TUGAS MANAJEMEN
PERUBAHAN
DI
S
U
S
U
N
OLEH:
FEBRI NELDIKO 201000410049
MANAJEMEN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Steven Covey
TUJUH (7) KEBIASAAN MANUSIA YANG SANGAT EFEKTIF
Kebiasaan 1 : Jadilah Proaktif
Bersikap proaktif adalah lebih dari sekedar mengambil inisiatif. Bersikap proaktif artinya bertanggung jawab atas perilaku kita sendiri (di masa lalu, di masa sekarang, maupun di masa mendatang), dan membuat pilihan-pilihan berdasarkan prinsip-prinsip serta nilai-nilai ketimbang pada suasana hati atau keadaan. Orang-orang proaktif adalah pelaku-pelaku perubahan dan memilih untuk tidak menjadi korban, untuk tidak bersikap reaktif, untuk tidak menyalahkan orang lain. Mereka lakukan ini dengan mengembangkan serta menggunakan keempat karunia manusia yang unik – kesadaran diri, hati nurani, daya imajinasi, dan kehendak bebas – dan dengan menggunakan Pendekatan Dari Dalam Ke Luar untuk menciptakan perubahan. Mereka bertekad menjadi daya pendorong kreatif dalam hidup mereka sendiri, yang adalah keputusan paling mendasar yang bisa diambil setiap orang.
Kebiasaan 2 : Merujuk pada Tujuan Akhir
Segalanya diciptakan dua kali – pertama secara mental, kedua secara fisik. Individu, keluarga, tim, dan organisasi, membentuk masa depannya masing-masing dengan terlebih dulu menciptakan visi serta tujuan setiap proyek secara mental. Mereka bukan menjalani kehidupannya hari demi hari tanpa tujuan-tujuan yang jelas dalam benak mereka. Secara mental mereka identifikasikan prinsip-prinsip, nilai-nilai, hubungan-hubungan, dan tujuan-tujuan yang paling penting bagi mereka sendiri dan membuat komitmen terhadap diri sendiri untuk melaksanakannya. Suatu pernyataan misi adalah bentuk tertinggi dari penciptaan secara mental, yang dapat disusun oleh seorang individu, keluarga, atau organisasi. Pernyataaan misi ini adalah keputusan utama, karena melandasi keputusan-keputusan lainnya. Menciptakan budaya kesamaan misi, visi, dan nilai-nilai, adalah inti dari kepemimpinan.
Kebiasaan 3 : Dahulukan yang Utama
Mendahulukan yang utama adalah penciptaan kedua secara fisik. Mendahulukan yangdk utama artinya mengorganisasikan dan melaksanakan, apa-apa yang telah diciptakan secara mental (tujuan Anda, visi Anda, nilai-nilai Anda, dan prioritas-prioritas Anda). Hal-hal sekunder tidak didahulukan. Hal-hal utama tidak dikebelakangkan. Individu dan organisasi memfokuskan perhatiannya pada apa yang paling penting, entah mendesak entah tidak. Intinya adalah memastikan diutamakannya hal yang utama.
Kebiasaan 4 : Berpikir Menang/Menang
Berpikir menang/menang adalah cara berpikir yang berusaha mencapai keuntungan bersama, dan didasarkan pada sikap saling menghormati dalam semua interaksi. Berpikir menang/menang adalah didasarkan pada kelimpahan – “kue” yang selamanya cukup, peluang, kekayaan, dan sumber-sumber daya yang berlimpah – ketimbang pada kelangkaan serta persaingan. Berpikir menang/menang artinya tidak berpikir egois (menang/kalah) atau berpikir seperti martir (kalah/menang). Dalam kehidupan bekerja maupun keluarga, para anggotanya berpikir secara saling tergantung – dengan istilah “kita”, bukannya “aku”. Berpikir menang/menang mendorong penyelesaian konflik dan membantu masing-masing individu untuk mencari solusi-solusi yang sama-sama menguntungkan. Berpikir menang/menang artinya berbagi informasi, kekuasaan, pengakuan, dan imbalan.
