Ilustrasi kasus


Bayi berusia Kurang dari 6 Bulan



Yüklə 225,79 Kb.
səhifə3/4
tarix18.04.2017
ölçüsü225,79 Kb.
#14492
1   2   3   4

Bayi berusia Kurang dari 6 Bulan

Malnutrisi pada bayi <6 bulan lebih jarang dibanding pada anak yang lebih tua. Pada usia tersebut, kemungkinan penyebab organik harus dipertimbangkan, sehingga dapat diberikan penanganan yang sesuai. Prinsip dasar tatalaksana gizi buruk dapat diterapkan pada kelompok umur ini. Namunm bayi muda ini kurang mampu mengekskresikan garam dan urea melalui urin, terutama pada cuaca panas. Oleh karena itu, pada fase stabilisasi, urutan pilihan diet adalah:



  • ASI (jika tersedia dalam jumlah cukup)

  • Susu formula bayi (starting formula)

Pada fase rehabilitasi, dapat digunakan F-100 yang diencerkan (tambahkan air pada formula F-100 menjadi 1500 ml, bukan 1000 ml)
Penanganan Kondisi Penyerta

1. Masalah pada mata : penanganan sesuai Tabel 5
Tabel 5. Tatalaksana Masalah Mata pada Gizi Buruk.1



  • Jangan gunakan sediaan berbentuk salep

  • Gunakan kasa penutup mata yang dibasahi dengan larutan garam normal

  • Ganti kasa setiap hari


2. Anemia berat

Transfusi diperlukan jika:



  • Hb< 4 g/dL

  • Hb 4-6 dengan gangguan pernapasan atau tanda gagal jantung

Pada anak gizi buruk, transfusi harus diberikan secara lebih lambat dan dalam volume lebih kecil dibanding anak sehat

  • Berikan transfusi whole blood 10 ml/kg secara lambat selama 3 jam

  • Furosemid 1mg/kgBB saat transfusi dimulai

  • Hentikan pemberian oral maupun NGT selama transfusi

  • Bila terdapat tanda gagal jantung, berikan komponen sel darah merah (packed red cells) 10 ml/kgBB. Anak dengan kwarshiorkor mengalami redistribusi cairan sehingga terjadi penurunan Hb yang nyata dan tidak membutuhkan transfusi.

  • Monitor nadi dan pernapasan setiap 15 menit selama transfusi. Jika terjadi peningkatan (frekuensi napas 5 kali/menit atau nadi 15 kali/menit), perlambat transfusi

  • Jika Hb tetap rendah setelah transfusi, jangan ulangi transfusi dalam 4 hari

  • Hb kurang dari 4 g/dl

  • Hb 4-6 g/dl dan anak mengalami gangguan pernapasan atau tanda gagal jantung

Pada anak gizi buruk, transfusi harus diberikan lebih lambat dan volume lebih kecil dibanding anak sehat.

  • Beri darah utuh (whole blood) 10 ml/kg secara lambat selama 3 jam

  • Furosemide 1 mg/kgBB IV pada saat transfusi dimulai

  • Bila terdapat gejala gagal jantung, berikan komponen sel darah merah (packed red cell) 10 ml/kgBB. Anak dengan kwarshiorkor mengalami redistribusi cairan sehingga terjadi penurunan Hb yang nyata dan tidak membutuhkan transfusi.

  • Hentikan semua pemberian cairan per oral atau NGT selama anak transfusi.

  • Monitor frekuensi nadi dan pernapasan setiap 15 menit selama transfusi. Jika terjadi peningkatan (frekuensi napas 5 kali/menit, atau nadi 15 kali/menit), perlambat transfusi. Jika Hb tetap rendah setelah transfusi, jangan ulangi transfusi dalam 4 hari.

Lesi kulit pada kwarshiorkor

Sering terjadi akibat defisiensi seng (Zn) pada anak dengan kwarshiorkor, dan kulitnya akan membaik secara cepat dengan pemberian suplementasi seng. Sebagai tambahan:



  • Kompres daerah luka dengan larutan kalium permanganat (PK, KMnO4) 0,01% selama 10 menit/hari

  • Bubuhi salep/krim (seng dengan minyak kastor atau tulie gras) pada daera yang kasar, dan bubuhi gentian violet (atau jika tersedia, salep nistatin) pada lesi kulit yang pecah-pecah.

