Kontras adalah membandingkan yang dulu dengan sekarang, antara hitam
dengan putih. Sedangkan konfrontasi berarti pengulangan dengan frekwensi yang
tinggi sehingga membantu proses transfer audience dari memori sementara (apa
yang dilihat/didengar) ke memori permanen (long term memory) sampai dikeluar-
kan dan dipakai kembali.
Ritual, iklan, pesan-pesan, dan sebagainya akan melekat kalau mengalami ex-
posure berulang-ulang sampai kelompok yang lebih luas (The Critical Mass) meng-
gunakannya dan berputar sendiri, bergerak secara mekanistik.
KONTRAS ADALAH MEMBANDINGKAN DUA HAL YANG
BERTENTANGAN, MISALNYA ANTARA YANG DULU
DAN SEKARANG. • • • Kaidah Ketiga: Hukum tentang Kegaduhan Suara
(Jangan Abaikan Perkara-perkara Kecil)
Siapa pun yang melakukan Re-Code hendaknya selalu mengingat nasihat
orang tua kita zaman dahulu berikut ini;
Mustahil seseorang dipercaya menangani perkara-perkara
besar kalau menangani perkara kecil saja tidak bisa.
Saya pikir nasihat ini sungguh luar biasa. Maka selalu tengoklah hal-hal kecil,
seperti toilet, ruang tamu, tempat sampah, keset di ruang tamu, dan sebagainya.
Kalau saja seorang manajer atau kepala suatu lembaga mengabaikan hal-hal kecil
seperti ini maka jangan terlalu percaya bahwa mereka mampu menangani kebi-
jakan-kebijakan strategis. Memang benar. Perubahan harus dimulai dari hal-hal
kecil.
Anda bisa saja berkilah, bukankah urusan pemimpin sangat kompleks? Tugas
pemimpin bukan mengurus toilet dan sampah! Benarkah demikian? Mungkin Anda
benar, tetapi studi-studi mengenai perilaku manusia ternyata mengatakan lain :
Apa yang kita lakukan di rumah akan tercermin di luar.
Dengan kata lain pemimpin besar adalah pemimpin yang
menaruh perhatian pada detail.
Dan ternyata, orang-orang yang keadaan rumahnya tidak tertata ternyata tidak bisa
mengurus pekerjaannya dengan baik. Saya menyebut ini sebagai "buang sampah".
Cobalah buang sampah sembarangan di salah satu sudut
pekarangan kantor Anda, dan jangan izinkan petugas
pembersih atau pesuruh Anda untuk mengangkatnya,
beberapa hari saja. Dalam waktu dua hari Anda pasti sudah
menyaksikan di sana sampah Anda sudah mempunyai
beberapa teman berupa kertas, tisu bekas, puntung rokok, tas
plastik, kulit pisang, dan sebagainya.
Dalam seminggu jumlahnya semakin banyak, dan seterusnya. Suatu keadaan
yang kotor, kalau tidak segera dibereskan akan mengundang kotoran-kotoran
lainnya.
Dan lama-lama Anda akan frustrasi, Anda butuh energi besar
untuk membersihkannya.
Sebab yang harus Anda bersihkan bukan saja sampah itu, melainkan juga ke-
biasaan orang-orang membuang kotoran di sana. Hari ini Anda bersihkan, besok
'Manusia akan
sulit memperbaiki
hidupnya, selama
ia menyangkal
realita baru.'
Banyak orang
menghindari bicara dan
menangani yang kecil-
kecil, semata-mata
karena kurang heroik.
Padahal hal-hal kecil-
lahyang menentukan
yang besar. sudah ada sampah baru lagi, entah siapa yang membuangnya. Anda angkat dan tulis pengumuman
dilarang membuang sampah toh sama saja.
Saya juga menyebut perilaku ini sebagai "suara gaduh" yang kasusnya agak mirip. Suara gaduh
dan bising di suatu tempat biasanya beranjak dari suara samar-samar beberapa orang. Saya ambil
contoh saja di ruang tunggu bandara. Saat bagian buku ini saya tulis, saya sedang menunggu di pintu
B25 lantai dasar bandara Viena di Austria. Pagi itu pukul 05.30 antrian sudah mulai panjang untuk
menumpang pesawat Airfrance yang berangkat pukul 06.35. Petugas mulai membuka pintu dan
penumpang yang berjumlah lebih dari 100 orang bersiap-siap menuju bus yang disediakan. Bus itu
sangat besar, dan mampu mengangkut sekitar 75 orang menuju pintu pesawat.