Kebiasaan 5 : Berusaha untuk Memahami Terlebih dulu, Baru Dipahami
Kalau kita mendengarkan dengan seksama, untuk memahami orang lain, ketimbang untuk menanggapinya, kita memulai komunikasi sejati dan membangun hubungan. Kalau orang lain merasa dipahami, mereka merasa ditegaskan dan dihargai, mau membuka diri, sehingga peluang untuk berbicara secara terbuka serta dipahami terjadi lebih alami dan mudah. Berusaha memahami ini menuntut kemurahan; berusaha dipahami menuntut keberanian. Keefektifan terletak dalam keseimbangan di antara keduanya.
Kebiasaan 6 : Wujudkan Sinergi
Sinergi adalah soal menghasilkan alternatif ketiga – bukan caraku, bukan caramu, melainkan cara ketiga yang lebih baik ketimbang cara kita masing-masing. Memanfaatkan perbedaan-perbedaan yang ada dalam mengatasi masalah, memanfaatkan peluang. Tim-tim serta keluarga-keluarga yang sinergis memanfaatkan kekuatan masing-masing individu sehingga secara keseluruhannya lebih besar seperti ini mengenyampingkan sikap saling merugikan (1 + 1 = 1/2). Mereka tidak puas dengan kompromi (1 + 1 = 1 ½), atau sekedar kerjasama (1 + 1 = 2). Melainkan, mereka kejar kerjasama yang kreatif (1 + 1 = 3 atau lebih).
Kebiasaan 7 : Mengasah Gergaji
Mengasah gergaji adalah soal memperbaharui diri terus-menerus dalam keempat bidang kehidupan dasar: fisik, sosial/emosional, mental, dan rohaniah. Kebiasaan inilah yang meningkatkan kapasitas kita utnuk menerapkan kebiasaan-kebiasaan efektif lainnya. Bagi sebuah organisasi, Kebiasaan 7 menggalakkan visi, pembaharuan, perbaikan terus-menerus, kewaspadaan terhadap kelelahan atau kemerosotan moral, dan memposisikan organisasinya di jalan pertumbuhan yang baru. Bagi sebuah keluarga, Kebiasaan 7 meningkatkan keefektifan lewat kegiatan-kegiatan pribadi maupun keluarga secara berkala, seperti membentuk tradisi-tradisi yang merangsang semangat pembaharuan keluarga.
Rekening Bank Emosional
Rekening Bank Emosional mencerminkan tingkat kepercayaan dalam suatu hubungan. Seperti rekening keuangan di Bank, kita memasukkan simpanan ke atau melakukan penarikan dari rekening ini. Perbuatan-perbuatan seperti berusaha untuk memahami terlebih dulu, sikap murah hati, menepati janji, dan bersikap setia walaupun orang yang bersangkutan tidak hadir, meningkatkan saldo kepercayaan. Tidak murah hati, melanggar janji, dan bergosip tentang seseorang yang tidak hadir, mengurangi atau bahkan menghapuskan kepercayaan dalam suatu hubungan.
Paradigma
Paradigma adalah cara masing-masing orang memandang dunia, yang belum tentu cocok dengan kenyataan. Paradigma adalah petanya, bukan wilayahnya. Paradigam adalah lensa kita, lewat mana kita lihat segalanya, yang terbentuk oleh cara kita dibesarkan, pengalaman, serta pilihan-pilihan kita selama ini.
Referensi: Diambil dari ringkasan buku 7 Habits
Renald Kasali
RE-CODE
YOUR CHANGE DNA 'Perubahan pada dasarnya bukanlah menerapkan
teknologi, metode, struktur, atau manajer-manajer baru.
Perubahan pada dasarnya adalah mengubah cara
manusia dalam berpikir dan berperilaku.' KATA PENGANTAR
TAK lama setelah buku CHaNgE! beredar saya menerima banyak sekali
tanggapan dan komentar. Salah satu komentar yang banyak saya temui adalah
mengapa baru seka-rang buku seperti ini diterbitkan. Komentar seperti itu lama
saya renungi. Akhirnya saya menyesali sendiri, karena memang saya cukup lama
menahannya.
Kebetulan hari-hari itu saya diminta untuk memasukkan karya-karya ilmiah saya
untuk pengurusan gelar guru besar saya. Sebagai seorang academician saya
dituntut untuk berkarya dan menulis.
Upaya-upaya seperti itu tentu sangat menyita waktu. Selain harus melakukan
peneli-tian, gaya penulisannya juga berbeda. Tetapi kalau saya terus menerus
berkonsentrasi di sana, maka saya akan kehilangan waktu menulis karya-karya
seperti ini.
Saya mengalami sejumlah dilema: Melakukan publikasi internasional yang
berguna untuk karier saya sebagai academician, atau mengolah konsep-konsep
itu dan memberi sentuhan kontekstual pengalaman dan pengamatan profesional
untuk kepentingan bang-sa saya yang sedang kehilangan arah?
Ketika waktu mengharuskan saya untuk memilih maka terjadilah proses itu.
Saya mengikuti pola Mohammad Yunus (lihat bab 5), meninggalkan pola sangkar
burung - berpikir dari atas - menjadi pola cacing yang hidup di bawah - serta
merasakan sendiri.
Setelah sibuk mengurus yang pertama, saya pun mulai berkonsentrasi menggali
ide-ide baru. Apalagi ada begitu banyak keluhan yang saya terima sehubungan dengan
ancaman-ancaman yang dihadapi para pembaharu.
Ketika CHaNgE! dipresentasikan kepada hampir semua bawahan, maka Semuanya
mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi ketika akan dijalankan, terasa sekali betapa
beratnya. Orang-orang yang mengangguk-anggukkan kepala itu ternyata hanya mampu
menjadi penonton. Dan ketika perubahan mulai menyentuh kepentingan mereka, maka
mereka dapat mengorganisir diri menentang perubahan yang indah itu.
Bagi para pembangkang, perubahan tiba-tiba dianggap sebagai ancaman. Dan tokoh-
tokohnya dapat dianggap sebagai musuh. Mereka bisa bergerak terbuka. Tetapi sebagian
besar dari pembangkang itu lebih memilih diam-diam, melawan dengan SMS, surat-surat
kaleng tanpa identitas, dan sebagainya.
Mereka setuju harus berubah, tetapi mereka juga menghalanginya. Mereka resisten
dan membuat blok-blok penghalang. Yang mereka perjuangkan hanya self interest. Se-
suatu yang tadinya bagus di atas kertas, tiba-tiba menjadi kusut, kacau, bergerak random,
penuh kecurigaan.
Memang benar kata orang bijak, lawan kita tidak ada di luar sana, melainkan di dalam
rumah sendiri.
Kala kita bodoh, kita memang ingin
menguasai orang lain. Tetapi kala kita
bijak, kita ingin menguasai diri sendiri. vii
Kejadian-kejadian seperti itu sungguh merisaukan kita semua. Sehingga setiap visi
tidak bisa diterjemahkan ke dalam sebuah gerakan pembaharuan yang linear. Tengok-
lah, ada begitu banyak komentar yang beredar: "Kita memang telah berubah, tetapi tidak
menjadi lebih baik." Sebab faktanya memang demikian.
Bila dibayangkan sebuah kekeliruan besar menebar di mana-mana. Yang kita hadapi ini
mirip sekali dengan kejadian di lapangan parkir suatu malam. Ketika lapangan parkir
sudah sepi, seorang petugas keamanan menegur seorang pemabuk yang tengah men-
cari-cari sesuatu di bawah sorotan lampu yang terang.
