sesungguhnya
lebih disebab-
kan oleh sikap
mental daripada
kapasitas mental.'
- Walter Scott -
Banyak pemimpin yang
mengeluh anak buah-
nya tidak bisa bekerja.
Benarkah demikian?
Jangan-jangan yang
Anda miliki sebenarnya
orang-orang yang he-
bat. Hanya saja mereka
terbelenggu oleh cara
berpikir yang salah dan
tradisi yang tidak lagi
dapat dipakai.
Dalam bukunya yang berjudul The Inner Game of Tennis, Timothy Gallwey
(1970), mengatakan ia dapat mengajar siapa saja untuk bermain tenis hanya dalam
30 menit. Tigapuluh menit? Yang benar saja? Kita butuh waktu berbulan-bulan,
bahkan lebih dari setahun untuk mahir bermain tenis. Bagaimana mungkin 30
menit?
Buku itu tentu menarik perhatian banyak orang. Apalagi Tim mengatakan
bahwa ia telah mengembangkan metode baru. Ia lalu ditantang oleh salah satu
stasiun televisi yang datang bersama seorang nenek berusia 55-an yang seumur
hidupnya tidak pernah memegang raket tenis. Tim menerima tantangan itu sambil
tersenyum. Kamera televisi merekam semua dialog. Tim mengajak nenek itu ber-
bicara dan tak lama kemudian mereka sudah berada di tengah-tengah lapangan.
Si nenek tampak nervous memegang raket. Tim mengatakan jangan cemas
atau ragu-ragu. Kalau masih ragu jangan memukul bola itu dulu, biarkan saja bola
berlalu. Cukup diamati saja. Ia tidak harus memukul bola sampai merasa nyaman
dan menyukainya. Setengah lusin bola bertaburan di sekitarnya, ia diamkan. Se-
lama itu Tim hanya mengajaknya berbicara, memberi dorongan dan semangat.
Pada bola ketujuh tiba-tiba si nenek beraksi, ia memukul bola
itu tepat di tengah-tengah raketnya dengan sempurna. Luar
biasa, Tim tak henti-hentinya memuji.
Selama sekitar 30 menit si nenek melakukan latihan memukul: forehand,
backhand, serving, volleying, dan sebagainya. Tim memberi dorongan, mengajak-
nya berpikir. Ia memberi umpan balik positif (positive feed back). Tim memenuhi
janjinya, si nenek mampu belajar tenis hanya dalam 30 menit. Tanpa beban, tanpa
keinginan berhenti.
Kejadian di atas mengingatkan saya pada kejadian yang saya
lihat sendiri, bagaimana seorang anak mampu bersepeda
seketika.
Anak berusia lima tahun itu duduk di atas
sepeda yang agak besar, menerima petunjuk
dari kakak laki-lakinya yang beru-mur sepuluh
tahun. Tak lama kemudian si kakak
mendorong sepeda yang ditumpangi adiknya
itu melaju ke depan. Hanya dalam hitungan
detik saja, si adik sudah melaju di atas
sepedanya. Ia mengayuh sambil terta-wa
lepas, seakan tak percaya bahwa ia bisa
mengayuh sepeda tanpa dibantu orang lain
lagi. Beberapa menit yang lalu ia belum bisa
bersepeda sama sekali. Padahal kita semua
tahu, kita punya rekaman ucapan
yang sama: "Main sepeda, jatuh!" Artinya, kalau tak mau baret-baret, lecet, dan
jatuh, jangan naik sepeda!
Apa yang menyebabkan anak kecil dan nenek-nenek tadi bisa belajar dengan
cepat?
Baik Tim maupun kakak si anak kecil tadi ternyata bukan berfokus pada bo-la
dan sepeda, melainkan pada proses berpikir, yaitu proses berpikir orang yang
diajak belajar. Anak yang diajak belajar sepeda itu adalah putra saya, Adam dan
kakaknya bernama Fin. Mereka berdua ingat betul, kejadian yang cukup men-
cengangkan orangtua mereka, suatu pagi di hari Minggu di depan rumah kami pada
tahun 2000.