  • Hindari penggunaan popok-sekali-pakai agar daerah perineum tetap kering


Persiapan Pulang

Bila telah tercapai BB/TB >-2 SD (setara dengan >80%) dapat dianggap anak telah sembuh. Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena anak berperawakan pendek. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah.

Berikan contoh kepada orang tua untuk menyiapkan menu dan cara membuat makanan kaya energi serta padat gizi dengan frekuensi makan yang sering; terapi bermain yang terstruktur. Sarankan orang tua untuk melengkapi imunisasi dasar dan ulangan, mengikuti program pemberian vitamin A

Anak yang belum sembuh total, jika dipulangkan akan memiliki risiko tinggi untuk kambuh. Waktu untuk pemuulangan harus mempertimbangkan manfaat dan faktor risiko. Faktor sosial juga harus dipertimbangkan. Anak membutuhkan perawatan lanjutan melalui rawat jalan untuk menyelesaikan fase rehabilitasi serta untuk mencegah kekambuhan. Beberapa pertimbangan agar perawatan di rumah berhasil:



Faktor Anak

  • Sudah menyelesaikan terapi antibiotik

  • Mempunyai nafsu makan baik

  • Menunjukkan kenaikan berat badan yang baik

  • Edema sudah hilang atau setidaknya sudah berkurang

Faktor pengasuh

  • Mempunyai waktu untuk mengasuh anak

  • Memperoleh pelatihan mengenai pemberian makan yang tepat (jenis, jumlah, dan frekuensi)

  • Persiapkan orang tua untuk perawatan di rumah, mencakup:

    • Pemberian makanan seimbang dengan bahan lokal yang terjangkau

    • Pemberian makanan minimal 5 kali sehari termasuk makanan selingan tinggi kalori di antara waktu makan

    • Bantu dan bujuk anak untuk menghabiskan makanannya

    • Beri anak makanan tersendiri/terpisah, sehingga asupan makan anak dapat dicek

    • Beri suplemen mikronutrien dan elektrolit

    • ASI diteruskan sebagai tambahan

Jika anak dipulangkan lebih awal (sebelum sembuh), buatlah rencana untuk tindak lanjut sampai anak sembuh:

  • Hubungi unit rawat jalan, pusat rehabilitasi gizi, klinik kesehatan lokal unutk melakukan supervisi dan pendampingan

  • Anak harus dibimbing secara teratur setiap minggu. Jika ada kegagalan kenaikan berat badan dalam waktu 2 minggu berturut-turut atau terjadi penurunan berat badan, anak harus dirujuk kembali ke rumah sakit.


INFEKSI HIV

Gambaran klinis HIV sangat bervariasi. Beberapa anak yang positif HIV menunjukkan tanda infeksi HIV yang berat pada tahun pertama kehidupannya. Anak positif HIV lainnya mungkin tetap tanpa gejala atau dengan gejala ringan selama lebih dari setahun dan bertahan hidup sampai beberapa tahun. Disebut tersangka HIV apabila ditemukan gejala berikut, yang tidak lazim ditemukan pada anak dengan HIV negatif. Gejala yang menunjukkan kemungkinan infeksi HIV:



  • Infeksi berulang: 3 atau lebih episode infeksi bakteri yang lebih berat (seperti pneumonia, meningitis, sepsis, selulitis) pada 12 bulan terakhir

  • Thrush: eritema pseudomembran putih di langit-langit mulut, gusi dan mukosa pipi. Pasca masa neonatal, ditemukannya thrush tanpa pengobatan antibiotik atau berlangsung lebih dari 30 hari walaupun telah diobati, atau kambuh, atau meluas melebihi bagian lidah- kemungkinan besar merupakan infeksi HIV. Juga khas apabila meluas sampai di bagian belakang kerongkongan (kandidasis esofagus).