"Maaf pak, sedang mencari apa?" tanya petugas.
Orang itu menjawab, "Kunci mobil saya jatuh."
Petugas membantu mencari tetapi tidak berhasil menemukan. Ia lalu bertanya lagi,
"Mengapa carinya di sini, pak?"
Pemabuk tadi menjawab polos, "Ya, karena di sini ada lampunya!"
Terhadap setiap persoalan yang demikian kompleks, kita memang tidak bisa berharap
terlalu banyak, meski kita perlu menumbuhkan harapan. Kita belum bisa bergerak selama
belum mampu membebaskan diri dari aneka belenggu. Padahal belenggu-belenggu itu
begitu banyak dan sudah mengakar kuat.
Belenggu-belenggu itu ada di pikiran orang-orang lama, ada di tradisi, organisasi, per-
aturan-peraturan, lembaga-lembaga keuangan, kecemburuan masyarakat, ketakutan-
ketakutan, sampai pada perilaku makro dan tatanan-tatanan sosial.
Memang betul musuh yang harus kita hadapi adalah pikiran-pikiran kita sendiri. Tetapi
begitu kita menghadapinya, kita juga kebentur dengan pikiran-pikiran orang lain dan per-
aturan-peraturan yang ada.
Buku ini ditulis untuk menyemangati spirit perubahan yang sudah mulai tumbuh dan
memberi model yang lebih terstruktur untuk melakukan pembaharuan. Buku ini ditulis
untuk seluruh masyarakat. Entah mereka berteori atau tidak, semua orang punya hak dan
kewajiban untuk memperbaharui hidup ini.
Perubahan memerlukan Anda semua, bersatu, bergerak, dan menyelesaikannya. Siapa yang bisa memimpin harus berani maju ke depan. Siapa yang mau
berubah harus membuka pikirannya. Kalau tidak memimpin, kita harus sama-
sama bergerak. Kalau memimpin tak bisa, dipimpin tak mau ikut, silakan duduk
manis di tepi atau keluar sama sekali.
Buku ini ditulis di setiap perjalanan, namun diilhami dan didorong oleh se-
buah inspirasi saat penulis menyepi bersama keluarga di padang rumput yang
tandus di benua Afrika. Saat itu akhir Desember 2005, udara sejuk sekitar lima
derajat Celsius. Di Savana Masai Mara, Kenya, di tepi sebuah sungai pada sebuah
lodge. Di situ kami memandang migrasi hewan-hewan liar dari Kenya menuju
Tanzania.
Ditemani lilin-lilin kecil pada malam tahun baru, di Masai Mara saya bertemu
dengan Le Peres, putra seorang tetua adat Suku Masai yang selalu menggunakan
jubah merah. Ia menemani kami mengelilingi, padang luas yang menjadi habitat
hewan-hewan liar. Menemui harimau, leopard, heyna, gajah, jerapah, banteng,
badak, berbagai jenis burung dan rusa. Le Peres menjamin tak ada harimau yang
berani menerkamnya. "Mereka semua takut dengan jubah merah Suku Masai
dan aroma tubuh kami," ujarnya.
Tetapi yang sangat mengesankan bagi saya adalah semangat hidupnya
untuk berubah. Ketika ribuan orang sesuku dengannya masih hidup dalam ru-
mah-rumah adat yang dibuat dari kotoran sapi, Le Peres justru pergi ke Nairobi.
Perjalanan yang harus ditempuh sekitar 12 jam itu sudah dilakukan Peres semen-
jak menginjak SMU. Ini Afrika bukan Asia. Di mana tanah tandus, hewan-hewan
buas, dan dahaga begitu menyengat. Di mana transportasi tak semudah yang
kita bayangkan.
Apa yang mendorong Peres untuk berubah? "Saya tidak ingin adik-adik
saya hidup begini terus. Terbelakang dan bodoh," ujarnya.
Di rumah adat, suatu ketika Peres bertemu dengan seorang turis yang baik
hati. Pembicaraan itu berakhir dengan kesan yang begitu dalam. Turis itu mem-
berikan kail agar Peres melanjutkan sekolahnya sampai ke universitas. Di sanalah
ia belajar tentang hidup dan berkenalan dengan ilmu pengetahuan.
Peres harus bersekolah, dan supaya bisa berubah ia harus keluar dari
sangkarnya, ke-luar dari rumah-rumah tanpa jendela berkarpet tahi
sapi. Ia harus berinteraksi dengan dunia luar.
Turis itu mengirim uang setiap bulan, untuk sekolah dan biaya hidup.
Sayang tak lama menjelang lulus, "malaikat" baik itu dipanggil Tuhan
dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di negerinya.
Peres harus berhenti sekolah dan kembali ke desanya di padang
rumput Suku Masai. Tapi upaya "malaikat" seperti itu tidak pernah sia-
sia. Kini Peres telah tumbuh, menjadi pemuda yang berbicara dalam
bahasa asing dan memberi cahaya bagi orang-orang di kampungnya.
Sebuah proses kecil telah menapakkan sejarah di Tanah Afrika. Kita
semua bisa melakukannya. Dan ketika perubahan itu kita selesaikan,
maka ia pun telah menjelma men-jadi sejarah.
Andakah "malaikat" yang siap menolong bangsa ini? Perubahan
mengajarkan kita sesuatu, yaitu kehidupan yang tak pernah berhenti,
dan manusia diberi ruang untuk meresponsnya.
Masai Mara, Kenya, 31 Desember 2005 (Diteruskan di Praha, Ceko dan
Grenoble, Prancis)
Le Peres ingin hidupnya berubah, begitu juga Suku Masai
Masai Mara, Kenya - Desember 2005
• Organisasi yang adaptif didukung oleh sumber daya manusia dengan kadar
Change DNA yang tinggi.
• Change DNA pertama-tama harus diukur kadarnya (cek kadar OCEAN).
• Sifat dan perilaku manusia tersimpan dalam bentuk kode-kode (Change
DNA) yang disingkat OCEAN (Openness to experience, Consciousness,
Extroverts, Agreeableness, Neuroticism).
• Untuk menghidupkan kadar Change DNA, perlu dilakukan re-orientasi
OCEAN.
• Ada dua bagian yang perlu di Re-Code, yaitu manusia sebagai individu {Re-
Code Individu) dan organisasi yang menjadi rumahnya (Re-Code
Organisasi)
• Manusia bergerak karena pemimpinnya, maka Change DNA pemimpin perlu
dikode ulang (Re-Code The Leader).
• Organisasi tidak hanya perlu di Re-Code desainnya saja (struktur, nuansa,
linkages, boundary), melainkan juga kelompok-kelompok besarnya.
• Kelompok besar itu dibentuk melalui jaringan-jaringan yang disebut "The
Critical Mass" (Re-Code The Critical Mass). Merekrut Change Agents secara
konvensional kurang efektif.
• Pusat pengkodean ulang perilaku-perilaku itu adalah cara berpikir yang
menentukan cara bekerja. Ini adalah saatnya melakukan Re-Code Pikiran,
dari hubungan yang berfokus pada kesalahan (problem-based) dan pasif
(you tell them), menjadi lebih produktif dan berorientasi pemecahan masalah
(solution-based) dan aktif (we ask them, they tell us).