Tips:
1. Fokus pada proses berpikir, bukan pada
"problem on the table."
2. Ajak berpikir sebelum melakukan
3. Musuh terbesar kita adalah cara berpikir kita
sendiri yang diwarnai oleh rasa takut dan
meragukan kemampuan diri sendiri (self doubt)
4. Beri umpan balik positif (positive feedback)
Sebagai orangtua, saya hanya terdiam dan tidak sempat menahan Fin agar
tidak mendorong sepeda adiknya. Semua proses itu terjadi begitu cepat. Andaikan
saya terlihat, mungkin ceritanya akan lain. Mungkin Adam akan lecet-lecet dan
kulitnya terkelupas akibat jatuh dari sepeda. Anda menduga saya akan menahan-
nya dan meminta agar kita berhati-hati. Jangan melepas begitu saja. Benar! Kita
selalu memiliki keragu-raguan (self doubt), ditambah filter dalam otak kita ("sepe-
da-jatuh"). Tetapi karena proses itu terjadi begitu cepat, semua yang kita pikirkan
itu tidak pernah terjadi.
'Kita semua
mendambakan
kemenangan.
Namun berapa
banyak orang
yang bersedia
berlatih?'
- Mark Spitz -
Dibutuhkan kesabaran
untuk masuk ke dalam
proses berpikir
seseorang dan
menyempurnakannya.
Keragu-raguan adalah
ibarat rem tangan yang
lupa kita lepas saat kita
mengendarai mobil
kita.
Ingatlah satu hal ini:
Setiap kali manusia de-
wasa mencoba sesuatu
yang baru, maka ia akan
cepat menyerah.
Kalau otak itu tidak
berfungsi, lambat ber-
pikir, lemah berproses,
atau banyak hambatan,
maka organnya otoma-
tis tidak bekerja lagi.
'Andai kata aku tak
berani me-
ngalahkan rasa
takutku, mungkin
kalian tidak pernah
keluar dari
batasan-batasan
yang kalian buat
sendiri.'
- Colombus -
Tetapi, tahukah Anda apa yang sebenarnya terjadi jauh sebelum itu? Perlu saya
jelaskan sedikit bahwa sejak kecil kepada anak-anak, kami membiasa-kan mereka
berpikir.
Bahwa otak ada kapasitasnya, kita semua sepakat, bahwa
anak-anak dilahirkan dengan kemampuan mem-proses
berbeda-beda, kami pun menerimanya. Tetapi penting bagi
kami untuk selalu berpikir dan bertindak kritis, membicarakan
sesuatu sebelum bertindak. Kami selalu fokus pada proses
berpikir, bukan pada tindakan itu sendiri.
Cerita di atas menjadi sangat penting dalam buku ini karena apa yang dilaku-
kan di atas tak lain adalah sebuah proses yang sangat penting dalam Re-Code, yaitu
Re-Code pikiran. Karena apa yang terjadi di lapangan sebenarnya tidaklah begitu
penting. Yang lebih penting adalah apa yang sebenarnya bergejolak dalam pikiran
manusia. Organisasi sebenarnya sama saja. Organisasi bisa hidup dan bergerak
bukan karena organ (tubuhnya), melainkan karena otaknya bekerja sempurna.
Sekali lagi, apa yang terjadi dan dilakukan para pegawai dan pemimpin setiap
organisasi tidaklah begitu penting, yang jauh lebih penting sesungguhnya adalah
bagaimana mengaktifkan otak organisasi itu sendiri, yang tak lain adalah kumpulan
dari cara berpikir setiap orang. Inilah yang akan menentukan organisasi yang
mereka tempati menjadi hidup atau tidak, responsif atau pasif, adaptif atau lumpuh.
••• Organisasi yang Lumpuh
Mungkin Anda pernah datang ke sebuah organisasi, apakah itu badan mi-lik
pemerintah, swasta, yayasan, universitas atau apa saja yang suasananya "mati".
Seperti manusia yang nyaris mati, secara fisik ia tampak pada gejala-gejala yang
kasat mata: Tidak ada gairah dan koordinasi, tidak ada respons terhadap stimulus
yang diberikan, dingin, pucat, tua, keriput, dan sakit-sakitan. Organisasi ini
mungkin masih bergerak, tetapi "otaknya" sesungguhnya sudah lumpuh.
Organisasi yang otaknya lumpuh sebenarnya tidak mampu memberi manfaat
apa-apa lagi. Sayang sekali bila kita masih banyak berharap darinya. Apalagi bila
ia masih terus diberi anggaran yang sangat besar atau diberi peran-peran strategis.
Apa pun yang ia lakukan pasti hanya menghasilkan kekecewaan.
YANG MENENTUKAN HIDUP ATAU TIDAK, RESPONSIF ATAU PASIF,
ADAPTIF ATAU LUMPUHNYA OTAK ORGANISASI ADALAH
KUMPULAN CARA BERPIKIR SETIAP ORANG.
Apa yang menyebabkan "otak" sebuah organisasi menjadi lumpuh?
Ada tiga penyebab, yaitu:
1. Faktor atasan yang dominan
2. Faktor bawahan yang "malas" berpikir, dan
3. Faktor lingkungan
Atasan bisa mematikan otak organisasi bila ia memiliki kebiasaan "memberi
pengarahan". Seperti seorang guru atau dosen yang datang ke kelas menjelaskan
apa saja yang ia ketahui, seorang atasan bisa mematikan aspirasi dan inisiatif ba-
wahannya bila ia cenderung "menyuapi" mereka. Atasan seperti ini bukan fokus
pada cara berpikir, melainkan pada "problem on the table".
Sementara itu faktor bawahan terjadi Sebaliknya. Bawahan yang malas berpi-
kir dan terperangkap oleh perilaku-perilaku atasan-atasan mereka di masa-masa
lalu, dapat cenderung menjadi pasif. Mereka selalu melempar persoalan ke meja
para atasan dan semua yang dilakukan hanya sekadar "melaporkan" apa yang
diketahuinya. Mereka tidak mengambil keputusan sama sekali, melainkan selalu
"mohon petunjuk" atasan masing-masing. Apabila meja seorang atasan setiap sore
dipenuhi oleh surat-surat dari anak-anak buahnya, maka seorang pemimpin harus
mulai berhati-hati. Itu adalah lampu kuning peringatan. Periksalah kalimat demi
kalimat yang mereka tulis dan tanyakan: Apakah mereka sudah berani mengambil
keputusan? Mengapa mereka tidak menggunakan hak dan tanggung jawabnya
dalam mengambil keputusan?
Tradisi-tradisi seperti itu sungguh dapat mematikan otak organisasi.
Selain kedua faktor di atas, masih ada satu faktor lagi, yaitu faktor lingkungan.
Orang-orang yang berada di luar organisasi, yang cukup pandai dan terbiasa
"memakai otaknya" dapat meminjamkan "otak" mereka kepada organisasi itu
dengan imbalan fee tertentu.
Organisasi yang malas berpikir akan menjadi semakin malas dan
otaknya akan lumpuh, manakala ia meng-"outsource" sebagian besar
kerja otaknya. Organisasi yang demikian, cenderung menjadi kurang inovatif,
boros, tidak kreatif, lemah koordinasinya, dan lamban bergeraknya.
••• Kembali Berpikir
Organisasi-organisasi yang menghadapi masalah dalam perubahan adalah
organisasi-organisasi yang "malas" berpikir. Sebaliknya, organisasi-organisasi
yang sukses dan inovatif adalah organisasi yang terus memacu diri dengan tak
henti-hentinya belajar, berpikir dan membentuk pengetahuan-pengetahuan baru.
Mereka bukan cuma sekadar belajar dari masa lalu, melainkan terus menerus
memperbaharui pengetahuan dengan melakukan riset-riset terpadu, menjelajahi
Saatnya introspeksi.
Jangan-jangan kita
sendirilah yang menjadi
sebab mengapa anak-
anak buah kita tidak
produktif, birokratik,
takut, dan tak ber-
inisiatif.
'Kebiasaan itu
seperti sebuah
kabel, kita
memintalnya
setiap hari, dan
akhirnya tak
seorangpun bisa
memutuskannya.'
- Horace Mann -
Semakin banyak dan
semakin sering sebuah
organisasi menggu-
nakan jasa konsultan
tanpa keinginan mem-
batasi jangka
waktunya,
akan semakin besar
kemungkinannya untuk
menjadi lumpuh.
'Bukan karena
sulit maka kita
menjadi tidak
berani, melain-
kan karena tidak
beranilah sesuatu
menjadi sulit.'
- Seneca -
Mekanistik itu bergerak
seperti mesin. Kita
bunuh akal budi dan
kreativitas orang-orang
kita demi efisiensi,
namun akhirnya mereka
terbelenggu dalam
rutinitas.
Outsourcing artinya
menyerahkan pekerjaan
pada pihak ketiga.
Tujuannya agar kita
fokus pada kompetensi
utama kita dan menye-
barkan risiko. Namun,
pemikiran sebaiknya
jangan di-oufsource, se-
bisa mungkin kerjakan
sendiri dahulu.
dunia baru, melakukan serangkaian eksperimen dan merekrut ahli-ahli baru yang
masih segar secara berkala.
Namun demikian, bila dipelajari lebih jauh, tentu ada penyebab yang perlu
dideteksi untuk mengetahui mengapa sebuah organisasi menjadi "malas" berpikir.
Organisasi yang malas berpikir sebenarnya bukan berarti orang-orangnya benar-
benar malas dan "bodoh", melainkan "desain", leadership dan kultur organisasinya
mengkondisikan organisasi itu menjadi benar-benar malas dalam berpikir dan be-
lajar. Kondisi-kondisi penyebab itu antara lain sebagai berikut:
1. Desain Organisasi Mekanistik
Seperti yang sudah diceritakan dalam bab 7 {Re-Code Organisasi), desain
organisasi mekanistik cenderung membuat manusia bekerja seperti mesin, yaitu
bekerja efisien dengan prosedur yang berulang-ulang, sama, terstandarisasi dan ru-
tin. Dengan demikian manusia tidak perlu lagi berpikir dalam mengerjakan segala
sesuatunya karena semua sudah dibuat sedemikian rupa, tinggal mengikutinya.
Pekerjaan dijadikan habit dan orang bekerja hari ini sama persis seperti kemarin.
Kalau pekerjaan fisik dijadikan habit, mungkin tidak terlalu masalah, tetapi,
kalau pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan konsep, cara
berpikir, eksplorasi dan sebagainya dijadikan rutin, maka
output-nya. menjadi suatu keterbelengguan dalam kebodohan.
Orang-orang hanya belajar dari kemarin, imajinasinya mati.
Desain yang demikian hanya cocok pada era 1970-an, saat lingkungan eko-
nomi politik cenderung stabil dan tak banyak menghadapi hal-hal yang baru.
Lingkungan yang statik dan bergerak lamban tidak perlu dikejar dengan dinami-ka
berpikir seperti sekarang ini.
2. Outsourcing Pemikiran secara Berlebihan
Salah satu sebab mengapa badan-badan pemerintah dewasa ini kurang res-
ponsif adalah karena hampir semua pekerjaan stratejik diserahkan kepada pihak
ketiga (konsultan). Secara hipotetis, organisasi yang terlalu banyak melakukan
outsourcing pemikirannya keluar dapat mematikan proses berpikir kreatif yang ada
di dalam.
Apa pun alasannya, pemakaian jasa konsultan harus dibatasi, dan pemakaian-
nya harus menimbulkan efek pembelajaran yang interaktif. Proyek-proyek yang
menyangkut pemikiran, khususnya konsep, hendaknya tidak sepenuhnya diserah-
kan kepada pihak ketiga. Konsultan tidak selalu harus dilibatkan secara penuh,
mulai dari persiapan hingga laporan akhir. Dalam hal-hal tertentu, di mana keahli-
an tidak dimiliki sama sekali, konsultan baru dapat dilibatkan. Namun sekali lagi,
outsourcing pemikiran secara berlebihan dapat berakibat
kemalasan berpikir.
Dostları ilə paylaş: |