Saya dan istri saya beruntung dapat masuk duluan. Ketika bus yang kami tumpangi masih dalam
keadaan sepi, saya dan istri berbicara perlahan-lahan. Tidak lama kemudian penumpang mulai banyak
yang naik. Orang-orang masih berbicara dengan perlahan, dengan volume suara yang rendah.
Tetapi karena yang berbicara orangnya mulai banyak maka perlahan-lahan saya
perhatikan suara di atas bus mulai semakin bising. Rupanya masing-masing orang
mulai meningkatkan volume suara mereka supaya apa yang mereka ucapkan bisa
didengar oleh pasangan atau teman mereka. Tertawa mereka semakin keras, dan saya bisa
mendengar ucapan orang hispanik kepada teman-
temannya yang berada di barisan depan berjarak lima meter dari saya yang terselangi beberapa orang
di antara jarak kami berdua.
Suara mereka lebih keras dan makin gaduh.
Menjelang bus bergerak, suara di atas bus semakin bising dan semua berbicara dengan keras kare-
na mereka butuh didengar.
Hal seperti itulah yang sebenarnya juga terjadi di ruang-ruang kelas pada saat
seorang guru yang tidak berwibawa sama sekali tengah meng-ajar.
Kalau bapak atau ibu guru mendiamkan satu-dua orang muridnya berbicara, yang lain akan ikut
berbicara. Seperti penyakit menular, perilaku memang cepat merambat pada orang lain. Cobalah
menguap di ruang itu, maka sebentar lagi akan ada dua atau tiga orang yang merasakan kantuk dan
ikut menguap. Cobalah pegang hidung Anda dan rasakan seakan-akan ada rasa gatal yang mengusik
kulit hidung Anda. Maka ajaib sekali, ada beberapa orang yang ikut melakukan hal yang sama dengan
yang Anda lakukan.
Kembali ke guru yang kurang berwibawa tadi, lama-lama kelas pun akan menjadi gaduh. Semua
anak berbicara satu dengan lainnya, dan suara mereka makin berisik, sampai tiba-tiba pak guru terke-
KALAU KITA TIDAK SEGERA MENANGANI PERKARA-PERKARA
KECIL, MAKA KITA PUN TAK AKAN MAMPU MENANGANI PERKARA-
PERKARA BESAR. jut kelasnya didatangi oleh guru dari kelas sebelah yang komplain karena merasa terganggu oleh suara
murid-murid di kelasnya yang mulai terdengar sampai di sebelah.
Dengan kata lain karena pak guru tidak bisa menangani dan tidak mau peduli dengan obrolan
bersuara halus dari satu-dua orang anak di kelasnya, maka lama-lama ia tidak mampu menangani
kegaduhan di kelasnya. Sama dengan masalah sampah tadi, selama kita membiarkan sampah ber-
ceceran, maka ruangan akan menjelma menjadi tempat sampah.
••• Teori Broken Window
Mungkin Anda masih berpikir suara gaduh dan masalah sampah adalah hal sepele yang tidak ada
hubungannya dengan masalah-masalah strategis di negeri ini. Saya merasa perlu meluruskan pan-
dangan-pandangan itu. Mari kita lihat studi yang dilakukan oleh kriminolog George L. Kelling dan
Catherine M. Coles (1996) yang belakangan dikenal dengan teori Broken Window. Baca juga aplikasi
konsep ini dalam upaya perubahan yang dipimpin oleh Walikota New York, Rudolph Giuliani pada
tahun 1994 untuk membasmi kriminalitas. Banyak orang percaya, New York berubah di tangan sang
walikota yang kharismatis. Keliru! New York diubah oleh pemimpin-pemimpin unit yang ternyata
menerapkan Teori Broken Window.
Lantas apa yang dimaksud dengan Teori Broken Window? Kelling dan Coles adalah dua orang
ahli kriminalitas (kriminolog). Lewat studinya, mereka berdua menyimpulkan,
kriminalitas terjadi sebagai akibat (yang tak terelakkan) dari adanya
ketidakteraturan. Semua itu bermula dari, sebut saja, adanya jendela yang
kacanya pecah di suatu pemukiman. Jendela yang pecah (broken window)
yang didiamkan oleh pemiliknya akan mendorong para pelaku kriminal lain
untuk memecahkan kaca jendela lainnya.
Mengapa demikian?
Gladwell dalam bukunya yang berjudul Tipping Point menjelaskan,
jendela pecah yang tidak diperbaiki telah menimbulkan kesan ketidak-pedulian,
sehingga dalam waktu dekat akan ada lagi jendela yang kacanya pecah, yang disusul
dengan vandalisme dan keonaran-keonaran. Sebuah peristiwa kecil yang didiamkan
telah memicu datangnya wabah yang menyulitkan banyak orang. Saya pernah
memberitahu beberapa orang rektor yang saya kenal. Waktu itu saya lihat lampu-lampu di gedung
rektorat suatu kampus begitu redup. Setiap kali masuk gedung itu saya merasakan aura yang kurang
bersemangat. Setelah itu saya pun menyaksikan karyawan yang lesu, toilet yang kotor dan airnya
berceceran ke mana-mana. Bahkan ada gayung yang warnanya sama sekali tidak matching dengan
warna interiornya. Padahal dari luar arsitektur gedungnya luar biasa indahnya. Tak
BANYAK ORANG YANG TIDAK MENYADARI BAHWA
SETIAP KERUSAKAN NILAI-NILAI SELALU DIMULAI
DARI HAL-HAL KECIL. ada yang peduli. Waktu saya beritahu, mereka semua manggut-manggut, tetapi sampai hari ini saya tak
melihat adanya upaya-upaya perbaikan. Yang saya lihat setelah itu justru kemunduran demi ke-
munduran. AC yang tak terurus, petugas yang semakin tampak malas, respons petugas yang sangat
lamban, rasa curiga terhadap pembaharuan terus meningkat dan seterusnya. Bahkan ranking univer-
sitas di antara unversitas-universitas terkenal di dunia terus merosot.
Sekarang marilah kita lihat bagaimana Teori Broken Window bekerja dalam upaya pemberantas-
an kriminalitas di kota New York, yang selama ini dikenal sebagai buah karya walikota bertangan besi
Rudolph Giuliani (faktanya, peran yang lebih dahsyat telah dilakukan oleh direktur urusan kereta api
bawah tanah kota New York jauh sebelum Giuliani menjadi Walikota). Mari kita simak cerita pemba-
haruan itu pada boks berikut ini sebagaimana diuraikan oleh Gladwell (2000).
Kisah David Gunn dan William Bratton
Membasmi Kejahatan di Kereta Bawah Tanah di New York
NEW York di awal 1980-an adalah kota yang sungguh menyeramkan. Di kota ini hampir setiap hari selalu
ditemui korban penodongan, pembunuhan dan pemerasan oleh anggota geng. Begitu terkenalnya, sampai-
sampai kepada setiap mahasiswa asing yang berkunjung ke kota ini, para mentor selalu mengingatkan agar
mahasiswa mengantongi minimal $5 yang pasti diminta oleh para pemeras. Dan kalau diminta, lebih baik
diberikan saja daripada nyawa melayang. Demikian saran mereka.
Bayangkan setiap tahun ada sekitar 2.000 orang yang menjadi korban pembunuhan. Sebagian besar
korbannya, konon orang-orang asing yang sedang berjalan sendirian. Di luar itu, ada lebih dari 600.000 orang
yang melaporkan mengalami tindak kekerasan serius setiap tahunnya. Tapi seperti biasa laporan-laporan itu
tidak bisa ditindaklanjuti. Polisi tidak berdaya dan hukum impoten.
Menarik disimak di New York ada dua orang tokoh penganut Teori Broken Window
yang berambisi melakukan Change! Mereka melihat kejahatan di kereta api sebagai
jendela untuk memberantas kriminalitas secara besar-besaran.
Kedua orang itu adalah David Gunn yang pada tahun 1980-an diangkat menjadi Direktur urusan kereta
api (subway) dan William Bratton, komandan keamanan kereta api. Mereka melihat angka kejahatan di
kereta subway sudah sangat merisaukan. Sudah terlalu banyak orang yang terus menjadi korban pemalakan.
Lama-lama bukan cuma pemerasan. Orang-orang kulit hitam anggota geng bahkan mulai berani menjadi pe-
mungut uang tiket yang mesin-mesin pembelian tiketnya telah mereka rusak. Selain itu ribuan orang setiap
hari mulai berani mengelabui petugas sehingga tidak membeli tiket. Total kerugian semakin hari semakin
besar. Persis seperti masalah kereta api di Indonesia.
Mereka berdua sepakat memulai pekerjaan besar itu dari hal-hal kecil, yaitu aksi corat-coret (vandalisme).
Tentu saja ketika memulainya banyak orang yang meragukan David Gunn. Masa membenahi perkeretaapian
dengan memberantas vandalisme? Apa tidak ada konsep yang lebih hebat? Mengapa tidak pakai sistem saja?
Semua orang merasa cara itu kurang tepat. Tapi Gunn dan Bratton tidak melihat demikian.
Bagi mereka, kalau vandalisme berhasil diatasi, maka yang lain akan menyusul. Sedangkan yang lainnya me- lihat hal ini kurang heroik. Tapi mereka jalan terus. Sebuah rute mereka pilih dan di ujung jalan itu mereka mem-
bangun pos pembersihan. Begitu ditemukan sebuah kereta menjadi korban vandalisme, maka ia harus segera
dibersihkan di pos itu. Kereta yang sudah bersih di jaga sepanjang waktu. Gerbong kotor tidak boleh dicampur
dengan gerbong-gerbong yang bersih. Gunn tahu persis para preman butuh waktu 3 hari untuk mencorat-coret.
Hari pertama mereka memberi cat dasar. Hari kedua memasang pola, dan hari ke 3 mereka mulai mencorat-coret.
Mereka dibiarkan mengisi tiga hari itu sampai corat-coret itu menjadi kenyataan. Tetapi begitu Jadi, hari itu
juga dibersihkan sehingga jejak mereka belum sempat dilihat orang. Pesan yang hendak disampaikan
sangat jelas: Vandalisme tidak ada tempatnya lagi di sini, dan pekerjaan itu akan sia-sia. Mereka tentu marah
sekali. Tapi sejak itu vandalisme pun berakhir.
Bersamaan dengan itu, fasilitas kereta api mereka perbaiki. William Bratton segera memimpin pem-
berantasan kebiasaan naik kereta tanpa karcis. Bagi mereka, naik tanpa karcis adalah ketidakteraturan yang
menjadi sumber kriminalitas. Orang-orang yang ditangkap langsung diborgol, dan disuruh berdiri di depan
loket sambil menunggu tangkapan-tangkapan yang lain sehingga menjadi tontonan masyarakat. Berjam-
jam mereka di sana, sebelum digiring ke kantor polisi dan dibebaskan. Mereka memang dibebaskan, tetapi
sebelum itu mereka harus dipermalukan dulu dan dicatat datanya oleh petugas polisi selama berjam-jam.
Belakangan diketahui, satu dari sepuluh orang yang tak membayar karcis selalu!
ditemui punya kecenderungan kriminal. Ada yang membawa senjata tajam, obeng, atau
narkoba, dan sebagian punya catatan kejahatan. Polisi Jadi bersemangat. Sebab di situ mereka menemukan
penjahat-penjahat yang sedang mereka cari: Pembunuh, pencuri, pemadat, pelanggar hukum, pemerkosa,
pengedar uang palsu, penodong, dan sebagainya.
Pada tahun 1994, saat Giuliani terpilih sebagai walikota, Bratton diangkat menjadi kepala polisi di kota
itu. Ia tetap konsisten memberantas kejahatan-kejahatan kecil sampai ke akarnya. Kalau hal ini dilakukan di
sini, saya tidak dapat bayangkan betapa Bratton akan mendapat tantangan yang luar biasa. Wartawan, tokoh-
tokoh politik, LSM, dan orang-orang pintar lainnya pasti akan memanfaatkan momentum ini untuk tampil se-
cara heroik. Mereka akan berpura-pura menjadi penyelamat negeri ini dengan membela penjahat-penjahat
kelas teri atau rakyat kecil. Mereka akan mengatakan demikian:
"Penjahat kakap, penilep uang BLBI milyaran rupiah tidak diburu, tetapi maling
ayam dikejar-kejar. Sebaiknya polisi mengejar mereka dulu, dan membebaskan
rakyat kecil yang sudah susah dari teror kehidupan." Tapi kalau mereka berhadapan dengan
Bratton mereka akan menerima serangan balik. Bagi Bratton dan para penganut Teori Broken Window atau
Teori Suara Gaduh, mustahil kita bisa memberantas kejahatan kalau kejahatan-kejahatan kecil kita biarkan.
Bagi mereka, setiap kejadian kecil cuma merupakan awal saja bagi kejahatan besar.
Bratton dan Gunn terbukti benar. Angka kejahatan pada tahun 1996 merosot 75% dibandingkan 10 tahun
sebelumnya, dan orang merasa lebih aman berjalan di New York. Mereka telah membangun
suatu keteraturan baru. Memang benar, suatu ketidakteraturan adalah benih bagi
kejahatan. Dan obatnya sebenarnya tidak susah-susah amat,
tinggal kita mau berpikir sederhana atau tidak. Pilihannya cuma
ada dua: Bekerja praktis atau berpura-pura heroik. Semua
terpulang pada kita.
Diolah dari Malcolm Gladwell
"Tipping Point" (2000)
• • • Kaidah Keempat: The Power of Context
Siapa pun yang menerapkan teori-teori manajemen hendaknya sadar betul
bahwa manajemen adalah art dan science. Sebagai science, manajemen akan sangat
powerful kalau orang tahu seni memanfaatkannya. Dengan kata lain, manajemen
adalah ilmu yang penerapannya berhubungan dengan konteks, yaitu situasi,
kondisi, waktu, dan tempat di mana konsep itu diterapkan.
Kalau seseorang mengabaikan konteks itu, maka manajemen
akan kehilangan dayanya. Manajemen tidaklah vakum, tidak
bebas dari konteks di mana ia berada seperti rumus-rumus
fisika, atau ilmu kimia.
Sesuatu yang berhasil di suatu perusahaan, di suatu negara, tidak dengan sendi-
rinya dapat dikopi begitu saja di tempat lain. Masing-masing memiliki konteksnya
sendiri. Kualitas SDM mereka berbeda, nilai-nilai budayanya tidak sama, kemam-
puan pembiayaan, jumlah orang, gaya kepemimpinan, dan Iain-lain cukup mem-
pengaruhi.
Maka itu, mainkan dan ukurlah konteks di mana Anda akan melakukan Re-
Code. Apakah seseorang menerima semua yang disebutkan di atas dan melakukan
Re-Code seperti yang dilakukan oleh
Paul Revere akan berhasil menahan
serangan musuh? Apa yang akan
terjadi bila orang itu mengirim pesan
via SMS dan bukan menunggang
kuda? Apa yang akan terjadi bila
Revere mengun-jungi orang-orang itu
di siang hari?
Malam hari adalah keadaan yang
berbeda dengan siang hari. Bila
telepon berbunyi di malam hari, sebut
saja jam 11.00 malam, maka jantung
kita langsung ber- degup. Kita percaya telepon itu pasti bukan menyampaikan sembarang berita,
melainkan sesuatu yang sangat penting. Pukul segitu berarti semua orang praktis
sudah di rumah. Mungkin kita nyaris tidur, atau sudah mulai tertidur. Siapa pun
yang menghubungi Anda malam hari itu, pasti ingin menyampaikan pesan "urgent"
dan kita harus segera bertindak. Akan lebih urgent lagi bila tengah malam ada
orang yang menggedor pintu rumah kita dan menunjukkan bahasa tubuh ketergesa-
gesaan. Ini pasti sangat penting. Itu sebabnya pesan Paul Revere yang sengaja
datang berkuda di malam hari ditanggapi serius oleh para milisi di dekat kota
Lexington.
'Jangan pernah
mengatakan
anak-anak didik
kita bodoh karena
itu akan menjadi
pegangan mereka.
Katakanlah
mereka cerdas,
agar ia membuka
jendela dunia.'
Konteks Rasionalitas: Kasus Rumor McDonald
SALAH satu kesalahan besar para praktisi dan pengajar di sekolah-sekolah bisnis adalah mengabaikan tingkat
rasionalitas yang ada di antara bangsa-bangsa. Akibatnya sebuah konsep yang berhasil diterapkan di suatu
bangsa/negara atau suatu perusahaan, dianggap dapat diterapkan begitu saja di sini atau di perusahaan-
perusahaan yang ada di sini.
Tentu saja keliru. Anda bisa belajar dari bangsa atau perusahaan lain, tetapi dalam penerapannya Anda
harus sadar konteks. Kejadian berikut ini menimpa kedai waralaba terkenal McDonald's di Amerika Seri-
kat pada tahun 1970-an di daerah Chicago. Saya gunakan cerita ini untuk mengajak Anda merenung dan
memikirkan: andaikan hal ini terjadi di sini, apakah masyarakatnya merasionalisasikan rumor tersebut dengan
sama? Mari kita simak kejadian berikut ini.
Sore hari di tahun 1970-an, seorang penjaga kedai di McDonald's mengeluh pada atasannya. Tak seperti
biasanya, hari itu kedai McD tampak sepi. Tak ada antrean dan suara anak-anak. Mereka saling bertanya. Ma-
najer pun mulai curiga. Esok paginya orang-orang yang bekerja di sana mulai merasa lebih jelas. Ternyata
yang sepi dikunjungi konsumen bukan cuma satu kedai itu saja, melainkan juga kedai-kedai McD lainnya di
kota itu.
Gambar 8.2Sekarang jelas, ada sebuah rumor yang beredar di kota itu yang mengatakan bahwa McD memakai daging cacing,
bukan daging sapi. Warnanya sama-sama merah. Hari itu, rumor itu beredar cukup kuat, dan orang-orang yang mendengar
berita itu telah menyampaikan kepada empat sampai delapan orang lainnya. Orang-orang yang mendengar berita itu tiba-tiba
menjadi enggan ke McD. Mereka kaget. Seperti orang yang terkena kecelakaan, mereka bengong.
Percayakah masyarakat Amerika terhadap berita itu?
"Saya cuma terkejut," ucap seorang warga.
Yang lainnya mengatakan begini, "Kayanya tidak mungkin ya McD memakai daging cacing."
McDonald's bertindak cepat. Di Amerika Serikat, orang sangat percaya pada Badan POM (Pengawas Obat dan
Makanan) mereka yang sangat credible, yaitu FDA (Food and Drugs Administration). FDA dikenal sangat ketat dan
mempunyai peneliti-peneliti yang andal serta tidak dapat dibeli. Tak lama setelah itu McDonald's pun menyebarkan pamflet
yang dipasang di kaca-kaca jendela kedai-kedainya. Tulisannya: 100% Pure Beef. Di bawahnya tertera nama endorser-nya,
yaitu FDA.
Amerika memiliki konteks yang berbeda dengan kita. Masyarakatnya sangat rasional. Bila ada sebuah informasi yang
meragukan, mereka akan kembali berpikir, bukan kembali ke mitos seperti di sini. Seorang yang melihat pohon pisang
mengeluarkan jantung dua buah bukan mencari penjelasan ilmiahnya di sini, melainkan mencari jawaban dari mimpi atau
firasat, yaitu apakah ini berkah atau pertanda buruk?
Demikian pula bila mendengar gosip atau rumor, orang tidak segera merasionalisasikannya, melainkan menatapnya
secara emosional dan penuh curiga. Masyarakat kita selalu berpikir, lembaga-lembaga pemerin-tah adalah badan yang tidak
bisa dipercaya, gaji pegawai-pegawainya rendah sehingga setiap endorsement pasti ada uangnya.
Mari kita kembali ke Amerika Serikat yang konteksnya berbeda dengan kita itu. Berhasilkah Re-Code yang mereka
lakukan dengan Pendekatan rasional? Benar! Mereka berhasil. Terbukti, orang-orang yang ditanya selalu menjawab: "FDA
sudah memberi jawaban, dagingnya 100% sapi." Apakah saudara percaya pada rumor itu? "Tidak! Mana mungkin daging
cacing dipakai perusahaan yang bereputasi tinggi. Lagipula harga daging cacing lebih mahal daripada daging sapi."
Konteks adalah situasi
dan kondisi di mana
sebuah kejadian berada
yang harus kita analisis
dalam-dalam sebelum
kita melakukan
Re-Code.
Konteks adalah atmosfer di mana sebuah tindakan Re-Code
akan dilakukan.
Konteks itu bisa berupa waktu maupun tempat di mana kita berada. Karena
konteksnya berbeda, maka treatment dalam menerapkan change dan Re-Code The
Critical Mass-nya juga berbeda.
Pada kasus McDonald's yang terimbas rumor tentang daging cacing di atas,
menyangkut tempat yang cara berpikir masyarakatnya berbeda. Saya ingin
meneruskan sedikit bagaimana McD merespons rumor itu Selanjutnya. Orang-
orang yang tidak percaya bahwa McD mengandung daging cacing rupanya cukup
lega dengan pernyataan FDA di atas. Tetapi bagi orang-orang bisnis percaya saja
tidak cukup. Bisnis memerlukan sales. Bagaimana Selanjutnya? McDonalds ternyata tetap sepi.
Orang-orang yang tidak percaya terhadap rumor tadi ternyata belum mau
kembali datang ke McD. Believe dan action ternyata merupakan dua hal yang ber-
beda. Mereka percaya pada McD, tetapi tetap tidak mau makan di sana.
Mengapa demikian?
Dostları ilə paylaş: |