• Jalankan berulang-ulang, maka terbentuklah keindahan manusia pada
organisasi baru yang cerdas. DA banyak cara untuk membuat agar manusia lebih mudah memahami sebuah teori
atau konsep, dan salah satunya adalah dengan memberikan banyak ilustrasi sehingga
menjadi lebih mudah dipahami. Oleh karena itulah buku ini mengandung empat hal,
yaitu cerita (kasus), konsep (teori), strategi, dan filosofi. Cerita dan kasus-kasus itu diam-
bil dari manca negara, dari segala pengamatan dan interaksi di lapangan dengan para pelaku
usaha. Sedangkan teori-teori yang ada diramu kembali sehingga hasil ekstraksi itu menghasil-
kan sebuah sajian yang saya sebut Re-Code.
A Kumpulan Cerita Itu...
Mari kita bahas dulu cerita-cerita dan kasus-kasus yang digunakan dalam buku ini. Cerita dan
kasus itu terdiri atas tiga hal, yaitu kejadian-kejadian lepas yang saya temukan dalam peng-
amatan di berbagai penjuru dunia, berita-berita atau liputan media massa, dan kepemimpinan
para pembaharu, baik yang masih hidup maupun yang sudah lama tiada. Semua cerita itu dapat
kita ibaratkan sebagai butiran-butiran mozaik yang tersebar di berbagai negara yang berdiri
sendiri-sendiri. Sebagai ilmuwan, tugas saya adalah merangkai kembali butir-butiran mozaik itu
sehingga membentuk sebuah pola yang bisa kita baca dan kita gunakan bersama demi kemas-
lahatan manusia.
Maka saya mulai dengan catatan-catatan kecil yang saya kumpulkan dari kunjungan ke berba-
gai perusahaan, dari dialog-dialog dengan sebagian besar para CEO Indonesia yang
mengundang saya berbicara pada rapat-rapat kerja di perusahaan mereka yang tak pernah
berhenti sejak buku CHaNyE! yang saya tulis beredar. Saya mengunjungi hampir semua BUMN,
bank (termasuk bank-bank asing), asuransi, perusahaan-perusahaan minyak dan kontraktor-
kontraktor asing, biro-biro iklan dan klien-klien mereka, partai-partai politik, media massa,
perusahaan transportasi, sampai universitas-universitas dan lembaga-lembaga pemerintahan,
pemerintah daerah, UKM dan kope-rasi serta berbagai sekolah. Saya mendengarkan keluhan
dan harapan-harapan mereka. Selain itu, sebagai dosen dan ketua program Pasca Sarjana ilmu
Manajemen dan di MMUI saya juga berkesempatan mengunjungi berbagai kampus baik di
dalam maupun di luar negeri, baik untuk mengajar, memberikan presentasi ilmiah, menyerap
pengetahuan maupun menjajaki kerja sama antaruniversitas.
Saya juga berbicara dengan beberapa guru besar terke-
muka dunia, seperti Michael Porter (Harvard Business
School) dan Shoemaker (Warthon School) serta CEO
General Electric, Jeff Imelt. Saya memahami langkah-langkah yang mereka ambil dan apa impresi
mereka tentang tantangan usaha dan
negara dalam melakukan transformasi. Bersama Michael Porter (Harvard Business
School)
Selanjutnya saya mengamati sendiri dalam berbagai kunjungan, baik itu kunjungan bisnis mau-pun
leisureyang sengaja saya lakukan untuk melihat sendiri dan mengendus (sensing) apa yang te-ngah
terjadi. Maka saya mendatangi Chiang May dan Bangkok (Thailand), Kuala Lumpur, Kucing dan Kuala
Selangor (Malaysia), Naning dan Guang Chou (China), Seoul dan Pusan (Korea Selatan), Kobe dan
Tokyo (Jepang), Sidney dan Gold Coast (Australia), Cape Town dan Cape of Good Hope (Afrika
Selatan), Nairobi dan Masai Mara (Kenya), Marakesh dan Rabat (Maroco), Cairo dan Iskandaryah (Me-
sir), Dubai (UAE), Doha (Qatar), Paris, Lyon dan Grenoble (Prancis), Viena dan Salzburgh (Austria), Am-
sterdam dan Groningen (Belanda), Budapest (Hongaria), Praha dan Karlovy Vary (Ceko), Bucharest
(Romania), Berlin (Jerman), Milan, Venezia, dan Roma (Italia), Barcelona (Spanyol), Bergen (Norwegia),
Goteburgh dan Stockholm (Swedia), St. Peters burgh dan Moscow (Rusia).