  • Parotitis kronik: pembengkakan parotid uni- atau bi-lateral selama > 14 hari, dengan atau tanpa rasa nyeri atau demam

  • Limfadenopati generalisata: teradapat pembesaran kelenjar getah bening pada dan atau lebih daerah ekstra inguinal tanpa penyebab jelas yang mendasarinya

  • Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa adanya infeksi virus yang bersamaan seperti sitomegalovirus

  • Demam yang menetap dan/atau berulang: demam (>380C) berlangsung > 7 hari, atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari

  • Disfungsi neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefal, perkembangan terlambat, hipertonia atau bingung (confusion)

  • Herpes zoster

  • Dermatitis HIV: ruam yang eritematosa dan papular. Ruam kulit yang khas meliputi infeksi jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala dan moluscum contagiosum yang ekstensif.

Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV



  • Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dari telinga dan berlangsung > 14 hari

  • Diare persisten: berlangsung >14 hari

  • Gizi kurang atau gizi buruk

Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV positif:



  • Diduga kuat infeksi HIV jika ditemukan pneumocystis penumonia (PCP), kandidasis esofagus, lumphoid intestitial pneumonia (LIP) atau sarkoma Kaposi. Keadaan ini sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV. Fistula rektovaginal yang didapat pada anak perempuan juga sangat spesifik tetapi jarang.

Tes diagnostik HIV dapat dilakukan dengan metode:



  • Tes antibodi HIV (ELISA)

Tes ini digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV pada anak usia > 18 bulan. Untuk anak berumur < 18 bulan, tes cepat antibodi HIV digunakan untuk mendeteksi bayi yang terpajan HIV dan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak yang tidak mendapat ASI. Untuk anak <18 bulan, semua tes antibodi HIV yang positif harus dipastikan dengan tes virologis sesegera mungkin. Jika tes virologis tidak tersedia, ulangi tes antibodi pada umur 18 bulan.

  • Tes virologis

Tes virologis untuk RNA atau DNA yang spesifik HIV merupakan metode yang paling dipercaya untuk mendiagnosis infeksi HIV pada anak berusia <18 bulan. Sampel darah harus dikirim ke laboratorium khusus yang dapat melakukan tes ini. Jika anak pernah mendapatkan pencegahan dengan Zidovudine selama atau sesudah persalinan, tes virologis tidak dianjurkan sampai 4-8 minggu setelah lahir, karena zidovudine dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan tes. Satu tes virologis positif pada 4-8 minggu setelah lahir sudah cukup untuk membuat diagnosis infeksi pada bayi muda. Jika bayi muda masih mendapat ASI, dan tes virologis RNA positif, perlu diulang 6 minggu setelah anak benar-benar disapih untuk memastikan bahwa anak benar-benar tidak terinfeksi HIV.
Secara imunologis, derajat imunosupresi akibat infeksi HIV dapat dibedakan dari jumlah CD4. Jumlah CD4 absolut dan persentasenya pada balita/bayi sehat tanpa infeksi HIV lebih tinggi dari orang yang dewasa yang tidak terinfeksi, dan akan menurun perlahan menjadi nilai dewasa pada umur 6 tahun. Jumlah absolut CD4 terkait imunosupresi dapat sangat bervariasi nilainya tergantung umur, sedangkan persentase CD4 tidak terlalu bervariasi. Oleh karena itu, pada anak-anak yang lebih muda, pengukuran persentase CD4 lebih dianjurkan daripada jumlah absolut. Derajat imunosupresi berdasarkan jumlah CD4 dapat dilihat pada Tabel 6 .
Tabel 6. Level CD4 untuk Derajat Imunosupresi.3


Berdasarkan gejala klinisnya, tingkat keparahan infeksi HIV pada bayi dan anak dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Stadium Klinis HIV pada Bayi dan Anak Menurut WHO.3

Waktu untuk memulai terapi antiretroviral pada bayi dan anak tergantung dari stadium klinis dan jumlah CD4 seperti terlihat pada Tabel 8. Pada stadium klinis 3, untuk anak usia >12 bulan: ART diberikan kecuali bila ada infeksi TB, LIP, OHL, atau trombositopenia (pemberian bergantung CD4).


Tabel 8. Waktu Mulai Pemberian Terapi ARV pada Bayi dan Anak.3

Regimen lini pertama ARV untuk anak-anak dapat dilihat pada Tabel 9. Oemantauan respons setelah insiasi ARV dilakukan 2-4 minggu setelah inisiasi. Anak harus diperiksa jika ada gejala yang membuat orangtua khawatir atau ada penyakit yang terjadi bersamaan. Hal-hal yang perlu dipantau:



  • Berat badan dan tinggi badan (setiap bulan)

  • Perkembangan syaraf (setiap bulan)

  • Kepatuhan (setiap bulan)

  • CD4 (%) jika tersedia (selanjutnya setiap 3-6 bulan)

  • Hb pada awal atau Ht (jika dengan zidovudine), SGOT jika tersedia

  • Berdasarkan gejala: Hb atau Ht atau pemeriksaan darah lengkap, SGOT


Tabel 9. Pilihan Rejimen Pengobatan Lini Pertama untuk Anak1

Pencegahan dengan kotrimoksazol (dosis 6-8 mg/kgBB trimetoprim sekali sehari) diberikan pada:



  • Anak yang terpapar HIV, sampai infeksi HIV benar-benar dapat disingkirkan dan ibunya tidak lagi menyusui

  • Anak yang terinfekis HIV (terbatas jika ARV tidak tersedia)

  • Jika diberi ARV: kotrimoksazol hanya boleh dihentikan saat indikator klinis dan imunologis memastikan perbaikan sistem kekebalan selama 6 bulan atau lebih.


KANDIDASIS ORAL DAN ESOFAGUS 1

Obati bercak putih di mulut (thrush) dengan larutan nistatin (100.000 unit/ml). Olesi 1-2 ml di dalam mulut sebanyak 4 kali sehari selama 7 hari. Jika tidak tersedia, olesi dengan larutan gentian violet 1%. Jika hal ini masih tidak efektif, beri gel mikonazol 2%. 5 ml 2 kali sehari, jika tersedia.

Tersangka kandidiasis esofagus jika ditemukan: kesulitan atau nyeri saat muntah atau menlean, tidak mau makan, saliva yang berlebihan atau menangis saat makan. Kondisi ini bisa terjadi dengan atau tanpa ditemukannya oral thrush. Jika tidak ditemukan thrush, beri pengobatan percobaan dengan flukonazol (3-6 mg/kgBB sekali sehari). Singkirkan penyebab lain nyeri menelan (sitomegalovirus, herpes simpleks, limfoma, dan yang agak jarang, sarkoma Kaposi)

Tatalaksana kandidiasis esofagus: beri flukonazol oral 4-6 mg/kgBB sekali sehari selama 7 hari, kecuali jika anak mempunyai penyakit hati akut. Beri amfoterisin B (0,5 mg/kgBB sekali sehari) melalui infus selama 10-14 hari dan pada kasus yang tidak memberikan respons terhadap pengobatan oral, tidak mampu mentoleransi pengobatan oral, atau ada risiko meluasnya kandidiasis (misalnya pada anak dengan leukopenia).


DIARE PERSISTEN 4,5,6,7

Definisi diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau lebih cair dari biasanya, paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Definisi lain untuk bayi atau anak-anak masing-masing adalah pengeluaran tinja >10 g/kgBB/24 jam (rata-rata pengeluaran tinja normal pada bayi adalah 5-10 g/kgBB/24 jam) atau >200 g/24 jam. Berdasarkan rentang waktunya, diare dibagi menjadi diare akut dan diare yang berkepanjangan (diare kronis dan/atau persisten). Diare kronis dan diare persisten, yang seringkali dianggap sebagai suatu kondisi yang sama, adalah suatu episode diare lebih dari 2 minggu. The American Gastroenterological Association mendefinisikan diare kronis sebagai episode diare yang berlangsung lebih dari 4 minggu, oleh etiologi non-infeksi serta memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Di Indonesia, definisi yang digunakan adalah terdapat 2 jenis diare yang berlangsung > 14 hari, yaitu diare persisten yang mempunyai dasar etiologi infeksi, serta diare kronis yang mempunyai dasar etiologi non-infeksi. Diare persisten didahului oleh diare akut, namun seiring berjalannya waktu gejala tersebut tetap sama atau bahkan meningkat intensitasnya. Alur pendekatan klinis terhadap diare persisten secara umum dapat dilihat di diagram berikut ini.



Gambar 3. Pendekatan Klinis terhadap Diare Persisten.4
Berdasarkan patofisiologinya, penyebab diare persisten dapat diklasifikasikan ke dalam empat mekanisme utama: osmotik, sekretorik, dismotilitas, dan inflamatorik. Keempat mekanisme tersebut dapat tumpang-tindih satu sama lain dengan akibat yang sama, yaitu defek absorpsi air pada lumen usus. Diare osmotik disebabkan kegagalan absorpsi zat terlarut dalam lumen, baik karbohidrat kompleks maupun ion seperti magnesium/sitrat, sehingga tekanan osmotiknya meningkat dan menyebabkan cairan interstisial, mengikuti gradien osmotik tersebut, keluar ke lumen usus. Contoh dari diare osmotik adalah diare akibat intoleransi laktosa. Pada diare jenis ini, tatalaksana paling utama adalah menghentikan zat osmolaritas tinggi penyebab diare.

Diare sekretorik disebabkan sekresi cairan dan elektrolit epitel usus yang melebihi kemampuan reabsorpsinya. Substansi endogen tertentu (asam empedu, prostaglandin, toksin, obat, maupun vasoactive intestinal polypeptide/VIP) akan merangsang sintesis adenilil-siklase yang mengaktifkan cAMP. Akibatnya, terjadi sekresi elektrolit (dan cairan sebagai hasilnya) oleh epitel usus tanpa memperhitungkan ntibiot ntibio lumen melalui dua metode: (1) inhibisi absorpsi Na+ dan Cl- lumen, dan; (2) stimulasi sekresi Cl- ke dalam lumen melalui aktivasi protein transmembran cystic fibrosis. Contoh dari diare sekretorik murni adalah diare akibat mutasi gen yang mempengaruhi kanal ion epitel usus (chronic chloride diarrhea/CCD).

Pada diare yang berhubungan dengan dismotilitas usus biasanya tidak ditemukan gangguan kemampuan absorpsi usus, melainkan terjadi pengurangan waktu transit kimus/feses. Akibatnya, absorpsi menjadi suboptimal dan cairan pun tetap tertimbun dalam lumen. Diare dismotilitas dapat terjadi apabila frekuensi motilitas usus meningkat (irritable bowel syndrome) dan/atau intensitasnya berubah (chronic non-spesific diarrhea); keduanya dapat ditemukan pada bayi/anak baik dengan/tanpa disertai patofisiologi lain. Umumnya, terjadi dismotilitas akibat satu/lebih gangguan pada regulasi motilitas usus yang disebut PINE: Parakrin (bradikinin), Imun (sitokin), Neural (serotonin), dan Endokrin (gastrin dan VIP).

Diare inflamatorik terjadi dengan melibatkan seluruh mekanisme yang telah disebutkan di atas; proses inflamasi sel mengakibatkan malabsorpsi makronutrien sehingga meningkatkan osmolaritas lumen. Selain itu, toksin mikroorganisme tertentu dapat menginduksi sekresi cairan dan elektrolit ke dalam lumen. Terakhir, baik proses inflamasi maupun infeksi dapat mengubah motilitas usus. Contoh dari diare inflamatorik adalah diare akibat inflammatory bowel disease atau diare akibat infeksi berat.

Faktor risiko terjadinya diare persisten adalah: malnutrisi terutama protein energy malnutrition (PEM), usia < 18 bulan, tidak ASI eksklusif, konsumsi susu dari botol, konsumsi susu sapi atau susu soya, penggunaan ntibiotic irasional, gangguan psikologis seperti attention-deficit disorder (ADD), penggunaan antimotilitas seperti loperamid, defisiensi vitamin A, defisiensi zinc, gizi buruk, dan infeksi ekstraintestinal.

Pada anak dengan diare persisten, diagnosis dilakukan pertama-tama dengan melihat apakah terdapat gagal tumbuh (FTT) atau tidak. Etiologi utama diare persisten dapat dilihat pada tabel di bawah ini.



Tabel 10. Berbagai Etiologi Diare Persisten.4

Without Failure to Thrive

Major Clinical Features

Major Laboratory and Imaging Findings

 CNSD

Daytime nonbloody, nonmucousy stools

Normal laboratory and imaging results




Normal growth







Occurs in the first few years after birth




 Infectious colitis

Possible blood and/or mucus in stool Possible fever and/or abdominal pain Exposure to undercooked meat Contaminated water Occurs at any age

Positive stool culture, ova and parasite examination, or stool antigen test

 Lactose malabsorption

Abdominal discomfort, bloating, flatulence

Elevated breath hydrogen concentration after lactose ingestion




Nonbloody stools







Occurs beyond infancy




 Small bowel bacterial overgrowth

Abdominal discomfort Increased risk if ileocecal valve removed Occurs at any age

Elevated fasting breath hydrogen concentration (>20 ppm) Elevated early and late breath hydrogen concentration After lactulose ingestion

 IBS

Alternating constipation with diarrhea

Normal laboratory and imaging results




Abdominal pain relieved by defecation







Absence of weight loss, bloody stool, fever, or anemia







Typically diagnosed in adolescence or later




With Failure to Thrive







 IDI

Infectious colitis ruled out

Enteropathy by histology




Higher risk in malnourished or immunodeficient patients







In need of prompt nutritional support




 Allergic enteropathy

Most commonly in response to cow or soy milk Growth failure is in sharp contrast to well infant with allergic colitis Stool may be guaiac positive

May have hypoalbuminemia and anemia Electrolyte abnormalities from diarrhea/vomiting Serum IgE may be elevated

 Celiac disease

Up to 1/100 prevalence Severe cases have abdominal distension Myriad of presenting features

Elevated TTG IgA, antiendomysial IgA antibodies May be IgA deficient*Histologic villous blunting and intraepithelial Lymphocytes

 IBD

Bloody stool more common in colitis Enteritis may cause nonbloody stool Stooling urgency, abdominal pain, fatigue

Elevated erythrocyte sedimentation rate, thrombocytosis Iron-deficiency anemia Hypoalbuminemia

 Immunodeficiency state (various diseases)

Recurrent infections Young age, typically in infancy

Abnormal immunoglobulins (eg, low IgG, low IgA, high IgM)







Lymphopenia







Low antigen titers to previous immunizations

 Congenital secretory diarrhea (Chronic chloride and chronic sodium diarrhea)

Maternal polyhydramnios Severe secretory diarrhea at birth Severe dehydration

CCD: hypochloremia and metabolic alkalosis CSD: hyponatremia and metabolic acidosis

 Tufting enteropathy

Intractable watery diarrhea

Electrolyte abnormalities




Severe growth failure

Small bowel villous atrophy and crypt hyperplasia without inflammation

 Microvillous inclusion disease

Diarrhea within first week after birth

Small bowel villous atrophy but no crypt hyperplasia or inflammation




No history of polyhydramnios




 Autoimmune enteropathy

Secretory diarrhea May coexist with other endocrinopathies

May have positive antienterocyte, antigoblet cell, or anticolonocyte serum antibodies

 Neuroendocrine tumors

Secretory diarrhea

VIPoma: elevated serum VIP







ZES: elevated fasting serum gastrin







Carcinoid: elevated urine 5-hydroxyindoleacetic acid







Elevated prostaglandin E2

 Hirschsprung disease

Delayed passage of meconium

Abnormal barium enema




Distended abdomen

Absent ganglion cells on rectal biopsy




Explosive stool with rectal examination




 CF

Malabsorption of carbohydrate/fat/protein

Decreased fecal elastase Elevated fasting breath hydrogen if small bowel bacterial overgrowth present

Yüklə 225,79 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©azkurs.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin