. Dalam kaitannya dengan penanganan bencana, yang selama ini masih berorientasi pada penanganan kedaruratan pasca bencana masih sering terjadi keterlambatan penanganan korban bencana dalam tahapan tanggap darurat, serta belum efektifnya penanganan pasca bencana dalam jangka menengah dan panjang secara terprogram melalui kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah pasca bencana. Sehubungan dengan itu, upaya pemulihan pasca bencana yang lebih terencana dan terprogram akan ditingkatkan, sejalan dengan upaya untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan penanganan bencana yang lebih profesional dan dukungan pendanaan penanganan bencana yang lebih memadai.
Selain itu, dengan memperhatikan kejadian bencana yang semakin beragam dan tinggi frekuensinya, maka permasalahan lainnya yang dihadapi adalah belum memadainya perhatian terhadap pentingnya pengurangan risiko bencana, sebagai upaya untuk merubah paradigma penanganan bencana dari sebelumnya berorientasi pada penanganan tanggap darurat dan pemulihan pasca bencana, menjadi berorientasi kepada pencegahan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Sehubungan dengan itu, upaya pencegahan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana akan ditingkatkan, sejalan dengan penguatan kapasitas dan kinerja kelembagaan dalam mengurangi risiko bencana, dengan memperhatikan peningkatan dayaguna rencana tata ruang wilayah dalam mengurangi risiko bencana.

Selanjutnya dalam penanganan wabah flu burung, sosialisasi pencegahan dan penanggulangan wabah pandemi di tingkat daerah dan masyarakat akan ditingkatkan, serta kesiapsiagaan warga masyarakat dalam pencegahan dan menghadapi wabah flu burung akan didorong. Disamping itu, kapasitas dan kinerja kelembagaan dalam menanggulangi wabah flu burung akan ditingkatkan. Upaya penanggulangan flu burung secara terkoordinasi untuk mencegah serangan yang lebih luas akan ditingkatkan karena sifat flu burung yang cepat menular pada hewan dan manusia.


Meningkatkan dukungan infrastruktur bagi pembangunan. Dukungan infrastruktur dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat pada tahun 2008 masih menghadapi masalah dan tantangan antara lain: masih kurang memadainya pelayanan infrastruktur untuk memenuhi pelayanan dasar sesuai standar pelayanan minimal; masih kurang memadainya dukungan infrastruktur dalam upaya peningkatan daya saing sektor riil; serta perlu ditingkatkannya realisasi proyek infrastruktur kerjasama pemerintah dan badan usaha swasta.
Dalam bidang sumber daya air, masalah bencana banjir di wilayah lumbung pangan nasional dan kota-kota besar seperti wilayah Jabodetabek semakin meningkat akibat perubahan tata guna lahan dan degradasi lingkungan serta belum memadainya keandalan prasarana pengendali banjir. Selain itu keandalan prasarana sumber daya air penyedia air baku menurun akibat terjadinya percepatan sedimentasi dan pencemaran sungai oleh limbah padat permukiman. Intensitas abrasi pantai di wilayah pesisir dan pulau-pulau terdepan Nusantara juga meningkat. Kinerja jaringan irigasi juga belum memadai dalam memenuhi kebutuhan air usaha tani terutama untuk pencapaian produksi padi. Dari total jaringan irigasi yang telah terbangun, masih terdapat jaringan irigasi yang belum atau tidak berfungsi karena belum lengkapnya sistem jaringan ketersediaan air, kurang siapnya lahan sawah, tidaksiapnya petani penggarap, serta terjadinya konversi penggunaan lahan. Selain itu, pada jaringan irigasi yang telah berfungsi juga mengalami kerusakan karena kurang optimalnya operasi dan pemeliharaan serta akibat bencana alam.
Pembangunan bidang transportasi masih menghadapi permasalahan: masih terbatasnya tingkat jaminan keselamatan dan keamanan transportasi yang antara lain disebabkan oleh lemahnya regulasi dan kelembagaan, sumber daya manusia (SDM) dan budaya keselamatan, kelaikan prasarana dan sarana, serta manajemen transportasi; rendahnya akses terhadap pelayanan transportasi khususnya untuk masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di kawasan terpencil dan terisolir; rendahnya investasi dunia usaha dalam pembangunan prasarana dan sarana transportasi. Tantangan yang dihadapi pada sektor transportasi adalah: tidak seimbangnya pertumbuhan lalu lintas (kebutuhan jasa angkutan) dengan pertumbuhan investasi sarana dan prasarana transportasi, termasuk SDM penyelenggara jasa angkutan serta masih tingginya tingkat kecelakaan serta pelanggaran ketentuan dan penyelenggaran transportasi; terbatasnya prasarana dan sarana transportasi di kawasan yang terpencil dan terisolir menyebabkan sulitnya akses masyarakat terhadap pelayanan angkutan baik untuk masyarakat miskin maupun masyarakat yang tinggal di kawasan terpencil dan tertinggal; serta adanya undang-undang dan peraturan baik di sektor transportasi maupun investasi yang kurang menarik dunia usaha (swasta) untuk berperan serta dalam pembangunan dan pengoperasian prasarana transportasi.
Pembangunan infrastruktur energi menghadapi masalah pokok antara lain terbatasnya aksesibilitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan energi; tingginya intensitas energi untuk memproduksi per unit PDB; terbatasnya ketersediaan prasarana dan sarana batubara untuk menunjang program percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW; kelangkaan suplai gas bumi untuk memenuhi kebutuhan gas domestik; rendahnya pemanfaatan gas bumi dan batubara untuk kebutuhan domestik; belum optimalnya pemanfaatan energi panas bumi dari potensi yang tersedia; serta pemanfaatan energi terbarukan (renewable) khususnya energi berbasis nabati masih terbatas. Dalam kaitan itu, pembangunan infrastruktur energi di tahun 2008 menghadapi tantangan berupa terbatasnya sistem transportasi pendukung program percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW berbahan bakar batubara; terbatasnya kemampuan pendanaan pemerintah; rendahnya partisipasi koperasi, usaha kecil, dan pemerintah daerah; pertumbuhan kebutuhan energi dan kebutuhan jaminan ketersediaan pasokan energi (security of energy supply); rendahnya aplikasi teknologi dalam pemanfaatan energi; dan perlunya penyempurnaan peraturan perundangan dalam penyediaan infrastruktur energi.
Dalam pada itu, perlunya peningkatan efektivitas penciptaan dan pengawasan penyelenggaraan kompetisi; masih tingginya ketergantungan pembangunan infrastruktur penyiaran terhadap dana pemerintah; tingginya tingkat ketergantungan terhadap teknologi/vendor tertentu; masih tingginya tingkat penggunaan perangkat lunak ilegal; belum terpadunya rencana pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) lintas sektor; dan masih terbatasnya e-literacy masyarakat merupakan masalah-masalah pokok yang dihadapi dalam pembangunan pos dan telematika pada tahun 2008. Tantangan pada tahun 2008 timbul dari cepatnya perkembangan teknologi dan terjadinya konvergensi teknologi telekomunikasi, informatika dan penyiaran, sehingga diperlukan penataan ulang regulasi, kelembagaan dan industri sejalan dengan terjadinya konvergensi teknologi telekomunikasi, informatika dan penyiaran.
Upaya melakukan pembangunan pembangkit listrik dalam bentuk rehabilitasi dan repowering pembangkit yang ada serta pembangunan pembangkit listrik batubara (PLTU) masih belum menunjukkan hasil yang cukup berarti karena persyaratan yang tertuang dalam loan agreement belum dapat dipenuhi dan proses implementasi pembangunannya memakan waktu yang cukup lama serta kendala dalam upaya mencari sumber bahan bakar khususnya pembangkit listrik berbahan bakar gas. Sistem penyaluran listrik baik jaringan transmisi maupun jaringan distribusi juga masih belum memiliki konfigurasi yang optimal karena belum memadainya iklim investasi serta aspek sosial pertanahan yang menjadi kendala utama dalam pengembangan jaringan penyaluran. Untuk pengembangan listrik perdesaan, tarif yang belum mencerminkan nilai keekonomiannya menyebabkan rendahnya jangkauan pelayanan. Hal ini sangat menyulitkan untuk pencapaian target tahunan mengingat dana subsidi yang dialokasikan sangat terbatas. Selanjutnya implementasi dari pembaharuan aspek regulasi pasca pembatalan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, berupa pengembangan kembali struktur dan tata pengelolaan ketenagalistrikan nasional, proses transisi pembaharuannya mengalami perkembangan yang relatif lambat.
Pembangunan perumahan dan permukiman masih dihadapkan pada beberapa masalah pokok antara lain: masih terdapatnya rumah tangga yang belum memiliki hunian yang layak; masih adanya rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan yang layak; serta masih kurangnya dukungan infrastruktur penyediaan air minum dan penyehatan lingkungan untuk mendukung sektor industri, pariwisata dan perdagangan. Dengan permasalahan yang dihadapi, pembangunan perumahan dan permukiman memiliki tantangan untuk: menyediakan hunian yang layak dan terjangkau bagi masyarakat, khususnya masyarakat berpendapatan rendah, meningkatkan kualitas lingkungan permukiman, meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan air minum, air limbah, persampahan dan drainase, serta mencapai ’free open defecation’.

Yüklə 251,42 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©azkurs.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin