*IDI: intractable diarrhea of infancy; diare persisten yang didahului diare akut akibat infeksi.
Tatalaksana diare persisten terbagi ke dalam fase resusitasi, eradikasi etiologi diare, dan rehabilitasi. Tatalaksana tersebut menyerupai tatalaksana diare akut, namun dengan beberapa penyesuaian. Pemberian oralit dinilai efektif dalam rehidrasi anak diare persisten, namun dalam kasus-kasus tertentu, pemberian oralit dapat memperparah diare ntibio sehingga diperlukan rehidrasi intravena dalam kasus-kasus tersebut. Dosis cairan resusitasi sama dengan dosis cairan resusitasi pada diare akut
Dalam melakukan eradikasi infeksi diare, direkomendasikan melakukan kultur feses sebagai dasar pemberian antibiotic. Untuk shigelosis, diberikan kotrimoksasol (2 x 4/20 mg/kgBB) atau siprofloksasin (2 x 10-15 mg/kgBB) atau sefiksim (20 mg/kgBB dibagi 2 dosis) secara monoterapi atau kombinasi apabila diperlukan. Untuk amubiasis (yang terbukti melalui adanya trofozoit Entamoeba histolytica atau tidak ada perbaikan klinis dengan antibiotik anti-Shigella), diberikan metronidazol oral 50 mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 5 hari. Untuk giardiasis (yang terbukti melalui adanya kista/trofozoit Giardia lamblia), diberikan metronidazol oral 30 mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 5 hari. Untuk infeksi Clostridium difficile, diberikan metronidazol 30 mg/kgBB dibagi 3 dosis. Untuk infeksi Klebsiella dan E.coli pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil sensitivitas kultur. Dalam fase ini, evaluasi infeksi ekstraintestinal seperti pneumonia, sepsis, infeksi saluran kemih, dan otitis media sangat penting dalam mengontrol diare dengan efektif.
Dalam fase rehabilitasi, hal yang penting untuk dilakukan adalah memastikan asupan gizi optimal dan diare sudah teratasi, ditunjukkan melalui: asupan makanan per oral cukup (110 kal/kgBB), berat badan bertambah 3 hari berturut-turut, diare berkurang, dan tidak ada demam. Pemberian asupan per oral diutamakan ASI eksklusif dengan frekuensi lebih sering bagi bayi usia < 6 bulan, dan makanan lunak tinggi protein minimal 6 kali/hari bagi anak yang lebih besar. Pemberian susu formula harus dibatasi 50 ml/kgBB/hari atau diganti dengan susu bebas laktosa. Selain itu, Semua anak dengan diare persisten perlu diberi suplemen multivitamin dan mineral dua recommended daily allowances (RDA) setiap hari selama dua minggu. Sebagai panduan, satu RDA untuk anak umur 1 tahun adalah:
-
folat 50 micrograms
-
zinc 10 mg
-
vitamin A 400 micrograms
-
zat besi 10 mg
-
tembaga (copper) 1 mg
-
magnesium 80 mg
BAB III
PEMBAHASAN
GIZI BURUK
Pasien memiliki berat badan 5 kg dan panjang badan 69 cm. Berdasarkan pemeriksaan antropometri tersebut, digunakan kurva WHO untuk menilai status nutrisi, karena pasien berusia di bawah 5 tahun. BB/TB pasien memiliki z score < -3, sehingga pasien dapat didiagnosis sebagai gizi buruk. Dari pemeriksaan klinis, pasien juga tampak sangat kurus, terdapat iga gambang dan baggy pants, yang mendukung adanya gizi buruk. Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan adanya hepatomegali, sehingga berat badan mungkin tidak menggambarkan status nutrisi pasien secara tepat karena massa organomegali dapat menambah berat badan. Oleh karena itu, digunakan kurva lingkar lengan atas yang tidak terpengaruh oleh adanya organomegali, dan didapatkan hasil z score < -3 (gizi buruk).
Untuk mencari penyebab gizi buruk pada pasien, melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan adanya faktor absorpsi zat gizi yang tidak mencukupi, pengeluaran energi berlebihan, dan asupan kalori yang tidak mencukupi. Absorpsi nutrisi pada pasien terhambat karena adanya diare. Berdasarkan mekanismenya, diare pada pasien dapat digolongkan sebagai diare inflamatorik, karena jumlah diare tidak berkurang walaupun asupan pasien sedikit dan jumlah diare jauh lebih banyak dibandingkan asupan cairan. Diare inflamatorik biasanya disebabkan oleh infeksi, yang dapat mengakibatkan kerusakan mukosa/ vili usus, sehingga penyerapan nutrisi akan terganggu. Adanya infeksi (dari saluran cerna, saluran kemih, dan saluran napas) juga menyebabkan peningkatan metabolisme, sehingga terjadi pengeluaran energi yang berlebihan.
Pada pasien, dapat dilihat bahwa infeksi kronik yang dialami sejak sekitar usia 6 bulan merupakan penyebab penting gizi buruk, sehingga perlu dicari penyebab infeksi tersebut. Riwayat kontak TB pada pasien tidak jelas, berat badan pasien sulit naik, tidak ada batuk kronik, demam ada namun bukan demam lama (>3 minggu), tidak ada pembesaran KGB, foto rontgen belum ada pada pasien. Dilihat dari sistem skoring, jumlah skor pada pasien tidak terlalu kuat mengarah pada infeksi TB. Infeksi lain yang sering pada anak-anak adalah campak, terutama mengingat pasien belum mendapatkan infeksi campak. Namun, tidak ada riwayat kontak dengan pasien campak dan tidak didapatkan ruam kulit pada pemeriksaan fisik. Infeksi yang jelas terjadi pada pasien adalah infeksi saluran cerna (diare persisten), yang menurut orangtua pasien telah diobati dengan berbagai jenis antibiotik namun tak kunjung sembuh. Hal ini dapat dicurigai adanya infeksi oleh organisme yang tidak umum terjadi (infeksi oportunistik). Selain itu, adanya thrush pada rongga mulut hingga mencapai palatum (bukan hanya di lidah) mengarahkan pada imunodefisiensi. Kondisi ini dapat terjadi karena gizi buruk yang berakibat menurunnya sistem pertahanan tubuh, atau telah terjadi kondisi imunodefisiensi sebelumnya. Oleh karena kejadian infeksi (diare persisten) mendahului terjadinya gizi buruk, dapat dicurigai bahwa pasien sebelumnya telah mengalami imunokompromais, yang dapat disebabkan karena infeksi HIV.
Asupan kalori pada pasien sebelum mulai mengalami diare didapat dari susu formula (450 cc), bubur susu (1 porsi), dan biskuit bayi (1 keping), yang berjumlah 591,5 kkal (301,5 + 200 + 90 kkal). Jumlah ini tidak mencukupi kebutuhan kalori pasien (berat badan 7 kg dengan RDA 100-110 kkal/kg/hari) yang berjumlah 700 kkal/hari, sehinggga dapat disimpulkan bahwa teknik pemberian makan pada pasien tidak tepat. Selain itu, asupan makanan yang semakin menurun pada pasien dapat disebabkan oleh infeksi kronik dan anemia yang dapat menyebabkan nafsu makan menurun. Dari anamnesis juga didapatkan anak tampak nyeri saat makan atau minum, yang dapat disebabkan adanya kandidasis (oral thrush) pada mulut. Penyebab pasien tidak mau makan seperti nyeri akibat refluks gastroesofageal atau sesak karena adanya penyakit jantung bawaan dapat disingkirkan karena pasien sebelumnya tidak ada riwayat muntah atau gumoh setiap kali diberi makan/minum, dan sebelumnya dapat menyusu dengan baik, tidak terputus-putus.
Gizi buruk dapat mengakibatkan berbagai komplikasi atau kedaruratan, misalnya hipoglikemia, infeksi berat, dehidrasi (yang juga dapat disebabkan oleh diare). Kurangnya asupan nutrisi, terutama karbohidrat, dapat menyebabkan menurunnya kadar glukosa dalam darah, terutama pada anak gizi buruk yang sudah berlangsung lama dan cadangan energinya sudah menipis. Oleh karena itu, pasien segera diperiksa kadar gula darah saat masuk IGD, namun pasien tidak mengalami hipoglikemia (>54 mg/dL) sehingga saat tatalaksana awal pasien tidak diberikan larutan dekstrose 10% secara intravena. Selanjutnya, hipoglikemia dicegah dengan pemberian F-75 sesuai jadwal (tiap 2-3 jam, pada pasien sudah tepat diberikan sebanyak 8 kali per hari). Infeksi berat dapat terjadi karena mekanisme pertahanan tubuh melibatkan berbagai protein (yang komponennya didapatkan dari asupan nutrisi), sehingga gizi buruk juga dapat mengakibatkan kondisi imunokompromais. Pada pasien, tidak ada tanda infeksi berat seperti pneumonia berat (tidak ada batuk, sesak, peningkatan frekuensi napas atau work of breathing pada pemeriksaan fisik). Namun, pada pasien gizi buruk perlu diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi sesuai dengan panduan, dengan memilih antibiotik spektrum luas, antara lain cefotaxime. Dosis pada anak adalah 50-200 mg/kg/hari, pada pasien rentang dosis adalah 250-1000 mg/hari yang dapat dibagi menjadi 3-4 kali sehari, sehingga pemilihan dosis 3x125 mg (475 mg/hari) sudah tepat. Komplikasi berupa anemia berat pada pasien juga tidak terjadi (Hb>4 g/dL, tidak ada gangguan kardiorespirasi), sehingga pada tatalaksana awal tidak diberikan transfusi.
Dehidrasi pada pasien saat ini tidak ditemukan (turgor kulit baik, mata tidak cekung, jumlah BAK baik, frekuensi nadi normal dan isi cukup, akral hangat), namun berdasarkan anamnesis ditemukan riwayat gejala dehidrasi ringan-sedang, berupa jumlah BAK lebih sedikit dari biasa, dan anak tampak lebih rewel (iritabel), saat menangis tidak ada air mata yang keluar. Oleh karena itu, pada tatalaksana awal diberikan cairan rehidrasi (digunakan formula Resomal yang lebih cocok untuk pasien malnutrisi/gizi buruk) sesuai tatalaksana diare untuk dehidrasi ringan sedang, yaitu 75 ml/kg dalam 3 jam. Pilihan penghitungan cairan lain yang dapat digunakan adalah 5 ml/kg setiap 30 menit dalam 2 jam pertama dan dilanjutkan 5-10 ml/kg setiap jam (berselang-seling dengan F-75). Cairan diberikan per enteral karena pasien masih bisa minum (melalui NGT) dan bukan dehidrasi berat. Selanjutnya, tanda dehidrasi sudah tidak ada sehingga saat dirawat di ruang rawat inap pemberian cairan pada pasien hanya untuk mengganti kehilangan cairan saat diare, yaitu Resomal 100 ml setiap diare (sesuai jumlah untuk anak usia > 1 tahun).
Hipotermia pada pasien tidak terjadi (pasien dalam kondisi demam), namun pemantauan suhu pada pasien tetap harus dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotermia. Gangguan elektrolit pada pasien hanya penurunan kadar natrium, yang dapat disebabkan oleh diare persisten yang dialami pasien (akan dibahas lebih lanjut pada bagian diare persisten). Pada tatalaksana rehidrasi gizi buruk, larutan resomal yang diberikan juga dapat memulihkan keseimbangan elektrolit.
Dilihat dari indikasi rawat inap untuk gizi buruk, pasien tidak mau makan/minum (anoreksia), sehingga sulit diberikan terapi nutrisi secara rawat jalan. Oleh karena itu, pasien kemudian dirawat inap dan dipasang NGT untuk membantu asupan nutrisi.
Pasien saat ini berada dalam fase stabilisasi, sehingga kebutuhan kalori adalah 80-100 kkal/kg BB aktual/hari dan pada pasien jumlah kalori per hari (BB = 5 kg) adalah 400-500 kkal. Pada tatalaksana awal diberikan F-75 (75 kkal/100 cc) sebanyak 8x50 ml (400 cc), sehingga jumlah kalori adalah 4 x 75 kkal = 300 kkal. Jumlah ini sebenarnya kurang mencukupi kebutuhan pasien, ditambah lagi pasien selama beberapa hari di awal rawat inap mengalami muntah akibat pemberian feeding tube yang terlalu cepat. Faktor lain adalah kerusakan mukosa/ vili usus akibat infeksi (diare persisten) sehingga penyerapan zat nutrisi kurang optimal. Tinja yang berbau asam menunjukkan adanya intoleransi laktosa, yang dapat terjadi sekunder akibat infeksi/ kerusakan epitel vili usus yang memproduksi enzim laktase. Formula F-75 masih mengandung laktosa, sehingga hal ini dapat makin memicu diare melalui mekanisme diare osmotik. Hal ini dapat menjadi penyebab berat badan pasien setelah 5 hari perawatan belum menunjukkan kenaikan, bahkan menurun.
Kenaikan berat badan yang kurang (bahkan menurun) memerlukan evaluasi terapi nutrisi secara menyeluruh. Dapat disimpulkan bahwa masalah pada terapi nutrisi pasien adalah jumlah kalori yang tidak mencukupi, dan formulasi yang mengandung komponen yang tidak dapat dicerna secara optimal. Oleh karena itu, jumlah kalori kemudian ditingkatkan di ruang rawat, yaitu 8x70 ml dengan formula Peptamen (1 kkal/ml), sehingga total kalori adalah 560 kkal. Formula peptamen dipilih karena tidak mengandung laktosa (namun mengandung galaktosa), dan protein dalam formula telah terhidrolisis sehingga mempermudah penyerapan protein. Kandungan protein dalam Peptamen adalah 12% dari kalori, yaitu 6,72 gram, sesuai dengan kebutuhan protein pada fase stabilisasi (1-1,5 g/kgBB/hari atau 5-7,5 gram/hari). Namun, jumlah kalori yang diberikan sedikit lebih tinggi dari kebutuhan pada fase stabilisasi (100 kkal/kgBB/hari). Kelebihan tersebut mungkin diberikan untuk mengantisipasi kehilangan formula akibat muntah pada pasien, namun jika tidak berhati-hati hal ini dapat menimbulkan refeeding syndrome yang dapat membahayakan pasien. Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan ketat selama pemberian nutrisi pada pasiesn, dan jika dengan drip pelan pasien tidak lagi muntah, maka jumlah formula dapat diturunkan menjadi 8 x 60 ml (total 480 kkal) agar tidak melebihi 100 kkal/kgBB/hari. Pemberian jumlah formulasi per NGT juga perlu memperhitungkan jumlah asupan formula per oral. Saat ini pasien mendapat asupan per oral sangat sedikit (maksimal 30 cc/hari), sehingga dapat dianggap tidak bermakna (penghitungan asupan per oral dapat dianggap seluruhnya melalui NGT). Asupan per oral dapat diperbaiki dengan mengobati kandidasis oral pasien, sehingga diberikan obat antifungal berupa mycostatin (nistatin) topikal berbentuk drops.
Setelah mengganti jumlah dan bentuk sediaan formula untuk lebih menyesuaikan dengan kondisi pasien, diharapkan berat badan dapat meningkat, yang diukur setiap 3 hari. Jika kenaikan berat badan masih kurang, perlu dipertimbangkan pemilihan formula yang berbeda, atau pemberian antibiotik yang kurang adekuat dalam eradikasi infeksi (misalnya pada saluran cerna) sehingga tetap terjadi pengeluaran energi yang berlebihan. Pada pasien, eradikasi infeksi untuk saluran cerna dan saluran kemih saat ini belum adekuat karena infeksi kandida pada usus memerlukan flukonazol dengan dosis sesuai panduan dan antibiotik untuk ISK sesuai pola resistensi (infeksi akan dibahas lebih lanjut di bagian HIV).
Selain makronutrien, pasien gizi buruk juga mengalami defisiensi mikronutrien, sehingga pada pasien diberikan juga asam folat, zink (juga bermanfaat untuk diare pada pasien), namun tanpa zat besi karena pasien masih berada dalam fase stabilisasi. Vitamin A pada pasien dapat diberikan, namun bukan merupakan hal yang utama karena tidak ditemukan adanya tanda defisiensi vitaminA pada pasien (bercak Bitot, keratitis tidak ada).
Komplikasi jangka panjang pada gizi buruk adalah terhambatnya perkembangan anak, karena perkembangan sistem saraf yang berfungsi untuk koordinasi gerakan motorik, fungsi kognitif dan bicara memerlukan nutrisi. Lingkar kepala pasien, yang berkaitan dengan pertumbuhan organ sistem saraf pusat, juga memiliki z score <-3 pada kurva lingkar kepala terhadap umur, hal ini dapat menunjukkan prognosis yang kurang baik bagi perkembangan pasien selanjutnya. Pada pasien tersebut, didapatkan keterlambatan perkembangan motorik, di mana pasien belum bisa duduk dan berdiri/ berjalan. Selain itu, dilihat dari pertambahan berat badan pasien pada kurva berat badan menurut umur, kurva berat badan pasien cenderung mendatar dan bahkan menurun pada lebih dari dua periode pemeriksaan (dua bulan), sehingga pasien juga dapat disebut gagal tumbuh (failure to thrive), seperti yang terlihat pada kurva di bawah ini.
Kurva berat badan berdasarkan umur untuk anak perempuan usia 0-2 tahun 8
HIV
Pasien menunjukkan gejala imunokompromais (oral thrush, infeksi kronik), sehingga perlu dipikirkan adanya kemungkinan infeksi HIV. Hasil pemeriksaan rutin dengan darah perifer lengkap dan hitung jenis menunjukkan penurunan leukosit, dan jumlah persentase limfosit yang sangat menurun, sehingga memperkuat dugaan infeksi HIV. Pemeriksaan diagnostik dengan menggunakan antibodi (anti-HIV) sudah sesuai karena pasien berusia di atas 18 bulan dan tidak lagi menyusu. Berdasarkan gejala klinisnya, pasien kemungkinan telah mengalami kandidasis esofagus hingga enteral (adanya pseudohifa yang menunjukkan infeksi candida pada feses). Gizi buruk yang dialami pasien juga kurang responsif dengan terapi standar yang diberikan (tidak adanya kenaikan berat badan). Oleh karena itu, pasien dapat digolongkan stadium klinis 4. Berdasarkan hasil CD4 pasien, lebih digunakan persentase CD4, yaitu 2%, sehingga pasien tergolong imunodefisiensi berat.
Oleh karena terdapat imunodefisiensi tersebut, selain infeksi saluran cerna, perlu dipikirkan juga infeksi-infeksi pada sistem organ lainnya. Fokus infeksi dari suatu sistem organ dapat menyebabkan bakteremia dalam sirkulasi sistemik, sehingga pada pasien dilakukan pemeriksaan kultur darah (dan resistensi) untuk mengetahui organisme spesifik penyebab infeksi serta memandu pemilihan antibiotik. Infeksi saluran kemih dapat dipikirkan dari riwayat pasien yang mengalami diare persisten, dengan menggunakan popok sehingga rentan terjadi kontaminasi bakteri dari feses pada saluran kemih, terutama pasien berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan analisa urin lengkap dan kultur urin, dan hasil kultur menunjukkan adanya E. coli, yang dapat menunjukkan infeksi ataupun bersumber dari kontaminasi feses pada saat pengambilan sampel (kontaminasi belum bisa disingkirkan karena gejala klinis ISK seperti nyeri BAK atau muntah tidak jelas). Selain itu, dapat pula dipikirkan infeksi saluran napas kronik, misalnya TB karena adanya kontak tersangka TB dan prevalensi TB yang tinggi secara epidemiologi. Infeksi saluran napas terutama dipikirkan jika setelah mengobati infeksi di saluran cerna dan saluran kemih, kondisi pasien tetap tidak membaik. Hasil tes Mantoux yang negatif pada pasien tidak menyingkirkan adanya infeksi TB, karena adanya anergi akibat imunodefisiensi. Dalam hal ini, pada pasien dapat dilakukan pemeriksaan PCR TB, atau diberikan terapi empiris.
Berdasarkan panduan, pasien dengan stadium klinis 4 dapat memulai terapi ARV yaitu dengan zidovudin, lamivudin, dan nevirapin (2NRTI dan 1 NNRTI). Pada pasien tidak dipilih efavirens karena berat badan pasien belum mencapai 10 kg. Dosis pengobatan dihitung berdasarkan berat badan ataupun luas permukaan tubuh (pada pasein 0,53 m2) dan didapatkan dosis masing masing 20 mg, 20 mg, 40 mg per kali (diberikan dua kali sehari).
DIARE PERSISTEN
Pada pasien dipikirkan diare persisten karena meski episode diare yang dialami pasien saat ini baru memberat sejak 11 hari SMRS, BAB cair telah dialami pasien terus-menerus sejak usia 6 bulan dengan episode akut berulang tanpa resolusi yang jelas. Gejala tersebut memenuhi kriteria diagnosis diare di mana BAB pasien memiliki konsistensi cair dan frekuensinya yang > 6 kali/hari (ganti popok 5-6 kali/hari), dan memenuhi kriteria persisten/kronik dengan rentang waktu sakit > 14 hari (sudah sejak 1 tahun SMRS). Setelah menegakkan diagnosis diare yang dialami pasien, langkah selanjutnya adalah menentukan apakah diperlukan resusitasi cairan atau tidak. Status hidrasi pasien masih baik karena tidak terlihat tanda-tanda dehidrasi seperti ketiadaan air mata saat menangis dan mata cekung. Meski begitu, pasien tetap perlu diawasi secara seksama karena tanda-tanda dehidrasi seperti turgor kulit yang menurun seringkali tertutup dengan gejala gizi buruk yang juga diderita pasien. Oleh karena itu, pada fase ini sudah dapat dikatakan bahwa pasien menderita diare persisten tanpa dehidrasi.
Untuk melakukan kontrol diare, pertama-tama diperlukan evaluasi menyeluruh apakah terdapat infeksi ekstraintestinal. Penting untuk diingat, karena riwayat TB paru yang belum jelas pengobatannya, ditambah dengan status HIV dan gizi buruk pasien, sebaiknya dilakukan pemeriksaan rontgen untuk menegakkan/menyingkirkan TB paru. Oleh karena pemeriksaan mantoux seringkali negatif-semu pada pasien malnutrisi/imunodepresi, maka apabila diindikasikan dapat diberikan obat anti-tuberkulosis (OAT) empiris. Pada pasien tidak dituliskan masalah infeksi saluran kemih karena dicurigai terjadi kontaminasi E.coli pada sampel, mengingat pasien menggunakan popok. Meski di sisi lain diagnosis infeksi saluran kemih masih belum dapat disingkirkan, namun pemberian kotrimoksasol diharapkan dapat pula mengendalikan infeksi tersebut apabila memang ada. Pada pasien ini tidak didapatkan tanda-tanda infeksi lain seperti otitis media dan sebagainya.
Setelah menyingkirkan sumber ekstraintestinal, maka diperlukan pemeriksaan laboratorium lengkap yang terutama meliputi kultur feses untuk menentukan etiologi intestinal diare dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan feses menunjukkan sel ragi dan hifa yang menggambarkan infeksi jamur, dan sel gram negatif yang menggambarkan E.coli. Hal tersebut sesuai dengan penemuan tinja berbau asam dan hiponatremia (Na+ 119) yang diakibatkan diare inflamatorik, di mana penyebabnya sebagian besar adalah infeksi dan mekanismenya melibatkan malabsorpsi/gangguan osmotik (fermentasi karbohidrat kompleks yang menimbulkan bau asam) sekaligus gangguan sekretorik (sekresi natrium bersama cairan).
Melihat etiologi tersebut, maka pada pasien diberikan antibiotik gram negatif dan antijamur. Pemilihan kotrimoksasol dengan dosis 2x2,5 ml (20/100 mg) dinilai sudah tepat (4/20 mg x 5 kg). Pemberian antijamur, selain ditujukan untuk mengobati infeksi intestinal, juga sekaligus dapat mengobati kandidosis oral yang diderita pasien. Pilihan lain adalah menggunakan antijamur flukonazol, misalnya dalam bentuk suspensi oral (50 mg/5 ml) dan dosis 1x2,5 ml. Adapun fase rehabilitasi diare persisten pada pasien ini dilakukan sesuai dengan penatalaksanaan gizi buruk yang juga dialaminya.
DIARE PERSISTEN PADA HIV DAN GIZI BURUK
Seperti telah dikatakan pada bagian sebelumnya, seorang anak yang menderita malnutrisi dan imunodefisien memiliki risiko diare persisten yang jauh lebih tinggi daripada anak-anak lain. Di sisi lain, diare persisten akan memperburuk pula prognosis malnutrisi dan sistem imunitas tubuh. Keadaan malnutrisi akan menghambat epitelialisasi dan aktivasi/proliferasi/diferensiasi imunitas mukosa usus karena proses keduanya membutuhkan energi yang didapatkan dari nutrisi. Peningkatan kebutuhan energi tersebut, ditambah dengan kerusakan epitel usus yang melibatkan pula enzim brush-border, mengakibatkan perburukan malnutrisi lebih jauh. Selain itu, epitelialisasi yang terganggu juga memperburuk sel imun lokal sehingga memperparah kerusakan yang diakibatkan toksin dan patogen.
Imunitas tubuh juga memegang peranan penting dalam progresivitas diare, terbukti diare persisten merupakan salah satu manifestasi klinis yang banyak dijumpai pada penderita HIV. Faktor penting yang meningkatkan kerentanan anak-anak dengan HIV terhadap kejadian diare persisten adalah jumlah episode diare akut sebelumnya. Setiap episode diare akut pada pasien HIV akan meningkatkan risiko 1,5 kali untuk terjadinya diare persisten. Patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-anak belum diketahui secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus HIV terkait dengan perubahan status imunitas berupa penurunan kadar CD4, IgA, sekretorik, dan peningkatan CD8 lamina propria. Perubahan keadaan ini memacu pertumbuhan bakteri/virus/jamur sehingga terjadi diare persisten post-enteritis (IDI). Diare yang terjadi berkepanjangan lebih lanjut menyebabkan malnutrisi yang mengganggu pembentukan sistem imun.
Pada pasien ini, setelah kegawatdaruratan diatasi, diperlukan penatalaksanaan gizi buruk, infeksi HIV, dan diare persisten secara sinergis dan simultan/sekaligus. Hal tersebut disebabkan ketiga penemuan tersebut masing-masing dapat memperburuk prognosis penyakit lain. Pada pasien ini, penatalaksanaan yang dilakukan untuk tahap awal gizi buruk sudah tepat, namun masih diperlukan pengawasan ketat terhadap keberhasilan terapi.
DAFTAR PUSTAKA
-
World Health Organization, Departemen Kesehatan RI. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Jakarta: DepKes. 2009.
-
Departemen Kesehatan RI. Bagan alur layanan kesehatan gizi buruk (buku I). Jakarta: Depkes 2010.
-
World Health Organization. Interim WHO clinical staging of HIV/AIDS and HIV/AIDS case definitions for surveillance. 2005. Diunduh dari http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/clinicalstaging.pdf.
-
Kleinman RE, ed. Nelson’s pediatric handbook. ed 6. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2009.
-
Devaney B, Ziegler P, Pac S, et al: Nutrient intakes of infants and toddlers. J Am Diet Assoc 2004; 104:s14-s21.
-
Gidding SS, Dennison BA, Birch LL, et al: American Heart Association: Dietary recommendations for children and adolescents: a guide for practitioners. Pediatrics 2006; 117:544-559.
-
World Health Organization (WHO). WHO child growth standards. 2010. Diunduh dari www.who.int/childgrowth/en/
Dostları ilə paylaş: |