Di kota-kota itu saya merekam segala kejadian, baik yang saya alami sendiri maupun yang
saya dengar dari berbagai pihak. Saya berinteraksi dengan kalangan bisnis, akademis, masyara-
kat biasa dan para diplomat kita di luar negeri. Butiran-butiran mozaik itu sekarang terangkai de-
ngan lebih sempurna. Dalam tempo yang relatif singkat saya melihat sebuah gejolak perubahan
yang dihadapi berbagai kalangan dengan respons yang berbeda-beda. Ada yang sudah be-
rada jauh di depan, ada yang tertatih-tatih mengikuti langkah yang di depan, ada yang hampir
punah, dan ada yang bergeliat berat dengan segala keterbatasannya, dan ada pula yang tidak
peduli. Tapi tak ada yang terbebas dari gejolak perubahan itu. Mereka semua wajib beradaptasi,
atau perlahan-lahan mati dan punah bersama keturunan-keturunannya.
Cerita-cerita mereka dan pengamatan di lapangan itu kemudian diperkaya dengan berita-
berita dan liputan media massa yang saya ekstrak dari berbagai media internasional. Saya mem-
baca lebih dari seribu berita penting dan laporan-laporan perjalanan para jurnalis terkemuka
yang dimuat di koran-koran lokal, maupun yang terpampang di internet. Tak jarang saya men-
jadi lebih tahu daripada guide atau diplomat muda yang ditugaskan oleh perwakilan kita di
luar negeri yang menemani saya di suatu kota. Saya mengenal beberapa istilah penting yang
ternyata semua berhubungan dengan cara berpikir dan cara merespons perubahan.
Terakhir saya juga membaca cerita-cerita penting yang menyangkut kepemimpinan. Saya
membeli buku-buku tentang biografi, pidato-pidato dan ulasan-ulasan tentang kepemimpinan
orang-orang besar, baik yang sudah kita kenal maupun belum. Sehingga sebelum Mohammad
Yunus dinyatakan sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian (2006) saya sudah mengenal de-
ngan sangat dekat sosok dan karakternya, bahkan sudah dijadikan contoh dalam pengajaran
dan seminar. Saya membaca kembali dan menerjemahkan pidato terkenal dari Martin Luther
King (I Have A Dream) yang menjadi bahan bacaan wajib di sekolah-sekolah bisnis dunia. Tak ja-
rang saya agak frustasi mencari literatur dari kepala negara atau pelaku perubahan yang karya-
karyanya saya lihat sendiri di suatu negara tapi tidak saya temukan atau ada tapi bahasanya
tidak bisa saya mengerti. Semua itu hanya butuh waktu dan tentu saja kesabaran.
Cerita-cerita itu akan mewamai pikiran-pikiran yang saya rangkum dalam buku ini. Konsep, Teori dan Strategi
Akhirnya saya ingin menandaskan bahwa meski saya mengawali karier
saya sebagai se-orang jurnalis, buku ini bukanlah sebuah laporan perjalanan
ataupun laporan jurnalistik. Buku ini adalah sebuah tulisan pemikiran tentang
manajemen yang menyajikan ramuan dari berbagai disiplin ilmu untuk
memecahkan masalah perubahan. Disiplin-disiplin ilmu itu terdiri atas
kepemimpinan, change management, marketing management, psikologi,
behavioral genetics, neuroscience, neuroplasticity, dan sosiologi. Saya
membaca ratusan buku dan hasil kajian dari berbagai disiplin itu untuk
Dostları ilə paylaş: |